Laman

13 Juni 2008

KETERLIBATAN SOEHARTO DALAM G-30S

Barangkali, dari berbagai buku-buku penting yang akhir-akhir ini diterbitkan di Indonesia, buku dengan judul “Pleidoi Kol. A. Latief: Soeharto terlibat G30S” adalah salah satu di antaranya yang patut–-bahkan, sangat perlu!!!–-mendapat perhatian kita semua. Sebab, terbitnya buku ini bukan saja merupakan sumbangan bagi kita semua untuk bisa lebih mengenal berbagai hal tentang peristiwa besar yang terjadi dalam tahun 1965 itu, melainkan juga tentang peran yang dipegang oleh Suharto di dalamnya, tentang komplotan untuk menggulingkan Presiden Sukarno, tentang pelanggaran besar-besaran Hak Asasi Manusia, tentang lahirnya rezim militer Orde Baru, yang selama ini masih belum sepenuhnya terungkap secara jelas.

Di samping itu, buku ini juga merupakan bantuan bagi kita semua untuk mendapatkan bahan-bahan atau informasi yang berbeda dari versi resmi yang selama lebih dari tiga dasawarsa telah disajikan (atau lebih tepat: disodorkan? dipaksakan?) oleh para penguasa Orde Baru, dan juga segi-seginya yang sengaja disembunyikan oleh mereka. Karena peristiwa G3OS merupakan peristiwa besar, maka segala usaha dari FIHAK MANAPUN untuk mencari kebenaran tentang peristiwa itu sendiri, serta sebab-sebab dan latarbelakangnya-–dan juga akibat-akibat selanjutnya-–adalah sangat berguna bagi sejarah bangsa kita.

Diterbitkannya buku ini merupakan panggilan bagi kita semua untuk berani mengadakan berbagai langkah, secara bersama-sama, untuk memeriksa kembali segala persoalan yang berkaitan dengan G30S, demi keadilan, demi kebenaran, demi kejujuran. Sebab, Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto telah menjadikan peristiwa ini sebagai dalih untuk melegitimasi berdirinya diktatur militer (berselubung), yang selama lebih dari 32 tahun telah merusak sendi-sendi Republik Indonesia. Atas dasar peristiwa G30S itulah telah dibangun rezim militer, yang telah membikin berbagai dosa kepada rakyat, antara lain: membungkam kehidupan demokrasi selama puluhan tahun, membunuh jutaan manusia tak bersalah, menyengsarakan puluhan juta orang keluarga para korban pembunuhan 65/66 dan ex-tapol, memporak-porandakan nilai-nilai moral, menyebarkan budaya korupsi, menyuburkan perpecahan antara berbagai komponen bangsa, dan seribu satu kerusakan dan kebobrokan lainnya, yang akibatnya kita saksikan secara nyata sampai sekarang ini.

Sejarah yang Sebenarnya
Sebenarnya, di berbagai kalangan, baik di Indonesia maupun di luar negeri, pleidoi Kol. A. Latief sudah pernah beredar dalam berbagai bentuk. Sekitar tahun 1979-1980, satu bundel tebal pleidoi ini pernah diselundupkan ke Eropa lewat seorang. Melalui jaluran yang tidak perlu disebutkan dalam tulisan ini, pleidoi yang ketikannya jelek dan kabur (karena sudah difotokopi berkali-kali), telah ditik kembali di satu kota di Eropa dengan mesin-tik listrik sehingga lay-outnya menjadi lebih bagus dan enak dibaca. Setelah dicetak dengan offset beberapa ratus eksemplar, bundel pleidoi ini beredar di berbagai negeri Eropa, dengan judul “Sejarah yang sebenarnya”. Kemudian, dari berbagai sumber didapat kabar, bahwa sekitar tahun 1980 itu juga, bundel pleidoi ini juga sudah sampai di tangan berbagai pakar luar negeri. Jadi, sejak tahun 1980, pleidoi ini sudah dikenal oleh berbagai kalangan di luarnegeri–-walaupun terbatas sekali–-baik orang-orang Indonesia maupun asing, dan telah dipakai sebagai bahan analisa tentang soal-soal yang berkaitan dengan peristiwa G30S dan berdirinya rezim militer Orde Baru.

Sepanjang yang kita ketahui selama ini, di Indonesia sendiri pleidoi Kol. A. Latief ini tidak dikenal secara luas dalam masyarakat, kecuali di kalangan-kalangan tertentu (sejarawan, aktivis Hak Asasi Manusia, sejumlah LSM, oposan Orde Baru dll). Sebab-sebabnya sudah jelaslah kiranya. Di bawah kekuasaan Orde Baru, memiliki fotokopi pleidoi Kol. A. Latief, adalah risiko besar, yang bisa membahayakan keselamatan seseorang. Sebab, isinya penuh dengan hal-hal yang tidak menguntungkan Soeharto dan para jenderal pendukung setianya, atau, singkatnya, para penguasa rezim Orde Baru.

Hanya sekarang inilah, ketika Soeharto bersama rezimnya sudah ambruk berkat perjuangan para mahasiswa dengan dukungan massa luas, maka buku pleidoi ini bisa diterbitkan dan beredar dalam masyarakat. Yaitu, lebih dari 20 tahun kemudian setelah pleidoi itu diucapkan. Suatu peristiwa yang jarang terjadi dalam sejarah dunia modern.

