Oleh: J.H. Prastiwi (pegiat Lingkar Studi Anak Merdeka, FISIP Unair, Surabaya)
Ada banyak pelajaran yang dapat kita tarik dari sistem globalisasi. Melalui sistem ini, setidaknya kita dapat melihat bagaimana sistem teknologi informasi maju begitu pesat. Kemudian, kita juga dimudahkan untuk mengetahui perkembangan ilmu pengetahuan dari berbagai penjuru dunia.
Namun, pelajaran lain yang tak kalah penting adalah merebaknya ideologi-ideologi tandingan yang sebenarnya mengglobal pula. Misalnya, kemunculan gerakan-gerakan kultural dan keagamaan, seperti gerakan terorisme yang mengatasnamakan agama.
Layaknya fenomena black hole, globalisasi tampak sebagai pusaran hitam yang menyeret kebudayaan-kebudayaan manusia. Dalam arti sebenarnya, black hole adalah fenomena pusaran hitam matahari yang mempunyai daya tarik terhadap benda-benda yang mendekatinya.
Jika diletakkan dalam kerangka globalisasi, black hole dapat diartikan sebagai pusaran peradaban manusia dimana kebudayaan-kebudayaan manusia akan diseret masuk. Akibatnya, budaya yang paling dominanlah yang akan tetap bertahan. Lalu, budaya apakah yang memenanginya?
Kita lihat apa yang terjadi di sekeliling kita. Baru berjalan beberapa kilometer saja dari rumah, gedung mal pencakar langit sudah terlihat. Mata kita dikeroyok iklan yang memuja materialitas manusia. Di dalam mal, tampak kerumunan manusia yang mengagungkan berbagai benda yang dijual secara masal. Lepas beberapa kilometer lagi, pusat perbelanjaan kembali terlihat dan sama berjubelnya seperti mal sebelumnya. Akhirnya, saya sadari bahwa seisi kota ini ternyata telah penuh dengan mal.
Itu adalah salah satu implikasi langsung globalisasi. Implikasi yang menyeret masyarakat kita ke dalam lubang hitam mesin hasrat, mesin yang sarat dengan pencitraan diri manusia. Kecemasan manusia atas pencitraan diri itulah yang menandai lahirnya era budaya pop, era budaya yang menempatkan manusia sebagai objek masal dari sistem kapitalisme global.
Lalu, bagaimana dengan nasionalisme kita sekarang? Sebab, diakui atau tidak, globalisasi mengaburkan identitas nasional kita dan ikut menyumbang kekeroposan sifat-sifat nation-state, terutama pada diri anak-anak muda.
Pop v Tribalisme
Keterjebakan masyarakat kita pada budaya pop menimbulkan paradoks budaya. Di satu sisi, kita terlanjur terbius oleh budaya yang hedon-konsumtif. Namun, pada sisi yang lain mengapa sampai sekarang kita masih saja mendekap erat sisi-sisi tradisionalisme bangsa.
Janus face adalah kepala Dewa Janus yang mempunyai dua sisi wajah. Janus face menggambarkan bahwa wajah Dewa Janus pada satu sisi menghadap ke depan, yang kemudian diidentikkan sebagai arah masa depan. Namun, pada sisi yang lain, wajah Dewa Janus menghadap ke belakang. Arah tersebut diidentikkan sebagai masa lalu yang sulit untuk ditinggalkan.
Jika diibaratkan dalam era kekinian, dua sisi dalam Janus face tersebut adalah suatu era dimana kita di satu sisi memandang jauh ke depan melalui berbagai terobosan teknologi. Namun, di sisi lain, kita masih saha tidak rela meninggalkan tradisionalisme bangsa. Itu merupakan bagian paradoksal dari masyarakat Indonesia.
Ketidakrelaan kita meninggalkan budaya bangsa tersebut apakah benar karena murni rasa nasionalisme ataukah hanya sebatas mempertahankan identitas bangsa yang kabur oleh pop culture?
Proyek invensi kebudayaan oleh globalisasi bisa jadi merupakan barang masyarakat kita pada era budaya pop. Keberadaan negara dalam ambiguitasnya untuk melestarikan nilai lokal memaksa kita untuk melakukan pemaknaan ulang terhadap budaya bangsa.
Sampai dengan 62 tahun kita merdeka, pembangunan fisik memang tampak mencolok. Tetapi, pembangunan kebangsaan masih belum dirasakan. Selain karena invensi budaya pop, ternyata kita masih tidak bisa menutup mata atas munculnya kristalisasi dari budaya-budaya tribal.
Kegagalan negara dalam mewujudkan identitas kebangsaan yang kokoh membuat sebagian di antara masyarakat kita terjebak pada tribalisme yang menampilkan masyarakat dalam kelompok-kelompok yang bermuatan solidaritas kebersamaan. Tengok saja munculnya beragam kelompok suku, agama, bahkan profesi, di seantero Nusantara.
Di satu sisi, era budaya masal menempatkan kita pada paradoks nasionalisme. Akan tetapi, dari kacamata internal kebangsaan, alih-alih bersatu melakukan perlawanan terhadap kapitalisme global, kita malah terjebak pada tribalisme kebangsaan yang memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.
Nasionalisme
Ben Anderson menuliskan bahwa tiap-tiap orang dapat hidup sebagai bangsa karena kesamaan bahasa, daerah, asal-usul, atau kesamaan mitos yang mereka hayati bersama. Munculnya nasionalisme sendiri mengubah bangsa sebagai satuan yang pra politis atau bisa dikatakan sebagai suatu unit politik.
Bangsa dalam pengertian itulah yang berulang-ulang diucapkan oleh para pemikir dan Bung Karno, pejuang kemerdekaan kita. Dia dengan teguh menyatakan bahwa nasionalisme merupakan sarana mewujudkan nation-building. Bahwa segala perbedaan terkait dengan kebudayaan, etnisitas, agama, dan kedaerahan, semua itu harus menjadi sekunder. Juga harus dikorbankan untuk apa yang dinamakannya sebagai samenbundeling van alle revolutionaire krachten atau penyatu paduan semua kekuatan revolusioner.
Dalam visi Bung Karno, jika rakyat mampu bersatu mencapai kemerdekaan, persatuan akan menjadi modal sosial yang besar dalam menghadapi kemiskinan, kebodohan, dan rasa minder kaum bumi putra (inlander) saat berhadapan dengan orang kulit putih (Yonky Karman, 2006).
Sesuatu yang jelas bahwa potensi ancaman terhadap keamanan negara bisa datang dari luar maupun dalam negeri, terutama pada masa transisi menuju masyarakat madani sesuai dengan tuntutan reformasi. Untuk menghadapinya, dibutuhkan langkah-langkah yang tidak lepas dari kerangka penyelamatan Indonesia menuju nasionalismenya yang konkret.
Sumber: harian Jawa Pos.
thanks
BalasHapusdaihatsu