21 Juni 2010
Kehidupan Soekarno di Bulan Juni: "Cermin Penghinaan Terhadap Seorang Founding Father"
“Aku ini bukan apa-apa kalau tanpa rakyat. Aku besar karena rakyat, aku berjuang karena rakyat dan aku penyambung lidah rakyat,” Soekarno, Menggali Api Pancasila.
Ada dua peristiwa sangat penting yang terjadi kehidupan Soekarno pada bulan Juni, tahun 1970. Sejarawan Prancis, Jacques Leclerc, mengatakan bahwa Soekarno telah “dibunuh dua kali” karena Hari Kelahiran Pancasila yang Soekarno bidanin pada 1 Juni 1945 dilarang oleh Orde Baru untuk diperingati. Pada tanggal 21, bulan Juni 1970 jugalah, Soekarno meninggal di “penjara” di Wisma Yaso, Jakarta dengan kondisi yang tak terawat (Asvi Warman Adam, Pancasila dan Soekarno). Larangan untuk memperingati hari lahirnya Pancasila adalah pembunuhan pertama dan kematian Seokarno di Wisma Yaso adalah pembunuhan kedua.
Peristiwa ini sebagai suatu cerminan penghinaan terhadap seorang founding father. Betapa tidak? Perjuangan untuk memerdekakan Indonesia dan menyatukannya di bawah Pancasila dengan melewati rintangan yang panjang, berat dan keluar-masuk penjara di bawah penjajah ternyata pada hari terakhirnya, Soekarno harus meninggal di dalam “penjara” di negara yang ia merdekakan. Bukan itu saja, Pancasila yang ia mimpikan akan menjadi dasar negara yang mulia ternyata menjadi senjata yang ganas dan dipergunakan untuk menumpas jutaan rakyat Indonesia di bawah rejim Soeharto.
Untuk menghilangkan arti Pancasila yang sesungguhnya, Soeharto melarang peringatan hari lahirnya Pancasila pada setiap tanggal 1 Juni. Hal ini dilakukan agaknya berkaitan dengan ide pencetusan Pancasila oleh Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945. Ide ini dituangkan dalam pidato di depan BPUPKI, ia mendapatkan sambutan sangat meriah dan tepuk tangan paling ramai. Intinya, Soekarno melihat bahwa Pancasila bisa dipakai sebagai alat yang bisa menerima perbedaan dan mempersatu bangsa yang beragam dari Sabang sampai Merauke. Untuk memperlihatkan betapa beragamnya bangsa Indonesia, Sokarno pernah mengaku kepada Louise Fischer, bahwa ia sekaligus Muslim, Kristen, dan Hindu (Clifford Geertz, Islam Observed, 1982). Tetapi Soeharto mempergunakan Pancasila sebagai alat penumpas perbedaan dan alat memperkokoh kekuasaan.
Bukan itu saja, untuk memperkokoh Pancasila, Soeharto mengidentikan Pancasila sebagai perisai yang menghancurkan PKI di Indonesia dengan menetapkan Hari Kesaktian Pancasila dan diperingati secara sakral pada setiap tanggal 1 Oktober. Di samping itu Pancasila juga dijadikan asas tunggal bagi semua partai politik dan organisasi masyarakat tanpa kecuali.
Ideologi itu dikampanyekan secara nasional dan lewat pendidikan sekolah. Penataran dilakukan secara berjenjang dan menggunakan anggaran negara. Namun, Pancasila yang diajarkan sudah direduksi menjadi sekian butir-butir sifat yang harus dihafal. Pancasila juga digunakan sdbagai alat pemukul bagi kelompok yang kritis. Orang yang menolak tanahnya digusur dicap “anti-Pancasila” (Asvi Warman Adam, Pancasila dan Soekarno).
Yang lebih menyedihkan lagi, seperti di singgung di atas, Soekarno diberlakukan seperti seorang “kriminal” di Wisma Yaso, Jalan Gatoto Subroto, Jakarta. Kabarnya, semua hubungan Soekarno dengan dunia luar ditutup. Ia tidak dijinkan untuk mendengar radio, menonton televisi dan membaca koran. Selama di wisma itu, ia hanya ditemani oleh seorang dokter umum yang tidak memiliki spesialisasi sehingga pada saat Seokarno sakit komplikasi, ia tidak mendapat perawatan yang layak. Lebih dari itu, Soekarno juga sangat dibatasi untuk menemui keluarganya. Dengan bantuan seorang dokter gigi keturunan Cina, Oei Hong Kian, ia bisa menyelinap keluar dengan mengaku sakit gigi. Itulah satu-satunya kebahagiaan yang ia miliki, yaitu berkumpul dengan keluarganya.
Apakah Soekarno diam saja terhadap semua penghinaan yang ia alami sejak tahun 1965? Ternyata tidak. Hal ini dibuktikan dengan pidato yang berjumlah 103 kali dalam periode 1965-1967. Di antaranya yang diketahui oleh umum adalah pidato pertanggungjawabannya, Nawaksara, yang ditolak MPRS tahun 1967. Selebihnya pernyataan dan pidato Soekarno tidak disiarkan oleh koran-koran, radio ataupun televisi yang telah dikuasai Soeharto.
Berikut adalah beberapa pernyataan Soekarno yang patut diketahui oleh Rakyat Indonesia:
Dalam pidato 20 November 1965 di depan keempat panglima Angkatan di Istana Bogor BK mengatakan, “Ada perwira yang bergudul. Bergudul itu apa? Hei, Bung apa itu bergudul? Ya, kepala batu.” Tampaknya ucapannya itu ditujukan kepada Soeharto. Pada kesempatan yang sama Soekarno menegaskan, “Saya yang ditunjuk MPRS menjadi Panglima Besar Revolusi. Terus terang bukan Subandrio. Bukan Leimena…. Bukan engkau Soeharto, bukan engkau Soeharto, dan seterusnya (berbeda dengan nama tokoh lain, Soeharto disebut dua kali dan secara berturut-turut).
Tanggal 12 Desember 1965 ketika berpidato dalam rangka ulang tahun Kantor Berita Antara di Bogor, Presiden mengatakan tidak ada kemaluan yang dipotong dalam peristiwa di Lubang Buaya. Demikian pula tidak ada mata yang dicungkil seperti ditulis pers. 100 silet yang dibagikan untuk menyilet kemaluan jenderal itu tidak masuk akal.
Memang Soekarno tidak terlepas dari kekurangan dan kesalahan, sebagai contoh ketika tahun 1963 diangkat sebagai presiden seumur hidup, ia tidak menolak. Tetapi bukan berarti bahwa jasa terpentingnnya seperti sebagai perumus Pancasila bisa dipungkiri dan dimelencengkan. Juga bukan berarti bahwa kebebasan fisik, pikiran dan mentalnya bisa dikekang dan dianiaya begitu saja. Soekarno bukanlah tokoh yang patut dihina, tetapi ia adalah lambang pemersatu bangsa. Bukankah suatu bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati pahlawannya?
Sumber: Coup d'etat 65
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
keren abis!
BalasHapusJC