Kenalilah dirimu sendiri, itulah maksim Orakel Delphi dasar pencarian kebijakan Sokrates, bapak semua pencari kebijakan dalam kebajikan (Platon, Alkibiades 130E).
Jika para calon anggota legislatif menebarkan dengan sangat percaya diri foto mereka, apakah mereka benar-benar memperkenalkan diri mereka? Secara rasional sokratik, tentu tidak, tetapi pada kenyataannya, sepalsu apa pun imaji yang dibangun, itu bisa efektif! Pertaruhannya bagi kita adalah menyadari keanehan ini supaya demokrasi bisa kita langgengkan.
Tipuan Kaum Sofis
Di mata Sokrates dan Platon (abad ke-5 SM), diri sejati seseorang bukan tampakan seseorang. Wajah bisa bagus, penampilan bisa keren, namun itu semua hanya polesan seni rias. Tubuh bisa berotot, garis tubuh bisa sportif, namun kita tahu itu bisa diperoleh berkat semua hasil seni menjaga tubuh lewat kebugaran atau bedah kosmetik. Berbeda dengan seni merawat jiwa platonisian, seni rias dan seni olah tubuh adalah spesialisasi kaum sofis.
Siapakah kaum sofis itu? Kata sophos semula berarti orang bijak. Namun, kata ini menjadi negatif karena orang-orang ini ternyata ”tampaknya” saja bijak. Kepandaian dan nasihat-nasihat bijak mereka jauh dari kebajikan. Guna memenuhi kebutuhan pasar politik Athena, kaum sofis memberikan seni rias politik dalam ujud cara berargumentasi retoris agar orang bisa eksis di panggung kompetisi politis. Kebajikan? Itu bukan kepedulian mereka. Kaum sofis dibayar untuk menghasilkan kesuksesan politik, bukan untuk membuat politik menjadi baik.
Padahal, bagi Platon, kebaikan berarti ketegakan hidup di depan sesamanya dan yang ilahi. Artinya, hidup jujur dengan dirinya sendiri, sesama, dan yang ilahi. Jika kelurusan jiwa menjadi perhatian utama, maka manusia hidup adil terhadap sesama dan menyerahkan diri pada orientasi kebaikan. Penampakan tubuhnya akan selaras dan indah dengan sendirinya jika jiwanya ia harmonikan. Sama sebagaimana kosmos (artinya keteraturan dan keindahan) mencerminkan keilahian, maka tubuh yang teratur dan indah adalah cermin dari jiwa yang tunduk kepada bagiannya yang paling ilahi (rasio).
Dan persis kaum sofis membalikkan perspektif Platon: tampakan tubuhmu keren dan harmonis, maka orang akan percaya bahwa jiwamu juga lurus. Tampilkan kata-kata yang indah dan menghibur, maka orang akan percaya bahwa itulah dirimu, jiwamu.
Mirip Iklan Sampo
Parade sofisme kita lihat kini di jalan- jalan. Seribu satu siasat untuk tampak bijak dan hebat dipertontonkan. Dalam perjalanan darat dari Jakarta ke Denpasar, senyum menjanjikan foto para caleg dihiasi untaian kata ”Berjuang untuk Rakyat”, ”Kuberpihak kepada Kebenaran”, ”Baik, Cerdas, Santun, Damai”. Di tanjakan sepi di Bedono, di antara pohon-pohon desa, foto caleg berkumis berpose ala Bung Tomo menjanjikan ”Rakyat Tidak Boleh Menderita”. Di Denpasar, foto diri caleg muda dengan jambulnya yang keren berujar, ”Saatnya Orang Muda Bicara”.
Secara rasional, kita tahu foto-foto itu tidak berbeda dengan iklan sampo atau provider telepon seluler. Mereka hanyalah imaji-imaji yang mengaburkan realitas.
Dalam alegori Goa-nya yang terkenal, Platon mengatakan, imaji bukan realitas. Imaji hanya bayang-bayang dan gambaran (eikon) realitas. Namun, persoalannya bukan pada kebenaran riil atau tidaknya imaji itu. Ada sesuatu yang lain. Imaji bisa memberikan efek dahsyat. Para tahanan dalam alegori Goa digambarkan bisa yakin dan percaya bahwa imaji adalah realitas itu sendiri. Mereka berdebat apakah imaji yang berlalu lalang di depan mereka sebuah X atau Y.
Artinya, lepas dari fakta rasional bahwa foto para caleg itu hanya sekadar foto belaka yang dibuat-buat, lepas dari fakta bahwa kata-kata mereka hanya janji-janji tanpa jaminan apa pun, toh itu semua bisa efektif! Seperti berhadapan dengan iklan, reality testing kita bisa tergoda untuk mencoba-cobanya.
Pemilu 2009 yang menghadirkan sekian puluh partai dengan sekian puluh ribu calegnya makin memperbesar kans efektivitas imaji-imaji irasional itu.
Kekosongan pengetahuan publik akan para caleg dengan mudah diisi imaji-imaji. Jangan heran jika nanti terulang lagi bahwa seseorang dipilih karena imajinya yang ”murah senyum”!
Tentu saja memilih seorang caleg atas dasar imaji bersifat irasional karena tidak dilandaskan pada realitas. Dan persis inilah yang dimaui kaum sofis lewat pencitraan dan penggambaran yang tampaknya ”riil”. Kita diminta memilihnya karena seolah-olah ada kebenaran di situ.
Dan bila kita mengikuti Platon, kita sadar, imaji bukan realitas, apalagi kebenaran. Pengetahuan yang benar diperoleh bila kita berani melampaui bayang-bayang, melihat halnya, dan bila perlu, pergi lebih jauh mengontemplasikan idea (paradeigma) dari hal-hal itu.
Artinya, jangan berhenti hanya pada imaji senyum simpatik sebuah foto atau manisnya untaian kata, tetapi tembuslah lebih dalam mengenali riwayat para caleg dan partai politiknya. Bila perlu, lebih jauh lagi renungkanlah paradeigma kehidupan berbangsa kita saat ini. Apakah orang X atau partai Z benar-benar peduli dengan Pancasila dan UUD ’45? Dua hal terakhir ini menjadi idea kita berbangsa dan bernegara, horizon ke arah mana kebebasan memilih kita harus diarahkan.
Semoga kita berani menginvestasikan waktu dan tenaga untuk ”mengenali jiwa” para caleg tanpa tertipu iklan, slogan, atau foto simpatik mereka. Tanpa itu, kita akan menyia-nyiakan kebebasan demokrasi yang sudah kita nikmati selama ini.
sangat baik!
BalasHapusxenia