Bagian dari Khasanah Sejarah Kita
Munculnya buku pleidoi Kol. A. Latief, yang diterbitkan oleh ISAI dan redaksinya dipersiapkan oleh ISAI-Hasta Mitra, adalah langkah penting dalam usaha bersama kita untuk menegakkan kebenaran dan menemukan keadilan seputar peristiwa G30S beserta buntut-buntutnya yang menyusul kemudian. Patutlah kiranya dikatakan bahwa buku ini merupakan salah satu bagian yang sangat berharga dalam khasanah sejarah modern Indonesia. Mengapa demikian? Hal-hal yang berikut di bawah ini mungkin bisa kita jadikan renungan bersama:

– Peristiwa G30S adalah peristiwa terbesar – dan terparah – dalam sejarah Republik Indonesia, dibandingkan dengan serentetan peristiwa-peristiwa politik-militer yang pernah dialami oleh bangsa kita, umpamanya: DI-TII, peristiwa Madiun, pemberontakan Andi Aziz, pemberontakan Kahar Muzakkar, RMS, Angkatan Perang Ratu Adil, PRRI-Permesta dll.
– Korban jiwa sebanyak lebih dari satu juta (atau: dua juta? Tiga juta? Pen.) manusia tidak
bersalah, merupakan tragedi nasional yang harus didjadikan pelajaran bagi generasi-generasi selanjutnya di kemudian hari. Demikian juga penderitaan puluhan juta orang keluarga para korban pembunuhan besar-besaran 1965/1966, dan keluarga para eks-tapol.
– Pemerintahan Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto selama lebih dari 30 tahun telah lahir
sebagai kelanjutan peristiwa G30S. Oleh karena itu, berbicara tentang Orde Baru, tidak bisa tidak harus ingat kepada cikal bakalnya, yaitu G30S beserta akibat-akibatnya.

Mengingat itu semua, maka jelaslah bahwa terbitnya buku pleidoi Kol. A. Latief “Soeharto terlibat G30S” merupakan peristiwa yang amat penting, ketika kita dewasa ini sedang berusaha bersama-sama melepaskan bangsa dan negara kita dari belenggu Orde Baru, dan ketika kita sedang berjuang untuk menghilangkan segala borok-borok yang telah membikin kerusakan-kerusakan begitu dahsyat dalam tubuh bangsa.

Dalam situasi ruwet seperti yang kita hadapi bersama dewasa ini, patutlah kiranya kita menyambut munculnya buku penting ini dengan mendengar himbauan atau pesan moral yang terkandung dalam isi buku ini, yaitu: menegakkan kebenaran dan menjunjung tinggi rasa keadilan. Sebab, seperti yang sama-sama kita rasakan selama ini, masalah G30S berikut peristiwa-peristiwa serius yang menyusulnya, masih terus-–sampai sekarang!-–menjadi faktor-faktor yang menimbulkan pertentangan dan rasa permusuhan di antara berbagai kalangan atau komponen bangsa. Faktor-faktor perpecahan dan permusuhan (yang sengaja dipupuk oleh rezim Orde Baru!) itulah yang harus bersama-sama kita hilangkan, guna tercapainya rekonsiliasi nasional yang kita butuhkan dewasa ini.

Sejarah Versi Orde Baru Perlu di Revisi!!
Dari segi-segi yang tersebut di atas, kiranya kita bisa melihat pentingnya pleidoi Kol. A. Latief yang telah diucapkannya dalam tahun 1978 (artinya, sudah 22 tahun yang lalu). Sebab, dalam pleidoinya itu, ia telah mengemukakan berbagai hal penting yang berkaitan dengan: peran Soeharto, watak rezim militer Orde Baru, pelanggaran Hak Asasi Manusia, penggulingan kedudukan Presiden Sukarno, peran PKI, peran para jenderal Angkatan Darat waktu itu.

Tetapi, patutlah disadari bersama bahwa pleidoi itu tidak bisa memberikan penjelasan yang lengkap dan tepat mengenai semua soal yang berkaitan dengan G30S. Kol. A. Latief telah menyusun pleidoi itu dalam keadaan terkungkung dalam sel selama belasan tahun, dengan kesehatan yang amat buruk akibat dahsyatnya siksaan fisik dan moral, tanpa hubungan dengan luar (kecuali pembela-pembelanya), dan tidak mempunyai fasilitas yang leluasa untuk mendapatkan bahan-bahan atau dokumentasi secukupnya yang dibutuhkan. Namun, apa yang sudah dikemukakannya dalam pleidoi itu merupakan karya yang luar biasa. Apa yang dikemukakannya itu bisa merupakan titik permulaan untuk usaha kita bersama dalam meninjau kembali atau meneliti kembali, tentang kebenaran versi resmi Orde Baru tentang peristiwa G30S. Karena, apa yang telah dipasarkan kepada masyarakat, atau yang diajarkan dalam sekolah-sekolah selama lebih dari tiga puluh tahun, adalah sejarah yang sudah dikebiri, sejarah yang sudah divermak, sejarah yang bopeng-bopeng.

Sejarah versi Orde Baru tentang G30S perlu diteliti lagi, dan dikoreksi sesuai dengan kebenaran yang bisa ditemukan dengan penelitian yang serius, jujur, objektif dan independen sama sekali dari pertimbangn politik dan kepentingan ideologi yang manapun. Yang jelas, yalah bahwa sudah cukup banyak bukti dan fakta tentang sejarah Orde Baru yang perlu direvisi atau dikoreksi, karena sudah tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi sesungguhnya. Revisi atau koreksi sejarah Orde Baru-–-termasuk masalah sejarah G30S-–-mutlak untuk dilakukan dengan segera. Karena, kalau tidak dikoreksi, maka bisa TETAP TERUS menjadi racun atau penyakit ganas, yang merongrong kesehatan tubuh bangsa kita, terutama generasi muda kita sekarang, dan generasi yang akan datang.

TNI-AD Perlu Berani Mengoreksi Diri
Sebagai perwira TNI-AD, Kol. A. Latief telah banyak mengemukakan dalam pleidoinya berbagai soal yang berkaitan dengan masalah-masalah militer. Banyak kesalahan atau praktek-praktek yang buruk Angkatan Darat telah dibeberkannya, di samping ditonjolkannya peran positif dan tradisi baik Angkatan Darat selama revolusi dan ketika menghadapi pergolakan-pergolakan yang merongrong keselamatan Republik Indonesia.

