April 2008, Indonesia (khususnya di Pulau Jawa) untuk kesekian kali diberitakan dengan adanya ajaran/aliran Ahmadiyah. Kembali pemerintah di uji ketegasannya untuk menyelesaikan. Ternyata pemerintah kurang sikap dan kurang tegas. Karena dengan berlarut-larutnya masalah ini membuat organisasi-organisasi Islam berbuat dan bertindak sendiri. Bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) selaku otoritas tertinggi agama Islam tidak dapat menghentikan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh oknum organisasi Islam tersebut.
Inilah yang terjadi saat ini di negara hukum, negara demokrasi, negara yang penduduknya mayoritas muslim, NEGARA INDONESIA.
Ahmadiyah
Adalah suatu aliran/agama yang meyakini dan mengakui bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah al-Masih. Ahmadiyah juga meyakini bahwa Nabi Muhammad s.a.w. bukan nabi terakhir, tetapi Allah akan terus mengutus nabi sesuai kebutuhan, dan Mirza Ghulam Ahmad adalah paling utamanya nabi. Selain itu kitab sucinya bukan Alqur’anul Karim, yang diturunkan nabi s.a.w. (Hariyanto Imadha, dalam Jawa Pos, hal. 4, 22 April 2008).
Perlu diralat kembali. Dalam wawancara yang dilakukan salah satu stasiun televisi swasta pada akhir April 2008. Pimpinan Ahmadiyah menyatakan bahwa Ahmadiyah masih meyakini Nabi Muhammad s.a.w. Rasul Allah.
***
Islam yang ada di Indonesia saat ini adalah agama mayoritas dan terbesar, yang seharusnya dapat mengayomi dan melindungi kaum minoritas. Bukan sebaliknya, melarang, membubarkan, bahkan memusuhinya.
Sebagai manusia seharusnya sadar dan mau berfikir, bahwa kita sesungguhnya tidak tahu dan bahkan tidak tahu apa yang dikatakan benar atau salah menurut Allah. Sebab manusia hidup di dunia ini hanyalah sebagai khalifah, bukan sebagai hakim yang menghukum sesamanya. Oleh karena itu, marilah kita membuka dan kembali mau belajar sejarah Islam (penyebarannya maupun perkembangannya).
Menurut pandangan saya, bahwa Islam menjadi besar karena ajarannya. Sebab Islam dalam pengajarannya menurut budaya sekitar (baik di Arab maupun di Indonesia sendiri). Hal itu dapat kita lihat dari segi hukumnya –– hukum Islam. Dimana, hukum Islam yang ada di Indonesia dengan yang ada di Arab sudah berbeda. Hal itu dipengaruhi oleh budaya yang telah disepakati.
Selain dilihat dari sisi hukum dan budayanya, dapat juga dilihat dari sisi sejarahnya. Sesuai dengan sifat estalogis Islam, Allah memberikan anugerah penciptaan menurut peran Allah sebagai hakim. Di dalam salah satu firman-Nya bahwa “sesungguhnya Kami telah mengemukakan Amanat kepada Langit, Bumi, dan Gunung-gunung, ……dan dipikullah amanat itu oleh manusia, sesungguhnya manusia itu amat zalim dan bodoh.”
Manusia adalah manusia (diri) yang satu, lalu Allah membangkitkan para nabi untuk membawa berita gembira dan peringatan. Dan, para nabi itu diberi kitab dengan membawa kebenaran agar dapat digunakan untuk memutuskan perkara-perkara yang diperselisihkan (Q.S. 2:213). Selain itu, tujuan penciptaan adalah untuk membimbing manusia dan untuk menguji iman dan tindakan mereka. Pandangan ini melengkapi tekanan kepada Allah sebagai hakim, karena Allah memberikan ciptaan kepada manusia untuk digunakan dan untuk menguji seberapa baik manusia menggunakannya.
Dalam ajarannya Syekh Siti Jenar tentang Makna Kematian yang ditulis oleh Achmad Chodjim (2004) berpendapat bahwa manusia tidak hidup di atas realita. Tetapi berdasarkan opini atau pendapat. Dimana, orang tua dalam mengajar dan mendidik anaknya berdasarkan pandangan yang ia terima dari orang-orang yang berpengaruh di lingkungannya. Dan biasanya orang tua mempercayakan pendidikan itu kepada orang lain, yaitu yang disebut guru (baik guru formal maupun non formal). Maka, dapat disimpulkan bahwa manusia diciptakan dan diturunkan ke bumi untuk mengenal Tuhannya, bukan untuk menghukum atau mengadili ciptaan-Nya. Begitu pula dalam hal beribadah.
Masih dalam ajaran Syekh Siti Jenar (Achmad Chodjim, 2004), bahwa agama diturunkan sebagai wahana agar manusia berada di jalan yang benar. Di dunia ini tidak ada orang yang menerima otoritas dari Tuhan untuk memaksakan suatu agama. Bahkan Nabi Muhammad hanya diperintah oleh Tuhan untuk memberikan pelajaran, dan tidak untuk menguasai (Q.S. al-Ghasyiyah, 88:21-22). Manusia hanya diberi wahyu agar bisa memberi pelajaran atau petunjuk kepada orang lain. Orang yang telah menerima wahyu dari Tuhan (apapun jenisnya) akan membuat hidupnya menjadi santun, dan berusaha mengarahkan orang lain ke kehidupan yang benar. Bila seseorang yang mendapatkan hikmat dari Tuhan, sesungguhnya telah menerima ‘khair’, kebajikan, kekayaan, kesejahteraan, keuntungan, caritas. Dan mereka yang menerima hikmat itu adalah para ‘ulil albab’, orang-orang yang akalnya telah dipimpin oleh Tuhan (Q.S. al-Baqarah, 2:269). Jika orang yang telah memperoleh hikmat, ia tidak akan berlaku zalim, karena Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang berlaku zalim (Q.S. 2:258, 5:51, 6:144, 46:10, 61:7, dan 62:5).
