Laman

27 November 2008

Masyarakat Komunis Masa Depan

“Ada Hantu berkeliaran di Eropa, Hantu Komunisme”, bagitulah kata pembukaan Manifesto Komunis yang di tulis oleh Karl Marx bersama Engels, sebagaimana hantu adalah mahluk malam, dengan datangnya fajar, maka hantu itupun akan menyingsing, seiring dengan menyingsingnya fajar demokrasi di Eropa Timur, dan meninggalkan pertanyaan apakah memang hantu itu sudah tiba saatnya untuk pamit? Apakah komunisme berada di akhir perjalanannya, seiring dengan kejatuhan kerajaan soviet di awal tahun 1990-an?

Semula kejadian ekonomi dan politik di Uni Sovyet nampak mengesankan dan menjadi salah satu Negara adi kuasa. Pada perang dunia ke II membuka peluang bagi Uni Sovyet untuk menempatkan rezim-rezim komunis di belahan dunia. Mulailah perang dingin antara blok barat dibawah pimpinan Amerika Serikat dan blok timur di bawah komando Uni Sovyet. Pada tahun 1949 Cina direbut tentara merah yang tak bisa di hindari oleh kekuatan militer Amerika sendiri, Revolusi Kuba menempatkan rezim Komunis di depan hidung Amerika.

Biji keambrukan Komunis sebenarnya sudah lama kelihatan, 1960 terjadi perpecahan antara RRC dan Uni Sovyet menjadi semakin terbuka. Dalam tahun 1970-an komunisme dimana-mana sudah mulai kelihatan stagnasinya, pada tahun itu pula demokrasi social mendapat tantangan berat dari filosofi pasar bebas, khususnya bangkitnya Tatcherisme dan Reaganisme yang lebih umum di sebut “Neo-Liberalisme”. Gagasan Van Hayek sebagai pendukung utama pasar bebas sekaligus kritikus sosialisme lainnya tiba-tiba menjadi kekuatan yang patut diperhitungkan. Memang tanpa Ghorbachev barang kali sakaratul maut akan lebih lama dan barangkali akan berjalan dengan sangat berbeda.

Perkembangan ini mesti secara mendalam mempengaruhi nasib partai-partai komunis di Negara-negara non komunis, termasuk di indonesia. Akan tetapi sulit membayangkan bahwa ide Komunis masih dapat dipakai sebagai ideologi dan kerangka politik bagi seluruh perjuangan kemerdekaan. Gerakan Revolusioner akan tetap muncul dimana-mana dan dalam kondisi-kondisi yang cocok, meskipun demikian dapat diragukan apakah mereka masih akan mau berjuang di bawah panji-panji Komunisme? Sosialisme tidak pernah mati, karena hantu di eropa itu masih tetap menyeramkan, tentu saja merupakan keharusan bagi kita untuk belajar dari pengalaman Sovyet yang pahit itu dan terutama mengenahi apa yang terjadi ketika rakyat dilucuti dari hak-hak demokratiknya. Revolusi Bolivarian di Venezuela adalah contoh bagi gerakan-gerakan revolusioner dalam melawan dominasi Imperialisme. Revolusi Bolivarian ini juga untuk membantah buku The End of History yang dituls oleh Fransis Fukuyama yang mengatakan bahwa akhir dari sebuah sejarah bumi ini adalah kemenangan Neo-Liberalisme.

Dimata mayoritas penduduk planet bumi ini, dua pengalaman histories dalam pembangunan masyarakat tanpa kelas Stalinis dan social demokrasi telah gagal.ini adalah kegagalan dari sebuah tujuan sosial yang radikal secara menyeluruh. Tapi pemahaman ini tidaklah bermakna satu penilaian negative terhadap perubahan-perubahan social yang menguntungkan kaum tertindas. Dalam pemahaman ini neraca atas aktifitas gerakan rakyat selama 150 tahun terakhir tetaplah menunjukkan angka positif. Pembangunan sosialisme adalah satu laboratorium raksasa dimana terjadi berbagai pengalaman baru yang belum dapat di pahami sepenuhnya. Dalam lingkup yang lebih besar, kita harus memperhitungkan fakta bahwa taruhannya saat ini adalah sangat dramatic yaitu kelangsungan hidup manusia, kelaparan, penyakit menular, bom nuklir, pencemaran lingkungan, semua itu adalah kenyataan dunia kapitalis dulu dan sekarang, di dunia ketiga, 16 juta anak meninggal karena penyakit dan kelaparan.