Oleh karena itu, mengingat pernyataan permintaan maaf TNI-AD (yang diucapkan oleh KSAD Tyasno Sudarto) atas kesalahan-kesalahan dan dosa-dosanya kepada rakyat, maka patutlah kiranya dianjurkan kepada pimpinan TNI-AD untuk menyerukan kepada anggota-anggota militer (terutama AD), untuk mempelajari isi buku pleidoi Kol. A. Latief. Sebab, pleidoi yang bersejarah ini, penuh dengan pelajaran-–-juga peringatan!-–-tentang kesalahan dan dosa yang telah dilakukan oleh pimpinan AD (khususnya Soeharto dkk) terhadap panglima tertinggi/presiden, terhadap MPRS, terhadap DPR, terhadap demokrasi, terhadap Hak Asasi Manusia. Singkatnya, terhadap rakyat.

Lebih dari itu! Dalam rangka reformasi, transformasi, reposisi Angkatan Darat, sesuai dengan tuntutan perkembangan situasi nasional (dan internasional!) maka sudah waktunyalah bahwa TNI-AD membentuk komisi khusus untuk mempelajari, mengumpulkan, dan kemudian menyimpulkan tentang kesalahan-kesalahan TNI-AD selama ini, termasuk kesalahan-kesalahan dalam menghadapi peristiwa G30 beserta buntut-buntutnya yang menyusul. Kita sudah sama-sama melihat bahwa Orde Baru telah melakukan banyak kesalahan-kesalahan berat dan monumental di berbagai bidang, sehingga keadaan negara kita menjadi demikian kacau seperti sekarang ini. Dan, karena tulang-punggung, bahkan konseptor atau pembangun Orde Baru adalah Angkatan Darat, maka kesalahan dan dosa-dosa Orde Baru adalah pada intinya, atau pada hakekatnya, kesalahan TNI-AD.

Apakah dengan membentuk komisi khusus semacam itu, TNI-AD akan makin terpuruk namanya atau makin buruk citranya? Ataukah langkah semacam itu perbuatan yang hina? Ataukah juga memalukan diri? Justru sebaliknya. Kalau TNI-AD mengambil langkah-langkah serupa itu, pastilah akan mendapat penghormatan-–dan juga kehormatan-–dari pendapat umum, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Memeriksa kesalahan, dan kemudian mengakuinya, dan selanjutnya mengkoreksinya adalah justru satu-satunya jalan untuk memperbaiki citra TNI-AD dan untuk bisa meletakkannya pada tempat terhormat dalam hati Rakyat.

Bukalah Arsip Militer demi Penelitian
Dalam rangka usaha untuk merevisi versi resmi sejarah Orde Baru, nyatalah bahwa diperlukan adanya kemauan-baik dari berbagai fihak, dan terutama sekali dari pimpinan TNI. Sebab, patutlah diperkirakan bahwa berbagai instansi militer, baik di Pusat maupun di daerah masih menyimpan berbagai dokumen penting yang berkaitan dengan peristiwa G30S maupun yang dengan peristiwa-peristiwa kelanjutannya. Kalau TNI-AD memang betul-betul secara tulus dan jujur ingin memperbaiki kesalahan-kesalahannya, dan mau memberikan sumbangan kepada usaha untuk mencari kebenaran, maka perlulah adanya langkah-langkah (secara politik maupun administratif) supaya arsip militer (atau arsip sejarah militer) bisa dibuka secara leluasa demi pekerjaan penelitian. Pekerjaan penelitian ini sangat penting untuk melengkapi, memeriksa kembali, bahkan mengkoreksi isi pleidoi Kol. A. Latief.

Mungkin ada di antara kita yang berpendapat bahwa gagasan yang semacam itu adalah utopis belaka kiranya. Apalagi kalau mengingat bahwa masih terlalu banyak mantan perwira tinggi (dan menengah)-–atau yang masih aktif-–yang mungkin akan keberatan adanya langkah semacam itu. Berbagai dalih bisa saja mereka kemukakan untuk menentang dibukanya arsip militer yang berkaitan dengan peristiwa G30S, umpamanya: dalih rahasia negara, dalih keamanan negara, dalih tidak adanya UU yang mengaturnya, dalih rahasia jabatan, atau segala macam dalih lainnya, baik yang masuk akal maupun yang tidak.

Buku yang Harus di Baca
Buku pleidoi Kol. A. Latief mengungkap satu hal yang luar biasa pentingnya, yaitu bahwa Soeharto terlibat dalam G30S, dan bahwa pimpinan Angkatan Daratlah yang melakukan kudeta terhadap Presiden Sukarno, yang waktu itu masih secara sah menjabat sebagai kepala negara (untuk lengkapnya, mohon baca sendiri, yang tercantum di berbagai halaman buku ini). Asumsi semacam ini sudah lama beredar dalam masyarakat, bahkan juga di luarnegeri. Jadi, bukan soal baru. Tetapi, dengan membaca buku pleidoi Kol. A. Latief, maka kita akan mendapat persepsi yang lebih mendalam dan lebih jelas tentang persoalan ini.

Apakah Soeharto betul-betul terlibat dalam G30S? Justru masalah yang maha penting inilah yang harus diteliti secara serius lebih lanjut. Sebab, Soeharto sudah mengetahui tentang akan adanya aksi terhadap sejumlah jenderal-jenderal, tetapi mengapa tidak melaporkan atau tidak bertindak? Maka patutlah kiranya kita duga bahwa memang ada hal-hal yang masih belum terungkap selama ini. Pengkhianatan? Sikap licik? Perhitungan yang berdasarkan kepentingan pribadi? Banyaklah kiranya pertanyaan-pertanyaan lainnya yang bisa diajukan.