Dari pengertian-pengertian di atas, dapat digambarkan bahwa manusia dalam hal beribadah tidak berhak atau memaksakan sesuatu yang sudah diyakini. Manusia hanya diberi petunjuk untuk membenarkan apa yang sudah dituliskan dalam kitab (apapun kitabnya). Bukan untuk menghukum dan mengadili. Karena manusia mempunyai keterbatasan dan tidak mempunyai otoritas yang mutlak.
Oleh karena itu, sebagai bangsa Indonesia yang demokrasi dan berlandaskan pada Ideologi Pancasila seharusnya memahami setiap butir-butir Pancasila. Karena Indonesia berdiri bukan atas agama, suku dan ras. Tetapi menurut budaya dan hasil kesepakatan bersama. Indonesia menghormati setiap hak manusia dan cara beribadah menurut agama dan kepercayaannya masing-masing.
Agama bukan lagi menjadi jalan damai bagi yang melaluinya. Ia hanya sebagai dogma. Dogma yang dipaksakan pelaksanaannya dalam kehidupan. Hal yang demikian ini lahir dari budi pekerti yang tak dipimpin Tuhan, kata Syekh Siti Jenar.
29 April 2008
20 April 2008
Kudeta
1 Oktober 1965 merupakan hari paling penting dalam sejarah Indonesia, sesudah 17 Agustus 1945. Nyaris semua bagian penting dalam kehidupan bangsa-negara sampai hari-hari ini terkait dengan serangkaian peristiwa yang berasal pada dini hari 41 tahun lalu.
Pendidikan terpenting bagi anak-anak bangsa tentang seluk-beluk Tanah Air tidak bisa harus merujuk pada serangkaian peristiwa dari tanggal itu. Dari situ, dapat dibahas apa yang terjadi pada hari-hari sebelum dan sesudah 1 Oktober 1965. Menyangkal hak anak-anak Indonesia untuk memahami ini, merupakan sebuah kejahatan intelektual yang sulit dimaafkan.
Sayangnya, banyak perkara dari rangkaian peristiwa bersejarah itu yang ditutup-tutupi, dihindarkan, atau ditabukan. Ibarat kelamin, sejarah itu dirahasiakan sehingga tidak banyak dipahami atau disalah-pahami. Para guru di sekolah tidak mau, tidak mampu, atau tidak boleh memberikan pencerahan kepada anak-anak didik mereka. Perbandingan sejarah 1965 dengan kelamin itu dapat diteruskan. Karena sejarah itu tidak dipahami dengan baik, selama bertahun-tahun terjadi ketakutan, peyakit kotor, pemerkosaan, pelecehan, dan kecelakaan biologis yang tidak perlu.
Sejarah yang sangat rumit tidak mungkin diuraikan di sini. Tapi beberapa masalah kecil, namun penting, dapat dikaji. Misalnya soal istilah apa yang tepat untuk serangkaian peristiwa di tahun 1965 itu? Kudeta? Oleh siapa, terhadap siapa?
Selama lebih dari 30 tahun di bawah pemerintahan zalim Orde Baru disebarkan propaganda. Disebutkan, pada hari-hari itu terjadi sebuah kudeta yang gagal oleh “G-30-S/PKI”, maksudnya “Gerakan 30 September” milik Partai Komunis Indonesia.
Sejak awal disebarkan di tahun 1960-an, propaganda ini digugat pada ahli tentang Indonesia. Memang ada sekelompok perwira militer yang menamakan diri “Gerakan 30 September”. Tapi apakah yang mereka lakukan dapat disebut sebagai “kudeta”?
Menurut juru bicara mereka, gerakan itu menggagalkan rencana kudeta oleh apa yang dinamakan “Dewan Jenderal” terhadap pemerintahan yang sah Presiden Soekarno. Terlepas benar atau tidaknya tuduhan itu, Gerakan 30 September tidak pernah berupaya menggulingkan presiden, walau membubarkan parlemen dan menggantikan dengan yang baru.
Beberapa jam kemudian Gerakan 30 September diserbu oleh kelompok lain dari militer yang dipimpin Mayor Jenderal (waktu itu) Soeharto. Serangan ini tidak saja berhasil menghabisi Gerakan 30 September, tetapi juga menggantikan pemerintahan Presiden Soekarno tanpa melewati pemilihan umum yang damai, bebas, dan terbuka.
Dari sepotong cerita itu keterlibatan PKI tidak jelas. Yang tampak hanya perebutan kekuasaan di antara dua kelompok yang sama-sama bersenjata dan berseragam militer. Baru setelah yang satu menang, PKI disebut-sebut sebagai dalang dibalik “kudeta” 30 September 1965. Sekitar sejuta orang dijagal beramai-ramai, karena pernah menjadi anggota PKI yang waktu itu merupakan partai yang sah, atau dianggap bersahabat dengan PKI. Ratusan ribu lainnya dihukum penjara belasan tahun, tanpa diadili.