Abad kita sekarang adalah abad global, banyak orang menyebutnya sebagai abad dimana batas-batas antara satu Negara dengan Negara lain makin memudar, dengan globalisasi peran Negara kemudian seperti menyusut. Fenomena kemajuan dibidang informasi dan perdagangan sekarang seperti tak lagi bisa dibendung oleh pembatasan atau retriksi dari sebuah Negara. Globalisasi ini tak lebih dari pada taktik dari Negara-negara Imperialis untuk mengeksploitasi dengan cara yang lebih beradab Negara-negara Dunia Ketiga.

Strategi Negara-negara Imperialis ini telah melahirkan banyak perlawanan-perlawanan rakyat di belahan dunia, karena proses ploretarisasi missal yang di timbulkan dari kebijakan-kebijakan Negara-negara Imperialis, jika pada masa perkembangan kapitalis mata rantai penghisapan adalah bourjuasi vis a vis proletar, maka pada zaman sekarang mekanisme penghisapan yang terjadi adalah Negara vis a vis Negara.

Sosialisme dapat memperoleh kembali nama baiknya dan kemampuannya hanya apabila ia siap untuk menjadikan dirinya sebagai alat perjuangan melawan segala macam penghisapan, hal ini menuntu tiga syarat:

Pertama, sekali-kali tidaklah boleh sosialisme menempatkan dukungannya terhadap perjuangan social massa sebagai bagian proyek politik apapun. kita harus berada tanpa syarat ditengah massa dalam tiap perjuangannya, dalam hal ini memang dal Pemilihan Umum tidak begiti penting, sebab menang dalam Pemilu hanya mempunyai kekuasaan untuk memerintah tetapi tidak mempunyai hak untuk memerintah.

Kedua, kita harus mengusung propaganda dan pendidikan ditengah massa untuk sebuah model sosialisme yang memperhitungkan segala macam pengalaman dan bentuk kesadaran dari dasawarsa terakhir. Kita harus membela suatu model sosialisme secara menyeluruh melibatkan peran serta massa disegala bidang kehidupan. Sosialisme macam ini haruslah berwatak mandiri, pro lingkungan, pembela perdamaian yang radikal, pluralistik, sosialisme ini juga harus memperluas kualitas demokrasi, internasionalis dan plural, termasuk membela sistem multipartai.

Ketiga, kondisi yang diperlukan adalah penolakan dari kaum sosialis dan komunis atas semua praktek paternalistik, palsu dan elitis. Kita harus merenungkan dan menyampaikan sumbangan Karl Marx yang utama dalam dunia politik. Kebangkitan kemandirian kaum pekerja itu sendiri. Kebangkitan ini tidak dapat dikerjakan oleh Negara, pemerintah, para pemimpin partai ataupun pakar yang tidak bercacat sekalipun.
Jika ketiga syarat tersebut dipenuhi, maka hantu itu muncul untuk menghadirkan diri dalam bentuk suatu manifesto, yang akan menjadi manifesto partai, karena Marx sudah memberikan bentuk partai kepada kekuatan yang berstruktur poltis dan akan menjadi motor bagi revolusi, transformasi, perampasan dan akhirnya destruksi sebuah Negara.
(sumber: www.rumahkiri.net)

26 November 2008

ABC Dialektika Materialis

Dialektika bukanlah fiksi dan bukan pula mistisisme, melainkan sebuah pengetahuan mengenai bentuk pemikiran kita sejauh ia tidak dibatasi ke dalam masalah-masalah kehidupan sehari-hari, tetapi berusaha mencapai sebuah pengertian yang lebih rumit dan proses-proses yang mendesak untuk diperbincangkan. Logika dialektika dan logika formal memikul sebuah hubungan yang serupa dengan hubungan antara matematika tingkat tinggi dengan matematika yang lebih rendah.