Namun, terlepas apakah Soeharto terlibat dalam G30S atau tidak, tetapi sudah jelaslah bahwa, bersama-sama dengan pimpinan Angkatan Darat lainnya waktu itu, ia telah mengobrak-abrik pemerintahan yang sah, dan kemudian melakukan sederetan panjang pelanggaran-pelanggaran (dan kejahatan!!!) terhadap kehidupan demokratis, terhadap hak asasi manusia, terhadap rakyat (soal ini tidak perlu direntang-panjangkan lagi, karena sudah cukup jelas berdasarkan pengalaman kita selama ini).

Bukan itu saja. Pleidoi yang diucapkan 1978 itu telah membongkar bahwa Soeharto dkk sudah melakukan insubordinasi (pembangkangan) terhadap panglima tertinggi, dan menyalahgunakan SP 11 Maret, yang akibatnya begitu luas selama pemerintahan Orde Baru. Jadi, kesalahannya amat besar, dan dosanya juga berat sekali.

Dengan sorotan dari segi-segi itu semualah maka munculnya buku pleidoi Kol. A. Latief ini perlu kita sambut dengan positif. Buku ini bisa memperkaya bahan studi dan bahan refleksi kita bersama untuk merenungkan dan memeriksa kembali masalah-masalah seputar G30S, yang selama tigawarsa menjadi landasan bagi TNI-AD untuk melakukan kerusakan-kerusakan besar terhadap Republik kita, dan yang dengan Orde Barunya telah membikin negara dan bangsa seperti yang kita saksikan dewasa ini.

Dengan semangat untuk bersama-sama menegakkan kebenaran dan mencari keadilan demi rekonsiliasi nasional, perlulah kiranya semua kekuatan pro-reformasi, pro-demokrasi dan pro-HAM-–bahkan juga kalangan militer-–dianjurkan untuk membaca buku pleidoi yang bersejarah ini. Sebab, dengan membaca buku ini, kita mendapat tambahan bahan untuk lebih yakin lagi bahwa Orde Baru, yang pernah disanjung-sanjung itu, memang sejak semula dibangun atas dasar-dasar yang batil dan haram.

02 Juni 2008

SANG PENGUASA

1. Negara Konstitusional
Mengenai seorang rakyat biasa yang menjadi penguasa bukannya dengan jalan kejahatan ataupun kekejaman, tetapi karena jasa baik sesama rakyat. Ini dapat disebut suatu kekuasaan konstitusional. Untuk mencapai kedudukan ini orang tak tergantung seluruhnya pada kedudukan tinggi ataupun pada nasib mujur, tetapi lebih tergantung pada kelihaian mengambil langkah yang didukung oleh nasib baik seseorang. Kedudukan ini dapat dicapai karena dukungan rakyat atau karena dukungan golongan bangsawan. Dua kelas dalam masyarakat yang berbeda ini selalu ada di setiap kota. Dan rakyat dimanapun juga mengharap dengan rasa cemas agar tidak diperintah atau ditindas oleh para bangsawan, sedangkan para bangsawan siap untuk memerintah dan menindas rakyat. Ambisi-ambisi yang saling berlawanan ini menghasilkan salah satu dari tiga kemungkinan: kerajaan, kota yang merdeka, atau anarki.

Suatu kerajaan diciptakan entah oleh rakyat atau oleh para bangsawan, tergantung pada siapa dari kedua pihak tersebut menggunakan peluang yang ada. Yang biasa terjadi ialah bahwa kalau para bangsawan mengetahui bahwa mereka tidak dapat melawan rakyat, mereka mulai bersatu dan mengangkat salah seorang dari antara mereka dan menjadikannya raja agar mereka dapat mencapai tujuan-tujuan mereka di bawah naungan wewenangnya. Rakyat, dengan cara yang sama, kalau tidak mampu melawan para bangsawan, mengangkat salah seorang dari antara mereka dan menjadikannya penguasa agar mereka dilindungi oleh kekuasaannya tersebut. Orang yang menjadi penguasa karena dukungan para bangsawan akan menghadapi kesulitan yang lebih besar daripada orang yang diangkat menjadi penguasa oleh dukungan rakyat, karena ia selalu dikelilingi oleh orang-orang yang sama derajatnya dan karenanya ia tak dapat memerintah atau mengatur menurut keinginannya. Orang yang menjadi penguasa karena dukungan rakyat berkuasa sendiri, dan tidak ada seorangpun atau sedikit sekali yang melawannya. Kecuali itu, tidak mungkin membuat para bangsawan merasa puas dengan tindakan yang jujur, tanpa merugikan kepentingan pihak lain. Tetapi hal ini dapat dilakukan sejauh menyangkut rakyat. Rakyat lebih jujur dalam cita-cita mereka daripada para bangsawan, karena para bangsawan ingin menindas rakyat, sedangkan rakyat menginginkan untuk menghindari penindasan. Perlu ditambahkan disini bahwa seorang penguasa tidak akan pernah menjamin keselamatannya sendiri berhadapan dengan rakyat yang bersikap bermusuhan; karena jumlah mereka besar sekali. Tetapi ia dapat bertahan melawan sikap permusuhan para bangsawan, karena jumlah mereka hanyalah sedikit. Hal yang paling buruk yang dapat dialami seorang penguasa dari rakyat yang memusuhinya ialah bahwa ia akan ditinggalkan saja oleh rakyat, sedangkan menghadapi bangsawan yang memusuhinya, ia terpaksa takut tidak hanya akan ditinggalkan begitu saja tetapi karena mereka secara aktif menentangnya. Dan karena mereka lebih jauh dalam hal pandangan dan kelicikan mereka, mereka selalu bisa dengan tepat mengambil tindakan untuk menyelamatkan diri dan melindungi kepentingan mereka, dan memihak orang yang mereka harapkan akan menang. Sekali lagi, seorang penguasa harus hidup bersama dengan rakyat, tetapi ia bisa hidup tanpa para bangsawan, karena itu ia selalu bisa setiap hari menciptakan atau menghapuskan para bangsawan, dengan meningkatkan atau mengurangi pengaruh mereka menurut sekehendak hatinya.