Presiden Soekarno dilucuti dari kekuasaan tanpa proses hokum. Para pendukungnya, termasuk para pejabat pemerintahannya, diadili dan dipenjara dengan tuduhan terlibat “kudeta” terhadap pemerintahannya sendiri!
Karena serangkaian baku-tembak yang terjadi selewat tengah malam, 1 Oktober 1965, pernah ada istilah “Gestok” (Gerakan Satu Oktober). Tapi pihak penguasa waktu itu keberatan. Istilah itu condong menuduh pihaknya yang melakukan “kudeta-tandingan” mengungguli “kudeta” lawannya.
Benarkah PKI terlibat? Mungkin, karena PKI menjadi salah satu kekuatan yang paling Berjaya. Mungkin massa pendukungnya tidak tahu-menahu perebutan kekuasaan di Jakarta. Tapi aneh jika pimpinannya sama sekali tidak tahu-menahu atau tidak mencoba ikut campur. Sejauh mana PKI terlibat? Semuanya ini baru akan terjawab lebih baik, bila kedewasaan kita berbangsa telah memungkinkan kajian yang lebih terbuka dan kritis tentang sejarah itu.
Untuk sementara para ahli tentang Indonesia meragukan propaganda Orde Baru yang mengibliskan PKI. Ada beberapa alasan mereka. Yang paling banyak disebut adalah PKI waktu itu merupakan partai yang paling kuat. Tanpa berusaha keras pun PKI akan mencapai kekuasaan pemerintahan lewat resmi dan damai. Sangat aneh, jika mereka melakukan kudeta. Lebih masuk akal bila kudeta dilancarkan oleh musuh mereka yang mencoba menghalangi jalan mulus PKI menuju sukses.
Ditengok dari tanggal 1 Oktober, tampak betapa remeh-temeh diskusi tentang kemungkinan “kudeta” di skitar tahun 1998. Seakan-akan ini hanya adu ego sesama elite politik Orde Baru di akhir masa jayanya. Yang layak dihargai dari perdebatan mereka adalah kemauan berdebat secara beradab, yakni menulis buku. Peradaban semacam ini tidak pernah dihargai oleh rezim Orde Baru. (Ariel Heryanto)
18 April 2008
Meneruskan Ketidakadilan Adalah Memperbanyak Dosa
Kalau dilihat secara keseluruhan, para korban peristiwa 65 yang sekarang memperjuangkan tuntutan mereka yang adil (yaitu memulihkan hak-hak mereka di bidang politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan) sebenarnya, dan akhirnya, berarti tidak hanya memperjuangkan kepentingan mereka sendiri saja, tetapi juga untuk kebaikan seluruh bangsa dan anak-cucu kita. Karena, kasus para korban peristiwa 65 sudah jelas-jelas menjadi beban moral bangsa atau sudah menjadi aib bangsa yang memalukan. Atau, sudah menjadi dosa besar bangsa. Jadi, menyelesaikan kasus para korban peristiwa 65 sebenarnya berarti menghilangkan aib dan dosa besar bangsa, yang sudah membikin buruk sekali martabat bangsa Indonesia puluhan tahun, termasuk di mancanegara.
Kalau direnungkan dalam-dalam, sesungguhnya tidak ada keuntungan bagi siapapun, dan dari kalangan atau golongan yang manapun – termasuk bagi mereka yang menjadi pendukung Orde Baru -- untuk meneruskan kesalahan besar atau melanggengkan kejahatan ini lebih lama lagi. Diteruskanya perlakuan yang jelas-jelas tidak mencerminkan perikemanusiaan, atau sama sekali tidak menunjukkan peradaban -- dan juga tidak menunjukkan keadilan bagi sesama makhluk Tuhan dan sesama warganegara Republik Indonesia ini --, adalah hanya memperbanyak dosa besar. Dan hanyalah mendatangkan keburukan bagi bangsa dan mewariskan aib kepada generasi yang akan datang. Inilah yang harus disadari betul-betul oleh banyak tokoh-tokoh masyarakat dan bangsa kita, baik yang di kalangan pemerintahan dan lembaga-lembaga, maupun yang di kalangan partai-partai politik, kalangan agama, dan kaum intelektual.
Mengingat pengalaman yang sudah dilewati oleh bangsa kita selama 40 tahun, maka bisalah kiranya kita tarik pelajaran bahwa berbagai kesalahan besar (dan banyak kejahatan berat) yang dilakukan oleh golongan militer (terutama TNI-AD) dengan Orde Barunya, tidak boleh terulang lagi, dalam bentuknya yang bagaimanapun juga, dengan cara apapun juga, dan dengan dalih apapun juga! Sudah terlalu banyaklah kiranya kerusakan, pembusukan, penderitaan dan penganiayaan yang terjadi dalam jangka waktu yang begitu lama yang dialami sebagian besar rakyat, termasuk penderitaan keluarga para korban pembunuhan massal tahun 65 dan para tapol beserta keluarga mereka.
Hanya orang-orang yang fikirannya sudah dikeruhkan oleh berbagai pandangan yang sesat, atau hanya golongan yang tidak memiliki kesalehan sosial sama sekalilah yang akan tetap senang dengan dilanggengkannya ketidakadilan dan ketidakperikemanusiaan yang sudah begitu menyolok secara sangat keterlaluan ini. Juga hanya tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh-tokoh negara yang sesat imannyalah yang masih terus menganggap baik diteruskannya perlakuan terhadap para korban 65.