Di sini saya akan mencoba untuk membuat sketsa substansi masalah dalam sebuah format yang sangat ringkas. Silogisme sederhana logika Aristotelian bermula dari preposisi bahwa "A" sama dengan "A". Postulat ini diterima sebagai sebuah aksioma bagi banyak sekali tindakan praktis manusia dan generalisasi-generalisasi elementer. Tetapi pada kenyataannya "A" tidak sama dengan "A". Hal ini mudah untuk dibuktikan jika kita mengamati dua huruf ini di bawah sebuah lensa --satu sama lain sama sekali berbeda. Namun, orang dapat saja berkeberatan, karena mereka semata simbol bagi kuantitas-kuantitas sederajat, contohnya satu pon gula, masalahnya bukan ukuran atau bentuk dari huruf-huruf itu. Keberatan itu tidak penting; pada kenyataannya satu pon gula tidak pernah sama persis dengan satu pon gula --sebuah pengukuran yang lebih teliti selalu menyingkapkan adanya perbedaan. Lagi-lagi orang dapat berkeberatatan: tapi satu pon gula adalah sama dengan dirinya sendiri. Ini juga tidak benar --semua bentukan tanpa bisa diinterupsi berubah dalam ukuran, berat, warna, dan lain sebagainya. Mereka itu tidak pernah sama dengan dirinya sendiri. Seorang sophis akan menanggapi bahwa satu pon gula adalah sama dengan dirinya "pada saat yang tertentu".

Terlepas dari nilai praktis yang sangat ekstrim meragukan dari "aksioma" ini, ia tidak bertahan juga terhadap kritisisme teoritis. Bagaimana kita harusnya benar-benar memahami kata "saat"? Jika ia adalah sebuah interval waktu yang sangat kecil, maka satu pon gula ditundukkan menjadi sasaran selama berlangsungnya "saat" tersebut pada perubahan-perubahan yang tak dapat dielakkan, atau apakah "saat" adalah sebuah abstraksi yang murni matematis, yaitu, sebuah kekosongan dari waktu? Tapi semua hal eksis dalam waktu; dan eksistensi sendiri adalah sebuah proses yang tidak berhenti dari transformasi; waktu secara konsekuen adalah sebuah elemen fundamental bagi eksistensi. Jadi aksioma "A" adalah sama dengan "A" menandakan bahwa suatu hal adalah sama dengan dirinya sendiri jika ia tidak berubah, yaitu jika ia tidak eksis.


Secara sepintas kelihatannya "kepelikan-kepelikan" ini tiada berguna. Dalam realita, hal-hal itu amat menentukan arti. Di satu sisi aksioma "A" adalah sama dengan "A" muncul sebagai titik keberangkatan bagi semua pengetahuan kita, di sisi lain sebagai titik keberangkatan segala kekeliruan dan kesalahan dalam pengetahuan kita. Untuk membuat penggunaan yang bebas resiko dari aksioma "A" adalah sama dengan "A" adalah hanya mungkin di dalam batasan-batasan pasti. Ketika perubahan-perubahan kuantitatif dalam "A" adalah tidak berarti bagi tugas-tugas yang ada, maka kemudian kita dapat memperkirakan bahwa "A" adalah sama dengan "A". Contohnya ini adalah cara di mana seorang pembeli dan seorang penjual mengingat satu pon gula, demikian pula kita mempertimbangkan suhu matahari. Sampai waktu sekarang ini kita mempertimbangkan kekuatan mata uang dollar dengan cara yang sama. Tetapi perubahan-perubahan kuantitatif, yang melebihi batasan-batasan pasti, terkonversi menjadi kualitatif. Satu pon gula tunduk kepada tindakan air atau bensin, berhenti menjadi satu pon gula. Satu dollar dalam pelukan seorang presiden berhenti sebagai satu dollar. Untuk menentukan titik kritis pada saat yang tepat di mana kuantitas berubah menjadi kualitas adalah satu dari tugas-tugas yang paling penting serta paling susah di dalam semua bidang pengetahuan, termasuk sosiologi.

Setiap pekerja mengetahui bahwa mustahil membuat dua benda yang sepenuhnya sama. Dalam perluasan bearing-brass menjadi cone bearings diperkenankan adanya sebuah deviasi atas yang disebut terakhir, yang, bagaimanapun, tidak boleh melampaui batasan-batasan pasti (hal ini disebut toleransi). Dengan mengamati norma-norma toleransi, intinya dipertimbangkan menjadi setara. ("A" adalah sama dengan "A"). Saat toleransi menjadi berlebih, kuantitas berlanjut menjadi kualitas; dengan kata lain, cone bearings tadi menjadi inferior atau sepenuhnya tak berharga.