Ada dua pertimbangan yang harus diingat sehubungan dengan para bangsawan, yaitu mereka harus diperintah sedemikian rupa sehingga mereka sama sekali tergantung para kekuasaan Anda, atau independen terhadap Anda. Mereka yang menggantungkan dirinya sama sekali pada Anda, dan tidak tamak, haruslah dihormati dan dicintai; mereka yang tetap independen terhadap Anda, mengambil sikap demikian karena dua alasan. Karena kekerdilan jiwa mereka dan tidak mempunyai keberanian; terhadap mereka ini Anda harus bisa memanfaatkannya, khususnya mereka yang dapat memberikan nasehat yang sehat. Mereka akan menghormati Anda kalau Anda berhasil, dan Anda tidak perlu merasa takut terhadap mereka pada saat-saat negara dalam keadaan bahaya. Tetapi kalau mereka dalam sengaja dan berdasarkan ambisi mau tetap independen terhadap Anda, itu merupakan tanda bahwa mereka lebih mementingkan diri mereka sendiri daripada mementingkan Anda. Terhadap para bangsawan semacam ini, seorang penguasa harus menjaga diri, dan memandang mereka sebagai musuh yang terselubung, karena bila negara dalam keadaan bahaya mereka akan membantu musuh menghancurkan Anda.

Kalau seorang penguasa membangun kekuasaannya atas rakyat, ia dapat memimpin dan ia penuh keberanian, tidak mudah putus asa dalam menghadapi bahaya, tidak lalai bersikap waspada, dan dapat mengambil hati rakyat dengan menampilkan diri secara meyakinkan dan dengan peraturan-peraturan yang dibuatnya, ia tidak akan ditinggalkan rakyatnya, dan akan terbuka bahwa ia telah meletakkan dasar-dasar yang kuat bagi kekuasaannya.

Seorang raja yang bijaksana harus menemukan cara-cara bagaimana rakyatnya dalam keadaan apapun, selalu menggantungkan diri padanya, dan pada kekuasaannya. Dengan demikian barulah mereka akan selalu setia kepada rajanya. Sebagai kesimpulannya, bahwa penting bagi seorang penguasa memelihara persahabatan dengan rakyat; kalau tidak, ia tidak mempunyai teman yang dapat memberi bantuan pada waktu negara dalam keadaan bahaya.

2. Mengukur Kekuatan Negara
Kota-kota di Jerman menikmati kebebasan penuh, wilayah kekuasaannya terbatas, dan taat pada kaisar kalau mereka mau. Kota-kota tersebut tidak takut terhadap kaisar atau kekuatan-kekuatan negara tetangga, karena mereka telah diperkuat sedemikian rupa sehingga setiap orang tahu akan merupakan suatu perjuangan lama dan sulit untuk menaklukkannya. Kota-kota tersebut diperkuat dengan parit dan tembok kota, diperlengkapi dengan senjata-senjata artileri, persediaan umum minuman dan makanan, bahan bakar yang cukup untuk digunakan selama satu tahun yang disimpan di gudang umum. Lebih dari itu, untuk menjaga agar kelas rendah masyarakat merasa puas dengan tanpa menimbulkan kerugian bagi kesejahteraan umum, setiap kota di Jerman selalu mempunyai persediaan untuk waktu satu tahun, mempunyai sarana cukup untuk memberi rakyat pekerjaan selama satu tahun dalam usaha kegiatan yang merupakan tulang punggung kekuatan kota tersebut, dan di industri-industri tempat rakyat kecil mendapatkan pekerjaan. Latihan militer masih sangat dihargai, dan banyak peraturan diberlakukan untuk memelihara latihan-latihan militer tersebut.

Karena itu, seorang raja yang memiliki suatu kota yang kuat dan tidak dibenci rakyatnya, tidak dapat diserang. Mungkin ada yang tidak sependapat jika rakyat mempunyai harta di luar tembok kota dan menyaksikan hartanya di bakar, mereka tidak akan dapat menahan diri, dan berlangsungnya pengepungan yang lama dan kepentingannya sendiri akan membuat nekat dan lupa akan kewajibannya kepada raja. Jawaban atas keberatan ini ialah bahwa seorang raja yang kuat dan berani akan selalu dapat mengatasi kesulitan-kesulitan semacam itu, dengan memberi semangat kepada rakyat dan memberikan harapan bahwa kesulitan-kesulitan yang mereka derita tidak akan lama berlangsung, membangkitkan rasa takut terhadap kekejaman musuh, dan mengambil tindakan-tindakan yang efektif terhadap mereka yang terlalu lancang berani angkat suara. Lagi pula, pasti musuh akan membumi hangus daerah pedesaan kalau dia datang menyerbu, dan ia akan melakukan hal ini sewaktu rakyat raja tersebut masih berkobar dengan semangat besar mempertahankan negara. Karenanya raja tidak perlu lagi merasa khawatir, karena pada waktu rakyat menjadi tenang kembali, kerugian-kerugian telah mereka alami kehancuran sudah terjadi, dan tidak tertolong lagi, rakyat akan lebih lagi bersedia untuk bersatu dengan raja mereka, mereka menganggap bahwa ada suatu ikatan kuat antara mereka untuk saling membantu. Sudah menjadi kodrat manusia terikat baik oleh keuntungan yang mereka terima. Dengan memperhatikan hal ini semuanya, kiranya tidak sulit bagi raja yang bijaksana untuk mengobarkan semangat rakyat, baik pada awal maupun selama kota dikepung musuh, jika ia mempunyai persediaan dan sarana yang memadai untuk mempertahankan diri.

3. Kewajiban Raja Terhadap Angkatan Perang
Raja hendaknya tidak mempunyai sasaran ataupun kesibukan lain, kecuali mempelajari perang dan organisasi dan disiplinnya, karena itulah satu-satunya seni yang dibutuhkan seorang pemimpin. Kemampuan dalam hal ini begitu mulianya sehingga bakat ini tidak hanya dapat mempertahankan mereka yang lahir sebagai raja, tetapi juga kerap kali memungkinkan orang-orang biasa mencapai kedudukan tersebut. Melalaikan seni perang merupakan cara untuk menghancurkan negara, sedangkan terampil dalam seni perang merupakan cara untuk mempertahankan negara.