Dalam memperingati 40 tahun peristiwa 65, kita semua patut mengingatkan para tokoh masyarakat dan tokoh negara kita bahwa jiwa bangsa kita akan terus menjadi jiwa bangsa yang sakit selama kasus para korban peristiwa 65 ini tidak mendapat penyelesaian secara adil. Kita tidak bisa sama sekali menamakan diri sebagai bangsa yang beradab dan tidak pula patut membanggakan diri sebagai ummat beriman kalau puluhan juta orang masih terus kita biarkan dibikin menderita berkepanjangan. Kita akan tetap terus menjadi bangsa yang menyandang aib besar dan memikul dosa berat. Oleh karena itu, aib besar dan dosa berat ini harus kita buang jauh-jauh. Makin cepat makin baik.
Kalau direnungkan dalam-dalam, sesungguhnya tidak ada keuntungan bagi siapapun, dan dari kalangan atau golongan yang manapun – termasuk bagi mereka yang menjadi pendukung Orde Baru -- untuk meneruskan kesalahan besar atau melanggengkan kejahatan ini lebih lama lagi. Diteruskanya perlakuan yang jelas-jelas tidak mencerminkan perikemanusiaan, atau sama sekali tidak menunjukkan peradaban -- dan juga tidak menunjukkan keadilan bagi sesama makhluk Tuhan dan sesama warganegara Republik Indonesia ini --, adalah hanya memperbanyak dosa besar. Dan hanyalah mendatangkan keburukan bagi bangsa dan mewariskan aib kepada generasi yang akan datang. Inilah yang harus disadari betul-betul oleh banyak tokoh-tokoh masyarakat dan bangsa kita, baik yang di kalangan pemerintahan dan lembaga-lembaga, maupun yang di kalangan partai-partai politik, kalangan agama, dan kaum intelektual.
Mengingat pengalaman yang sudah dilewati oleh bangsa kita selama 40 tahun, maka bisalah kiranya kita tarik pelajaran bahwa berbagai kesalahan besar (dan banyak kejahatan berat) yang dilakukan oleh golongan militer (terutama TNI-AD) dengan Orde Barunya, tidak boleh terulang lagi, dalam bentuknya yang bagaimanapun juga, dengan cara apapun juga, dan dengan dalih apapun juga! Sudah terlalu banyaklah kiranya kerusakan, pembusukan, penderitaan dan penganiayaan yang terjadi dalam jangka waktu yang begitu lama yang dialami sebagian besar rakyat, termasuk penderitaan keluarga para korban pembunuhan massal tahun 65 dan para tapol beserta keluarga mereka.
Hanya orang-orang yang fikirannya sudah dikeruhkan oleh berbagai pandangan yang sesat, atau hanya golongan yang tidak memiliki kesalehan sosial sama sekalilah yang akan tetap senang dengan dilanggengkannya ketidakadilan dan ketidakperikemanusiaan yang sudah begitu menyolok secara sangat keterlaluan ini. Juga hanya tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh-tokoh negara yang sesat imannyalah yang masih terus menganggap baik diteruskannya perlakuan terhadap para korban 65.
Dalam memperingati 40 tahun peristiwa 65, kita semua patut mengingatkan para tokoh masyarakat dan tokoh negara kita bahwa jiwa bangsa kita akan terus menjadi jiwa bangsa yang sakit selama kasus para korban peristiwa 65 ini tidak mendapat penyelesaian secara adil. Kita tidak bisa sama sekali menamakan diri sebagai bangsa yang beradab dan tidak pula patut membanggakan diri sebagai ummat beriman kalau puluhan juta orang masih terus kita biarkan dibikin menderita berkepanjangan. Kita akan tetap terus menjadi bangsa yang menyandang aib besar dan memikul dosa berat. Oleh karena itu, aib besar dan dosa berat ini harus kita buang jauh-jauh. Makin cepat makin baik.
11 April 2008
Guru yang Kian Tersudut -- Sebuah Esai
Beberapa waktu yang lalu, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) Kabinet Gotong Royong Faisal Tamin, membuat surat edaran soal larangan pengalihan PNS dari jabatan guru ke jabatan non-guru, yang dikirim kepada para gubernur dan bupati/walikota di seluruh Indonesia.
Dalam surat edaran bernomor SE/15/M.PAN/4/2004 itu secara eksplisit disebutkan permintaan menteri kepada gubernur, bupati, dan walikota agar segera menghentikan dan melarang pengalihan PNS dari jabatan guru ke kabatan lain.
Di luar isi surat itu ada kalimat, ‘guru dinilai tidak mempunyai kompetensi untuk menduduki jabatan struktural.
Pernyataan itu kiranya perlu diklarifikasi secara umum, kompetensi itu mengandung dua aspek, yaitu kemampuan (bekwaamkeid) dan kewenangan (befoegdheid). Dalam pengertian ini orang yang berkompeten terhadap jabatan tertentu adalah orang yang memiliki kemampuan memadai dan kewenangan cukup untuk memangku jabatan itu.
Dari sisi kewenangan, seorang guru memang tidak berwenang menduduki jabatan struktural di pemerintahan misalnya. Namun, dari sisi kemampuan, banyak guru yang dapat menjalankan job non-keguruan secara bagus.
Dalam teori kepemimpinan, untuk menjadi seorang pemimpin yang baik diperlukan tiga syarat, yaitu: memiliki pengetahuan yang cukup tentang bidang yang harus digarap (substantial knowledge), memiliki kapabilitas yang cukup untuk mengendalikembangkan orang (leadership capability), serta memiliki kemampuan mengelola organisasi secara memadai (managerial ability).