Pemikiran ilmiah kita hanyalah satu bagian dari keseluruhan tindak praktek kita, termasuk teknik-teknik. Bagi konsep-kopsep, eksistensi "toleransi" juga ada. Toleransi ini ditegakkan bukan dengan logika formal yang berasal dari aksioma "A" adalah sama dengan "A", tetapi dengan logika dialektis yang berasal dari aksioma bahwa semua hal selalu berubah. "Akal sehat" dikarakterisasi oleh kenyataan bahwa ia secara sistematis melampaui "toleransi" dialektis.

Pemikiran vulgar beroperasi dengan konsep-konsep macam kapitalisme, moral, kebebasan, negara pekerja, dll. sebagai abstraksi-abstraksi pasti, mengira bahwa kapitalisme adalah sama dengan kapitalisme, moral adalah sama dengan moral, dan seterusnya. Pikiran dialektis menganalisa semua hal dan fenomena dalam perubahannya yang terus berlangsung, sambil menetapkan dalam kondisi-kondisi material dari perubahan-perubahan tersebut yang batas kritis di luar hal yang "A" barhenti menjadi "A", sebuah negara pekerja berhenti menjadi negara pekerja.

Kekurangan fundamental dari pemikiran vulgar terletak dalam kenyataan bahwa ia berharap untuk mengisi dirinya sendiri dengan cetakan ajeg dari sebuah realitas yang mengandung gerakan abadi. Dengan cara memperketat perkiraan-perkiraan, koreksi-koreksi, kongkritisasi; pemikiran dialektis memberikan sebuah kekayaan mengenai isi dan fleksibitas kepada konsep-konsep; bahkan saya katakan bahwa ini adalah sebuah kelembapan yang bagi sebuah bidang tertentu membawanya lebih dekat pada fenomena yang nyata hidup. Bukan kapitalisme secara keseluruhan, melainkan sebuah kapitalisme tertentu pada sebuah tahap perkembangan tertentu. Bukan sebuah negara pekerja secara keseluruhan, tetapi sebuah negara pekerja tertentu dalam sebuah negara terbelakang dalam sebuah pengepungan kaum imperialis, dan lain-lain.

Pemikiran dialektis berhubungan dengan pemikiran vulgar dengan cara yang sama seperti sebuah gambar bergerak (motion picture) berhubungan dengan sebuah foto yang ajeg. Gambar bergerak tidak berada di luar hukum foto ajeg tetapi mengkombinasikan sebuah urutan dari foto-foto tersebut sesuai dengan hukum-hukum gerak. Dialektika tidak mengingkari silogisme, tetapi mengajari kita untuk menggabungkan silogisme dalam cara yang sedemikian rupa untuk membawa pengertian kita menjadi lebih dekat pada realitas yang berubah secara abadi. Dalam bukunya, Logika, Hegel mendirikan satu rangkaian ketentuan-ketentuan: perubahan kuantitas menjadi kualitas, perkembangan melalui kontradiksi, konflik mengenai isi dan bentuk, interupsi dari kontinuitas, perubahan posibilitas menjadi hal yang tak dapat dihindarkan adanya, dll., yang sama pentingnya bagi pemikiran teoritis sepenting dalam silogisme sederhana bagi tugas-tugas yang lebih elementer.

Hegel menulis sebelum Darwin dan sebelum Marx. Berterima kasih kepada impuls kuat yang diberikan Revolusi Perancis kepada pemikiran, Hegel mengantisipasi gerakan ilmu pengetahuan secara menyeluruh. Tetapi karena itu semata sebuah antisipasi, meskipun dilakukan oleh seorang jennius, hal itu menerima sebuah karakter idealistik dari Hegel. Hegel mengoperasikan bayangan-bayangan ideologis sebagai realitas terakhir. Marx mendemonstrasikan bahwa gerakan dari bayangan-bayangan idiologis ini tidak merefleksikan apa-apa kecuali gerakan dari tubuh-tubuh materi.