Mau tidak mau Anda akan menghadapi kesulitan jika Anda tidak memiliki senjata, antara lain, orang akan memandang rendah Anda. Hal ini merupakan salah satu keburukan yang harus dihindari raja. Memang tidak dapat dibandingkan orang yang bersenjata dan orang yang tidak bersenjata. Tidak masuk akal orang yang bersenjata harus taat pada orang yang tidak bersenjata, atau orang tanpa senjata akan tetap aman dan tenang kalau para budaknya diperlengkapi dengan senjata. Demikianlah raja yang tidak mengetahui tentang seni perang, ia mengundang banyak kesulitan lain, tidak akan dihormati oleh para serdadunya atau tak dapat mempercayai pasukannya sendiri.

Karena itu raja tidak boleh sekejap pun melepaskan perhatiannya pada latihan perang yang harus diusahakan dengan sungguh-sungguh dalam masa damai daripada menunggu masa perang. Latihan-latihan ini bisa berupa latihan fisik maupun mental.

4. Raja Harus Setia Memegang Janji
Setiap orang menyadari betapa terpuji kesetiaan dan sifat terbuka seorang pemimpin daripada sifat berbelit-belit dalam segala tindakannya. Namun pengalaman sekarang ini menunjukkan bahwa para raja yang telah berhasil melakukan hal-hal yang besar adalah mereka yang menganggap gampang atas janji-janji mereka, mereka yang tahu bagaimana memperdayakan orang dengan kelihaiannya, dan yang akhirnya menang terhadap mereka yang memegang teguh prinsip-prinsip kejujuran.

Hendak Anda tahu, bahwa ada dua cara berjuang: melalui hukum atau melalui kekerasan. Cara yang pertama merupakan cara yang wajar bagi manusia, dan yang kedua adalah cara bagi binatang. Tetapi karena cara pertama kerap kali terbukti tidak memadai, orang lalu menggunakan cara kedua. Dengan demikian seorang raja harus tahu bagaimana menggunakan dengan baik cara-cara binatang dan manusia. Para penulis kuno mengajarkan kepada para raja mengenai alegori ini, yaitu waktu menguraikan bagaimana Achilles dan banyak raja lainnya dari zaman kuno dikirim untuk dididik oleh Chiron (manusia berkepala binatang), supaya mereka dilatih dengan cara ini. Arti alegori ini ialah, dengan menjadikan guru itu setengah manusia dan setengah binatang. Seorang raja harus mengetahui bagaimana bertindak menurut sifat, baik manusia maupun binatang, dan ia tidak akan hidup tanpa keduanya.

Dengan demikian, karena seorang raja terpaksa mengetahui cara bertindak seperti binatang. Ia harus meniru rubah dan singa; karena singa tidak dapat membela diri sendiri terhadap perangkap, dan rubah tidak dapat membela diri terhadap serigala. Karena itu orang harus bersikap seperti rubah untuk mengetahui adanya perangkap, dan seperti singa untuk menakuti serigala. Mereka yang hanya ingin bersikap seperti singa adalah seorang bodoh. Sehingga, seorang penguasa yang bijaksana tidak harus memegang janji, kalau dengan demikian ia akan merugikan diri sendiri, dan kalau alasan yang mengikat sudah tidak ada lagi. Seandainya semua orang baik hati, anjuran ini pasti tidak baik. Tetapi karena manusia adalah makhluk yang jahanam yang tidak menepati janji, Anda tidak perlu menepati janji pula pada manusia lain. Dan seorang raja tidak akan pernah kehabisan alasan untuk memenuhi ketidak setiaannya, dengan menunjukkan betapa banyak perjanjian dan persetujuan yang dilakukan oleh para raja ternyata kosong dan tidak bernilai karena raja tidak memegang janji; mereka yang paling tahu meniru rubah adalah yang terbaik. Tetapi orang harus mengetahui bagaimana menutupi tindakan-tindakannya dan menjadi pembohong dan penipu yang ulung. Manusia bersifat sederhana, dan begitu banyak manusia disekitarnya sehingga penipu akan selalu menemukan seseorang yang siap untuk ditipunya.

Karen itu, seorang raja tidak perlu memiliki semua sifat baik, tetapi ia tentu saja harus bersikap seakan-akan memilikinya. Dapat disimpulkan jika ia memiliki sifat-sifat ini dan selalu bertingkah laku sesuai dengannya, ia akan mengalami bahwa sifat-sifat tersebut sangat merugikannya. Tetapi jika ia nampaknya saja memilikinya, sifat-sifat tersebut akan berguna baginya. Ia sebaiknya nampak penuh pengertian, setia akan janji, bersih, dan alim. Dan memang ia seharusnya demikian. Tetapi situasinya harus demikian, sehingga jika ia juga memerlukan sifat kebalikannya, ia mengetahui bagaimana menggunakannya. Anda harus menyadari hal ini: seorang raja, dan khususnya raja baru, tidak dapat menaati semua hal yang menyebabkan orang dipandang hidup baik, karena untuk mempertahankan negaranya ia kerap kali terpaksa bertindak berlawanan dengan kepercayaan orang, belas kasih, kebaikan, dan agama. Dan karena itu disposisinya harus luwes, berubah seirama dengan bimbingan keberuntungan dan keadaan. Sebagaimana diutarakan di atas, ia tidak boleh menyimpang dari yang baik, jika itu mungkin, tetapi ia harus mengetahui bagaimana bertindak jahat, jika perlu.