Dari teori tersebut jelas, jabatan guru tidak berhubungan langsung dengan kemampuan kepemimpinan. Dengan demikian tidak tepat jika ada pernyataan, seorang guru tidak memiliki kemampuan kepemimpinan.
Oleh banyak guru, pelarangan itu dianggap kurang bijaksana; apalagi kebijakan ini tidak disertai pelarangan serupa terhadap PNS non-guru guna menduduki jabatan struktural pendidikan. Kini banyak pimpinan daerah memasang orang berlatar belakang non-pendidikan untuk menjadi kepala dinas pendidikan. Kini, kepala dinas pendidikan di daerah banyak di isi orang-orang berlatar belakang non-pendidikan.
Di kantor Depdiknas yang mengurus pendidikan, banyak yang latar belakang akademisnya bukan pendidikan, seperti; dokter, ahli mesin, ahli rayap, dan sebagainya.
Bagaimana dengan daerah anda?
Dalam surat edaran bernomor SE/15/M.PAN/4/2004 itu secara eksplisit disebutkan permintaan menteri kepada gubernur, bupati, dan walikota agar segera menghentikan dan melarang pengalihan PNS dari jabatan guru ke kabatan lain.
Di luar isi surat itu ada kalimat, ‘guru dinilai tidak mempunyai kompetensi untuk menduduki jabatan struktural.
Pernyataan itu kiranya perlu diklarifikasi secara umum, kompetensi itu mengandung dua aspek, yaitu kemampuan (bekwaamkeid) dan kewenangan (befoegdheid). Dalam pengertian ini orang yang berkompeten terhadap jabatan tertentu adalah orang yang memiliki kemampuan memadai dan kewenangan cukup untuk memangku jabatan itu.
Dari sisi kewenangan, seorang guru memang tidak berwenang menduduki jabatan struktural di pemerintahan misalnya. Namun, dari sisi kemampuan, banyak guru yang dapat menjalankan job non-keguruan secara bagus.
Dalam teori kepemimpinan, untuk menjadi seorang pemimpin yang baik diperlukan tiga syarat, yaitu: memiliki pengetahuan yang cukup tentang bidang yang harus digarap (substantial knowledge), memiliki kapabilitas yang cukup untuk mengendalikembangkan orang (leadership capability), serta memiliki kemampuan mengelola organisasi secara memadai (managerial ability).
Dari teori tersebut jelas, jabatan guru tidak berhubungan langsung dengan kemampuan kepemimpinan. Dengan demikian tidak tepat jika ada pernyataan, seorang guru tidak memiliki kemampuan kepemimpinan.
Oleh banyak guru, pelarangan itu dianggap kurang bijaksana; apalagi kebijakan ini tidak disertai pelarangan serupa terhadap PNS non-guru guna menduduki jabatan struktural pendidikan. Kini banyak pimpinan daerah memasang orang berlatar belakang non-pendidikan untuk menjadi kepala dinas pendidikan. Kini, kepala dinas pendidikan di daerah banyak di isi orang-orang berlatar belakang non-pendidikan.
Di kantor Depdiknas yang mengurus pendidikan, banyak yang latar belakang akademisnya bukan pendidikan, seperti; dokter, ahli mesin, ahli rayap, dan sebagainya.
Bagaimana dengan daerah anda?
Esai Budaya (Kumpulan)
Kebudayaan Indonesia yang Dihalalkan
Berbagai kisaj sejarah diberbagai kawasan dunia menunjukkan bahwa bertahannya kejayaan suatu kekuasan manusia atas manusia lain tidak disebabkan melulu karena kehebatan si penguasa, tapi juga karena kelemahan pihak yang dikuasai dan yang memperkuat penindasan atas kaumnya sendiri. Kaum feminis tahu benar kukuhnya penindasan atas kaum wanita disebabkan, antara lain, oleh dukungan sebagian tak kecil wanita sendiri terhadap kelestarian penindasan tersebut. Mereka berbuat demikian karena “tidak sadar” atau “sadar tetapi dipaksa keadaan.” Sejarah penjajahan Belanda di Indonesia menunjukkan bahwa kekuasaan asing itu dimungkinkan, antara lain, oleh andil kaum pribumi untuk memperkuat jalannya pemerintahan penjajahan.
Progresivitas Kapitalisme
Penjelasan baku di Indonesia mengenai rendahnya kualitas film Indonesia ialah dominasi nilai komersial dalam proses produksi. Jika komersialisme ini dapat diterjemahkan sebagai kapitalisme? Justru sebaliknya. Kita tak menikmati film nasional bermutu karena kurangnya persaingan pasar ala kapitalisme yang terbuka. Film-film yang bagus dari AS (Amerika Serikat) tidak dibuat dengan niat utama mencapai nilai estetika tinggi, tetapi laba sebesar-besarnya. Laba yang besar tidak bertabrakan dengan nilai estetika tinggi bilamana ada permintaan di pasar untuk itu. Langkah atau absennya film bagus di Indonesia bukan karena komersialisasi. Bukan karena sinematik dan artis kita tak mampu. Film kita (juga pers kita) tidak diproduksi berdasarkan hukum pasar secara murni, tetapi hukum “politik adalah panglima,” khususnya politik stabilitas dan keamanan.