Kita menamakan dialektika kita, materialis, sebab ia tidak berakar baik di surga maupun di kedalaman dari "kehendak bebas" kita, melainkan di dalam realitas objektif, di alam. Kesadaran timbul dari bawah sadar, psikologi dari fisiologi, dunia organik dari dunia inorganik, galaksi dari nebula. Di atas tiap undakan tangga perkembangan ini, perubahan-perubahan kuantitatif ditransformasikan menjadi kualitatif. Pikiran kita, terrmasuk pikiran dialektis, hanyalah satu dari bentuk-bentuk ekspresi zat yang berubah. Di dalam sistem ini tidak tersedia tempat bagi Tuhan, Syetan, jiwa kekal, tidak juga norma-norma abadi dari hukum dan moral. Dialektika pemikiran, timbul dari dialektika alam, secara konsekuen memiliki sebuah karakter yang seluruhnya materialis. Darwinisme, yang menjelaskan evolusi spesies melalui transformasi kuantitatif berlanjut pada kualitatif, adalah kemenangan tertinggi dari dialektika dalam seluruh lapangan perkara organik. Kemenangan besar besar lainnya adalah penemuan tabel berat atom dari unsur kimia dan transformasi lebih lanjut dari satu elemen menjadi satu elemen lain.

Secara erat, transformasi-transformasi ini (spesies, elemen, dll.) berkaitan dengan masalah klasifikasi, sama pentingnya dalam ilmu alam sebagaimana dalam ilmu sosial. Sistem Linneaus (abad ke-18) mempergunakan immutabilitas spesies sebagai titik awalnya, terbatas pada deskripsi dan klasifikasi mengenai pertanian sesuai karakteristik-karakteristik abadinya. Periode infantil dari botani adalah analogis dengan periode infantil logika, karena bentuk-bentuk pikiran kita berkembang seperti semua hal yang hidup. Hanya penyangkalan yang tak dapat disanggah mengenai ide tentang spesies jadi, hanya studi mengenai sejarah evolusi tentang pertanian dan anatominya, menyiapkan basis bagi sebuah klasifikasi yang benar-benar ilmiah.

Marx, yang dalam perbedaan dari Darwin adalah seorang dialektikus yang sadar, menemukan sebuah basis bagi klasifikasi ilmiah mengenai masyarakat-masyarakat manusia dalam perkembangan kekuatan-kekuatan produktifnya dan struktur kepemilikan yang membentuk anatomi masyarakat. Marxisme memberikan substitusi berupa sebuah klasifikasi dialektik materialistis kepada klasifikasi vulgar mengenai masyarakat dan negara, yang bahkan hingga sekarang masih tumbuh dengan subur dalam berbagai universitas. Hanya dengan menggunakan metode Marx dimungkinkan secara benar menentukan baik konsep mengenai sebuah negara pekerja maupun juga momen keruntuhannya.

Kita lihat, semua ini sama sekali tidak mengandung hal "metafisik" atau "scholastis" sebagai ungkapan ketidaktahuan yang congkak. Logika dialektis mengungkapkan hukum gerak dalam pemikiran ilmiah kontemporer perjuangan melawan dialektika materialis sebaliknya mengungkapkan sebuah masa lalu yang berjarak, konservatisme dari borjuasi kecil, keangkuhan diri para pengusung rutinitas universitas, dan ... sekilat harapan bagi sebuah alter-life (kehidupan yang berubah).


Leon Trotsky,
15 Desember 1939

24 November 2008

BURUH INDONESIA

Selama ini buruh hanya di anggap sebagai mesin penggerak industrialisme di Indonesia. Suara buruh sama sekali tidak pernah di dengar, bahkan orang no 1 Indonesia tak pernah ada di istana negara setiap perayaan hari buruh. Kemanakah orang no 1 Indonesia tersebut saat kawan-kawan buruh Indonesia "berkunjung" ke istana negara? Apakah hal tersebut menandakan bahwa buruh hanya di pandang sebelah mata???

Kita jangan menafikkan diri terhadap hal ini. Akan tetapi kita juga harus bercermin pada realita bahwa keberadaan buruh sendiri pada saat ini tidak satu. Buruh terpecah-pecah dalam beragam suara, beragam kelompok, beragam kepentingan. Semua perbedaan itu notabenenya adalah perbedaan visi dan misi.

Sudah saatnya kaum buruh indonesia berdiri dalam 1 wadah, satu visi+misi, satu jalan, satu tujuan. Lepaskan semua atribut kelompok-kelompok kecil yang melekat di baju kalian semua. Sehingga kita sebagai kaum buruh memiliki bergaining power yang cukup kuat, suaranya di dengar dan keberadaannya tak lagi di pandang sebelah mata oleh kapitalis dan birokrat.