Oleh sebab itu, seorang raja haruslah sangat hati-hati untuk tidak mengatakan sepatah katapun yang tidak nampak terilhami oleh sifat yang disebutkan di atas. Bagi mereka yang menghadap dan mendengarkan dia, dia harus tampak bersikap penuh pengertian, seorang yang dapat dipercaya kata-katanya, seorang yang matang dewasa, seorang yang baik budi dan alim. Dan tidak ada hal yang lebih pentung untuk bersikap seakan-akan memiliki kedua sifat terakhir tersebut. Orang pada umumnya menilai sesuatu lebih berdasarkan apa yang mereka lihat daripada apa yang mereka rasakan. Karena orang dapat melihat, tidak banyak yang mampu berhubungan dekat dengan Anda. Setiap orang melihat Anda tampil, sedikit saja yang mengetahui siapa Anda sebetulnya. Rakyat biasa selalu terkesan oleh penampilan dan hasil. Dalam hubungan ini, hanya rakyat biasa, dan tidak ada tempat bagi mereka yang berjumlah sedikit karena yang banyak mendapat dukungan negara.

5. Menghindari Aib dan Kebencian
Seorang raja harus (seperti sudah dikemukakan) menghindari hal-hal yang akan membuatnya dibenci atau direndahkan; dan kalau ia berhasil dalam hal ini, ia sudah melakukan kewajibannya dengan baik, dan tidak akan mengalami bahaya, meskipun ia melakukan kejahatan-kejahatan lainnya. Ia terutama akan dibenci (selain disebutkan di atas) kalau bersikap rakus, dan menggagahi harta dan istri para bawahannya; ini harus dihindarinya. Ia akan dipandang rendah kalau ia mendapat julukan sebagai orang yang mudah berubah sikap, sembrono, lemah, pengeceut, dan tidak tegas; seorang raja harus menghindari hal seperti ini seperti suatu wabah dan berusaha untuk menunjukkan dalam bertindak: keagungan, keberanian, kewajaran, kekuatan. Kalau harus menyelesaikan pertikaian di antara bawahannya, harus diperhatikan bahwa keputusannya tidak dapat ditarik kembali. Dan ia harus dihormati sedemikian rupa sehingga tak ada orang yang pernah berpikir untuk mencoba menipu atau mempermainkannya.

Raja yang berhasil membuat dirinya dihormati sedemikian itu sangat dihargai; dan terhadap orang yang sangat dihormati sulit untuk mengadakan persengkongkolan, dan serangan secara terang-terangan sulit pula, asalkan ia diakui sebagai orang besar yang dihormati oleh para bawahannya. Ada hal yang harus ditakuti raja: subversi dari dalam diantara para bawahannya, dan serangan dari luar oleh kekuatan asing. Mengenai hal yang kedua ini, pertahanannya terletak dalam persenjataan yang lengkap dan mempunyai sekutu yang baik. Dan jika ia memiliki persenjataan lengkap, ia akan selalu memiliki sekutu yang baik. Tambahan pula, masalah-masalah dalam negeri akan selalu dapat dikendalikan asalkan hubungan dengan kekuatan luar juga terkendalikan dan selama hubungan tersebut belum dikeruhkan oleh suatu persengkongkolan. Kemudian, sejauh masalah menyangkut para bawahan, dan jika tidak ada kericuhan di luar negeri, kekuatan utama raja ialah suatu persengkongkolan rahasia. Ia akan dapat menjaga diri terhadap hal ini kalau ia berusaha untuk tidak dibenci atau dicemoohkan dan rakyat hidup tenang: hal ini sangat penting. Salah satu cara ampuh menanggulangi persengkongkolan ialah berusaha untuk dibenci rakyat. Karena, orang yang bersengkongkol selalu beranggapan bahwa dengan membunuh raja ia akan membuat hati rakyat puas. Tetapi ia beranggapan bahwa ia akan membuat rakyat marah, ia tidak akan pernah berani melaksanakan usaha tersebut, karena akan menghadapi rintangan yang tak terhingga banyaknya dalam usaha bersengkongkol tersebut. Pengalaman menunjukkan bahwa banyak persengkongkolan tetapi sedikit saja yang berhasil karena orang bersengkongkol tidak bisa bertindak sendirian dan mereka tidak dapat menemukan kawan kecuali dari antara orang-orang yang merasa tidak puas. Singkatnya, pihak pembangkang hanya ada rasa takut, iri, dan masa depan yang penuh kecemasan akan mendapat hukuman. Di pihak raja terdapat keagungan negara, ada hukum, dukungan dari sahabat dan negara untuk melindunginya. Dapat ditambahkan di sini adanya kecintaan rakyat, dan tak terpikirkan bahwa ada orang yang sedemikian gilanya untuk membangkang. Karena dalam keadaan biasa saja seorang pembangkang merasa takut untuk bertindak, apalagi dalam hal ini ia merasa takut pula melakukan niatnya, karena menyadari rakyat memusuhinya, dan tidak dapat mengharapkan rakyat akan melindunginya.

Di antara kerajaan yang berpemerintahan baik pada zaman kita ini, adalah kerajaan Prancis. Prancis memiliki lembaga-lembaga penting yang tak terbilang banyaknya, yang mendukung kebebasan raja untuk bertindak dan mendukung kekuasaannya. Salah satu dari lembaga tersebut adalah parlemen dan wewenang yang dimilikinya. Pendiri negara Prancis, karena mengetahui ambisi dan kekurangajaran para bangsawan, memandang perlu untuk mengekang mulut mereka. Di lain pihak, ia ingin memberikan jaminan kepada rakyat, karena mengetahui bagaimana rakyat merasa takut terhadap para bangsawan, sehingga juga membenci mereka. Ia tidak menginginkan bahwa hal ini menjadi tanggung jawab raja saja, karena ia ingin menyelamatkan raja dari kecaman para bangsawan lantaran ia memihak rakyat dan dari kecaman rakyat lantaran ia memihak para bangsawan. Karena itu ia mendirikan suatu badan yang independen untuk menundukkan para bangsawan dan memihak rakyat yang lemah, tanpa menimbulkan kecaman bagi raja. Tidak ada lembaga yang lebih baik atau lebih peka, atau yang lebih efektif dalam memberikan jaminan keamanan bagi raja dan kerajaannya.