Dari Siapa, Untuk Siapa
Amerika Serikat (AS) menjadi negara yang kuat dan makmur, bukan karena kapitalismenya, melainkan berkat kelemahan dan kemiskinan berbagai negeri di Dunia Ketiga yang diisapnya. AS berkepentingan untuk melestarikan peperangan dan kemiskinan diberbagai wilayah lain demi menjaga stabilitas, kesejahteraan, dan kemewahan stalase demokrasi yang diberikan kepada rakyatnya.
Baju Wakil Rakyat
Salah satu karya teater paling sukses yang dipentaskan Rendra sekitar tahun 1975, adalah kisah Perjuangan Suku Naga. Pada intinya, karya teater Rendra itu merupakan sebuah kritik mendasar terhadap proyek utama rezim-rezim di Dunia Ketiga, yakni pembangunan.
Adegan kisah Perjuangan Suku Naga yang paling mengesankan berkaitan dengan komentar Kepala Suku Naga bernama Abisavam tentang ‘baju para wakil rakyat’. Pertemuan ketua parlemen dan rakyat suku naga terjadi karena rakyat ini menolak penggusuran tanahnya yang akan dipakai untuk pembangunan mengadolar.
Dalam awal pertemuan itu, Abisavam mempertanyakan mengapa ketua parlemen berbusana seperti gangster atau anggota parlemen dari Eropa sambil mengaku menjadi wakil rakyat. Kalau berani-beraninya mengaku menjadi wakil rakyat seterusnya busana mereka mewakili busana rakyat. Abisavam juga mengingatkan sang ketua parlemen bahwa rakyat adalah atasan dan majikan para anggota parlemen.
Secara normatif, seharusnya seorang wakil lebih berkewajiban mengerti dan menghormati pihak yang diwakilkannya, yang menjadi atasannya bukan sebaliknya. Namun, dalam prakteknya yang terjadi adalah sebaliknya. Mereka merasa merekalah atasan kita.
Di republik ini, rakyat sering ditempatkan bukan sebagai pemilik negeri ini, dan pemegang kedaulatan tertinggi.Karena bukan pemilik negeri dan kedaulatan tertinggi, rakyat tidak merdeka berbuat apapun. Ia harus meminta-minta izin, misalnya jika ingin berbicara sesuai hati nurani atau merayakan ulang tahun organisasinya.
Bahasa
Sebagian besar waktu pacaran di kalangan remaja dimakan bahasa. Entah di telepon, di surat, atau di taman. Bahasa meluber di tempat kita bekerja, di kantor atau toko, belajar di sekolah, berdebat di ruang pengadilan, atau mengisi teka-teki. Di dunia ini banyak darah dan air mata mengucur gara-gara bahasa. Pedang dihunus dan massa di mobilisasi karena bahasa. Sejumlah warga negara, seperti Sri Bintang Pamungkas dan Budiman Sudjatmiko, di penjara karena bahasa.
Politik Perizinan dan Terorisme Politik
Di banyak negara, lamban dan rumitnya birokrasi sering dipangkas dengan berbagai cara. Salah satunya dengan tambahan dana. Entah yang bersifat resmi (tarif khusus), atau suap alias uang pelicin. Hal serupa dapat dijumpai di Indonesia, maka bagi kaum kaya, prosedur birokratis tidak selalu menjadi masalah berat. Banyak pemodal asing dari negara industrial lebih suka meraup kekayaan di negeri bekas jajahan seperti Indonesia. Administrasi negara yang kedodoran dan korupsi bukanlah cacat atau gangguan proyek kerja. Justru inilah keunggulan komparatif dan daya-tarik yang tidak tersedia di negeri asal mereka. Mengatasi hambatan atau cacat dalam prosedur perizinan dengan mengandalkan biaya tambahan (resmi atau suap) merupakan jalan pintas. Ini bisa memperlancar kegiatan sebagian warga negara untuk sementara waktu, tetapi ini tidak dinikmati merata bagi seluruh masyarakat. Sehingga menumbuhkan soal baru. Dan itu tidak menyentuh apalagi menyelesaikan sumber persoalan yang pokok.
Berbagai kisaj sejarah diberbagai kawasan dunia menunjukkan bahwa bertahannya kejayaan suatu kekuasan manusia atas manusia lain tidak disebabkan melulu karena kehebatan si penguasa, tapi juga karena kelemahan pihak yang dikuasai dan yang memperkuat penindasan atas kaumnya sendiri. Kaum feminis tahu benar kukuhnya penindasan atas kaum wanita disebabkan, antara lain, oleh dukungan sebagian tak kecil wanita sendiri terhadap kelestarian penindasan tersebut. Mereka berbuat demikian karena “tidak sadar” atau “sadar tetapi dipaksa keadaan.” Sejarah penjajahan Belanda di Indonesia menunjukkan bahwa kekuasaan asing itu dimungkinkan, antara lain, oleh andil kaum pribumi untuk memperkuat jalannya pemerintahan penjajahan.
Progresivitas Kapitalisme
Penjelasan baku di Indonesia mengenai rendahnya kualitas film Indonesia ialah dominasi nilai komersial dalam proses produksi. Jika komersialisme ini dapat diterjemahkan sebagai kapitalisme? Justru sebaliknya. Kita tak menikmati film nasional bermutu karena kurangnya persaingan pasar ala kapitalisme yang terbuka. Film-film yang bagus dari AS (Amerika Serikat) tidak dibuat dengan niat utama mencapai nilai estetika tinggi, tetapi laba sebesar-besarnya. Laba yang besar tidak bertabrakan dengan nilai estetika tinggi bilamana ada permintaan di pasar untuk itu. Langkah atau absennya film bagus di Indonesia bukan karena komersialisasi. Bukan karena sinematik dan artis kita tak mampu. Film kita (juga pers kita) tidak diproduksi berdasarkan hukum pasar secara murni, tetapi hukum “politik adalah panglima,” khususnya politik stabilitas dan keamanan.
