
Persoalan pertama yang muncul adalah adanya masalah dalam hal keanekaragaman hayati. Hingga kita belum mengetahui berbagai kekayaan dan manfaatnya, hutan telah raib berganti dengan kebun sawit yang mahaluas.
Masalah lain yang muncul dengan kelapa sawit adalah makin minimnya hutan yang berguna dalam siklus hidrologi. Air yang seharusnya tertahan di tanah karena keberadaan hutan dengan mudah mengalir ke sungai dan ke laut hingga memunculkan bencana banjir yang sangat merusak.
Perusakan hutan di Kalimantan dan Sumatera yang masih marak juga memunculkan krisis energi. Terjadi penurunan kemampuan pembangkit listrik tenaga air di sejumlah daerah akibat perusakan hutan tersebut. Aliran air yang minim pada musim kemarau sudah tak mampu lagi menggerakkan sejumlah pembangkit sehingga pasokan listrik berkurang.

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyebutkan, izin-izin pertambangan di Kaltim dikeluarkan seperti barang dagangan yang diobral. Dalam pernyataan Jatam, Samarinda hanyalah salah satu contoh di mana kepala daerah seperti raja-raja kecil yang tanpa kendali memberikan izin kuasa pertambangan. Selama enam tahun terakhir, 1.180 izin kuasa pertambangan terbit di Kaltim dengan konsesi tambang 3,1 juta hektar. Izin kuasa pertambangan itu kebanyakan tidak dilaporkan ke provinsi, tetapi dibisniskan oleh kalangan tertentu. Masalah ini juga terjadi di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Di Kalsel, dalam dua tahun terakhir ada 90 perusahaan yang minta izin pinjam pakai kawasan hutan kepada Menteri Kehutanan. Setelah diseleksi tim verifikasi, yang serius cuma 31 kuasa pertambangan dan yang disetujui Menteri cuma beberapa kuasa pertambangan.
Khusus untuk Kaltim, perusahaan-perusahaan tambang bermasalah semestinya segera ditertibkan. Sebab, banyak yang tidak melaporkan rencana kelola lingkungan dan rencana pemantauan lingkungan ke Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup Kaltim.
Pengendalian Lingkungan
Langkah yang relatif baik, misalnya, diambil Balikpapan, Bontang, dan Tarakan (Kaltim). Pemerintah setempat menolak penambangan batu bara di daerah mereka. Alasannya, mereka lebih mengedepankan lingkungan ketimbang mendapatkan uang dari perusakan alam itu. Kebijakan seperti ini tentunya patut diberi apresiasi.
Pengerukan batu bara di Kalimantan yang mencapai 200 juta ton per tahun sebenarnya sudah berlebihan. Namun, sebagian masyarakat Kalimantan kenyataannya masih miskin dan mengalami krisis listrik. Sebuah ironi!
Di Sumatera, meski pulau itu memiliki jutaan lahan sawit, kenyataannya kantong-kantong masyarakat miskin juga terdapat di perkebunan. Ini ironi yang lain di tengah harga minyak sawit mentah mengalami kenaikan di pasar dunia.

ini tulisan yang sangat baik!
BalasHapusdaihatsu