Dari hal ini dapat ditarik suatu pertimbangan yang pantas kita perhatikan: bahwa raja harus menunjuk orang lain untuk melaksanakan tindakan-tindakan yang kurang menyenangkan rakyat dan melakukan sendiri pembagian penghargaan kepada rakyat. Sekali lagi, raja harus tetap menghargai para bangsawan, tetapi tidak membuat dirinya dibenci rakyat.

6. Seorang Raja Harus Bertindak untuk Tetap Disegani Rakyat
Sangat menguntungkan juga bagi raja untuk menjadikan dirinya contoh dalam pelaksanaan politik dalam negerinya, seperti contoh yang dikisahkan mengenai Messer Bernabo dari Milan. Kalau seseorang melakukan hal yang luar biasa dalam masyarakat, entah baik atau buruk, ia harus menemukan sarana untuk memberi penghargaan atau menghukum orang tersebut, sehingga menjadi buah bibir masyarakat. Lebih-lebih seorang raja harus berusaha agar dari setiap tindakannya, keagungan dan kemuliaan yang diperolehnya.

Lagi pula seorang raja dijunjung tinggi kalau ia merupakan sahabat sejati atau seorang musuh bebuyutan, yaitu kalau ia menyatakan dirinya secara terang-terangan memihak atau menentang seseorang. Kebijaksanaan ini selalu lebih berguna daripada bersikap tidak memihak. Sebab, Kalau dua penguasa negara tetangga saling bertentangan, situasinya menjadi sedemikian sehingga kalau salah satu menang, Anda harus merasa takut kepada yang menang atau tidak. Dalam kedua hal ini akan lebih baik bagi Paduka untuk menyatakan diri secara terbuka dan melancarkan perang; karena kalau ada pihak yang menang dan Paduka tidak menyatakan perang, Paduka akan menjadi mangsa penguasa yang menang, yang akan membuat pihak negara tetangga yang kalah gembira, dan Paduka tidak akan memiliki apapun untuk mempertahankan diri maupun tidak ada orang yang akan menerima Paduka lagi. Pihak manapun yang memang tidak akan ingin mempunyai sahabat yang dicurigai dan yang tidak memberi bantuan kepadanya pada waktu ia mendapat kesulitan, dan pihak yang kalah tidak akan menerima dia karena raja tidak berusaha membantu melawan untuk memenangkan persengketaan tersebut.

Sering terjadi bahwa pihak yang bukan sahabat Anda menginginkan Anda untuk tidak memihak, dan pihak yang menjadi sahabat Anda akan meminta Anda menyatakan sikap Anda dengan mengangkat senjata. Raja yang tidak dalam hal ini, untuk menghindari bahaya yang dihadapi, biasanya mengikuti cara tidak memihak dan kebanyakan hancur karenanya. Tetapi kalau raja menyatakan dirinya secara jujur memihak salah satu pihak, jika pihak yang diikuti itu menang, juga seandainya rekan Anda ini kuat dan Anda tetap akan berada di bawah pegaruh kebijaksanaannya, ia akan tetap merasa berutang terhadap Anda dan ia akan menghormati persahabatan yang ada. Di lain pihak, seandainya sekutu Anda kalah, ia akan memberikan perlindungan bagi Anda. Ia akan membantu Anda selagi mampu berbuat demikian, dan Anda menjadi sekutu dan dengan persekutuan itu nasib Anda barangkali akan menjadi lebih baik. Mengenai hal yang kedua, jika pihak-pihak yang bertentangan tidak membuat Anda merasa takut terhadap pihak yang menang, Anda semakin beralasan untuk memberikan dukungan terhadap salah satu pihak. Dengan cara ini Anda membantu menghancurkan salah satu pihak dengan bantuan pihak lain, yang tentu akan membantu dirinya sendiri kalau dia bijaksana. Jika Anda menang, sekutu Anda akan berada di bawah kekuasaan Anda, dan dengan bantuan Anda tidak mungkin sekutu Anda tidak akan menang.

Perlu dicatat disini, bahwa seorang raja jangan pernah masuk persekutuan yang agresif dengan seseorang yang lebih kuat daripada dirinya sendiri, kecuali kalau memang terpaksa, seperti uraian di atas. Karena jika Anda yang memang, Anda akan menjadi tawanan sekutu Anda. Dan raja harus berusaha sekuat tenaga menghindar untuk dikuasai oleh orang lain. Begitulah kenyataannya: kalau orang menghindari suatu bahaya, ia terjebak dalam bahaya lain. Sikap yang bijaksana ialah mampu melihat inti sebuah situasi ancaman khusus dan memperkecil bahaya yang ditimbulkannya.

Seorang raja harus menunjukkan penghargaan terhadap bakat, serta aktif mendorong orang-orang berbakat, dan memberi penghargaan kepada para seniman yang terkemuka. Dengan demikian ia mendorong rakyat, memungkinkan mereka melakukan tugas mereka dengan tenang, entah dalam perdagangan, pertanian, atau pekerjaan lainnya. Sebaliknya, raja harus memberi penghargaan kepada orang-orang yang mau melakukan dan mereka yang berusaha dengan berbagai cara untuk meningkatkan kemakmuran kota dan negara mereka. Di samping itu, pada waktu yang baik ia harus mengadakan pesta tontonan bagi rakyatnya, menemui mereka sekali waktu, dan memberi contoh akan kebaikan dan kemurahan hatinya. Namun ia harus menjaga martabat keluhurannya, karena hal ini sama sekali tidak boleh ternoadi.

Sumber:
Niccolo Machiavelli, 1987. Sang Penguasa (Surat Seorang Negarawan Kepada Pemimpin Republik), PT. Gramedia.