Dari Siapa, Untuk Siapa
Amerika Serikat (AS) menjadi negara yang kuat dan makmur, bukan karena kapitalismenya, melainkan berkat kelemahan dan kemiskinan berbagai negeri di Dunia Ketiga yang diisapnya. AS berkepentingan untuk melestarikan peperangan dan kemiskinan diberbagai wilayah lain demi menjaga stabilitas, kesejahteraan, dan kemewahan stalase demokrasi yang diberikan kepada rakyatnya.
Baju Wakil Rakyat
Salah satu karya teater paling sukses yang dipentaskan Rendra sekitar tahun 1975, adalah kisah Perjuangan Suku Naga. Pada intinya, karya teater Rendra itu merupakan sebuah kritik mendasar terhadap proyek utama rezim-rezim di Dunia Ketiga, yakni pembangunan.
Adegan kisah Perjuangan Suku Naga yang paling mengesankan berkaitan dengan komentar Kepala Suku Naga bernama Abisavam tentang ‘baju para wakil rakyat’. Pertemuan ketua parlemen dan rakyat suku naga terjadi karena rakyat ini menolak penggusuran tanahnya yang akan dipakai untuk pembangunan mengadolar.
Dalam awal pertemuan itu, Abisavam mempertanyakan mengapa ketua parlemen berbusana seperti gangster atau anggota parlemen dari Eropa sambil mengaku menjadi wakil rakyat. Kalau berani-beraninya mengaku menjadi wakil rakyat seterusnya busana mereka mewakili busana rakyat. Abisavam juga mengingatkan sang ketua parlemen bahwa rakyat adalah atasan dan majikan para anggota parlemen.
Secara normatif, seharusnya seorang wakil lebih berkewajiban mengerti dan menghormati pihak yang diwakilkannya, yang menjadi atasannya bukan sebaliknya. Namun, dalam prakteknya yang terjadi adalah sebaliknya. Mereka merasa merekalah atasan kita.
Di republik ini, rakyat sering ditempatkan bukan sebagai pemilik negeri ini, dan pemegang kedaulatan tertinggi.Karena bukan pemilik negeri dan kedaulatan tertinggi, rakyat tidak merdeka berbuat apapun. Ia harus meminta-minta izin, misalnya jika ingin berbicara sesuai hati nurani atau merayakan ulang tahun organisasinya.
Bahasa
Sebagian besar waktu pacaran di kalangan remaja dimakan bahasa. Entah di telepon, di surat, atau di taman. Bahasa meluber di tempat kita bekerja, di kantor atau toko, belajar di sekolah, berdebat di ruang pengadilan, atau mengisi teka-teki. Di dunia ini banyak darah dan air mata mengucur gara-gara bahasa. Pedang dihunus dan massa di mobilisasi karena bahasa. Sejumlah warga negara, seperti Sri Bintang Pamungkas dan Budiman Sudjatmiko, di penjara karena bahasa.
Politik Perizinan dan Terorisme Politik
Di banyak negara, lamban dan rumitnya birokrasi sering dipangkas dengan berbagai cara. Salah satunya dengan tambahan dana. Entah yang bersifat resmi (tarif khusus), atau suap alias uang pelicin. Hal serupa dapat dijumpai di Indonesia, maka bagi kaum kaya, prosedur birokratis tidak selalu menjadi masalah berat. Banyak pemodal asing dari negara industrial lebih suka meraup kekayaan di negeri bekas jajahan seperti Indonesia. Administrasi negara yang kedodoran dan korupsi bukanlah cacat atau gangguan proyek kerja. Justru inilah keunggulan komparatif dan daya-tarik yang tidak tersedia di negeri asal mereka. Mengatasi hambatan atau cacat dalam prosedur perizinan dengan mengandalkan biaya tambahan (resmi atau suap) merupakan jalan pintas. Ini bisa memperlancar kegiatan sebagian warga negara untuk sementara waktu, tetapi ini tidak dinikmati merata bagi seluruh masyarakat. Sehingga menumbuhkan soal baru. Dan itu tidak menyentuh apalagi menyelesaikan sumber persoalan yang pokok.
Langkanya Minyak Tanah
Hari ini tanggal 25 Maret 2008. Minyak tanah mulai langka di daerah Kota Malang khususnya di Kecamatan Lowokwaru. Masyarakat Malang mulai bingung di mana harus mencari dan membeli minyak tanah? Di setiap kampung, setiap kecamatan, khususnya masyarakat yang masih menggunakan minyak tanah, mulai mengeluhkannya.
Tapi yang mengherankan dari kelangkaan minyak tanah ini, di dalam setiap pemberitaan (baik media massa maupun elektro) mengatakan, bahwa minyak tanah akan dibatasi?
Tetapi apa yang terjadi? Pemerintah tidak konsisten dengan pernyataannya. Dimana, pemerintah tidak membatasi malah mengurangi (ini terjadi sejak pertama kali di kampanyekannya pemakaian Elpiji). Di sini terlihat pemerintah sudah tidak konsisten dengan sikap pernyataannya. Dan yang terjadi masyarakatlah menjadi korbannya dari kebijakan tersebut (terutama masyarakat kelas menengah).
Di tengah-tengah kondisi seperti ini, dimana harga-harga kebutuhan pokok mulai menunjukkan kenaikannya (minyak goreng, kedelai, cabe, dll) ditambah lagi dengan kelangkaan minyak tanah (bahkan sekarang sudah mencapai harga Rp. 7.000/liter) akan menambah kesesaraan masyarakat.
Saya, salah satu korban dari kebijakan tersebut berpandangan bahwa; setelah kelangkaan minyak tanah ini, maka masyarakat akan beralih dari minyak tanah ke gas elpiji ('promosi'nya pemerintah) dan minyak tanah akan di tiadakan sama sekali. Dengan demikian 'proyek' pemerintah telah berhasil. Dimana masyarakat sudah beralih ke gas elpiji.
Pemerintah tidak akan berhenti begitu saja dalam pengembangan 'proyek' elpijinya. Saya berkesimpulan bahwa, setelah sekian lama masyarakat memakai gas elpiji, maka pemerintah akan menaikkan sedikit demi sedikit. Ini terjadi tidak hanya satu dua kali saja, bahkan sudah berulang-ulang. Kita ambil saja contoh dengan kenaikan harga BBM, minyak tanah serta listrik. Pemerintah masih mempertahankannya, bahkan tidak tanggung-tanggung untuk menaikkannya.
Disinilah kelemahan masyakat, dan mau tidak mau harus membelinya. Pemerintah mulai pintar mencari kelemahan masyarakat. Karena masyarakat sudah mulai kecanduan dengan barang-barang tersebut. Begitupun dengan gas elpiji.
Bila masyarakat sudah mulai kecanduan gas elpiji (yang katanya murah, irit, efisien, dan mudah pemakaiannya). Maka pemerintah akan menaikkan harga gas elpiji tersebut secara kontinyu. Dan masyarakatlah yang akhirnya menjadi korban.
Untuk itu saya berharap agar pemerintah konsisten dengan pernyataannya ('membatasi' bukan 'mengurangi atau meniadakan' minyak tanah). Bagaimanapun juga pemerintah adalah 'buatan' dari sekian banyak rakyat. Jadikan rakyat sebagai raja, bukan budak atau korban dari suatu kebijakan. Karena dari sekian banyak kebijakan, pemerintah hanya melindungi orang-orang borjuis.
Tapi yang mengherankan dari kelangkaan minyak tanah ini, di dalam setiap pemberitaan (baik media massa maupun elektro) mengatakan, bahwa minyak tanah akan dibatasi?
Tetapi apa yang terjadi? Pemerintah tidak konsisten dengan pernyataannya. Dimana, pemerintah tidak membatasi malah mengurangi (ini terjadi sejak pertama kali di kampanyekannya pemakaian Elpiji). Di sini terlihat pemerintah sudah tidak konsisten dengan sikap pernyataannya. Dan yang terjadi masyarakatlah menjadi korbannya dari kebijakan tersebut (terutama masyarakat kelas menengah).
Di tengah-tengah kondisi seperti ini, dimana harga-harga kebutuhan pokok mulai menunjukkan kenaikannya (minyak goreng, kedelai, cabe, dll) ditambah lagi dengan kelangkaan minyak tanah (bahkan sekarang sudah mencapai harga Rp. 7.000/liter) akan menambah kesesaraan masyarakat.
Saya, salah satu korban dari kebijakan tersebut berpandangan bahwa; setelah kelangkaan minyak tanah ini, maka masyarakat akan beralih dari minyak tanah ke gas elpiji ('promosi'nya pemerintah) dan minyak tanah akan di tiadakan sama sekali. Dengan demikian 'proyek' pemerintah telah berhasil. Dimana masyarakat sudah beralih ke gas elpiji.
Pemerintah tidak akan berhenti begitu saja dalam pengembangan 'proyek' elpijinya. Saya berkesimpulan bahwa, setelah sekian lama masyarakat memakai gas elpiji, maka pemerintah akan menaikkan sedikit demi sedikit. Ini terjadi tidak hanya satu dua kali saja, bahkan sudah berulang-ulang. Kita ambil saja contoh dengan kenaikan harga BBM, minyak tanah serta listrik. Pemerintah masih mempertahankannya, bahkan tidak tanggung-tanggung untuk menaikkannya.
Disinilah kelemahan masyakat, dan mau tidak mau harus membelinya. Pemerintah mulai pintar mencari kelemahan masyarakat. Karena masyarakat sudah mulai kecanduan dengan barang-barang tersebut. Begitupun dengan gas elpiji.
Bila masyarakat sudah mulai kecanduan gas elpiji (yang katanya murah, irit, efisien, dan mudah pemakaiannya). Maka pemerintah akan menaikkan harga gas elpiji tersebut secara kontinyu. Dan masyarakatlah yang akhirnya menjadi korban.
Untuk itu saya berharap agar pemerintah konsisten dengan pernyataannya ('membatasi' bukan 'mengurangi atau meniadakan' minyak tanah). Bagaimanapun juga pemerintah adalah 'buatan' dari sekian banyak rakyat. Jadikan rakyat sebagai raja, bukan budak atau korban dari suatu kebijakan. Karena dari sekian banyak kebijakan, pemerintah hanya melindungi orang-orang borjuis.
Langganan:
Postingan (Atom)