H. Misbach dalam Medan Moeslimin |
Misbach
memang eksentrik, sama seperti Marco. Mereka berdua sudah sehati semenjak paruh
pertama abad pergerakan nasional.
“Waktu kami mengeluarkan suratkabar mingguan Doenia Bergerak di Solo (1914), jalan officiel organ dari Inlandsche Journalisten Bond, kami kenal dengan HM Misbach, karena di anggota dan langganan perserikatan dan surat kabar tersebut. Pada waktu itu, dia adalah seorang Islam yang berniat menyiarkan Islam secara jaman sekarang: membikin suratkabar Islam, sekolah Islam, berkumpul-kumpul merembuk agama Islam dan hidup bersama.”
Seperti
kata Marco, Misbach tidak gentar menghantam orang-orang yang mengaku Islam,
tetapi menghamba kapitalisme. Kelompok ini oleh Misbach disebut golongan ‘Islam
Lamisan.’
Kecaman
Bisbach pada golongan ini pertamakali muncul dalam suratkabar yang didirikannya,
Medan Moeslimin. Artikel yang terbit
pada 1917 dengan judul Seroean Kita
ini menjabarkan secara tajam ihwal perbedaan muslim dan munafik secara detail.
Penegasannya
tentang Islam dan kaum munafik merupakan jawaban pada persoalan sikap yang
harus diambil muslim di Indonesia terhadap politik dan pergerakan di jaman
modal yang sarat dengan kapitalisme ini.
Haji
Misbach menawarkan dua mata tombak untuk melawan jejaring kapitalisme yang
mulai menggurita: Islam dan Komunisme. Sebuah perpaduan yang unik, nyeleneh, dan tak lazim, tetapi Misbach
meramunya dengan gaya yang khas berciri agamis untuk memperkenalkan ajaran
komunis.
Menurut
Misbach, Komunisme dan Islam adalah harmonisasi yang ideal. Baginya, Islam dan
Komunisme tidak selalu harus dipertentangkan. Malah dengan menyerap ajaran
komunismelah, Islam menjadi agama yang bergerak untuk melawan penindasan dan
ketidakadilan.
“Agama berarti petunjuk dari Tuhan. Islam berarti selamat. Jadi, agama Islam itu penunjuk jalan menuju keselamatan. Bahwa agama Islam itu mudah dan benar sekali bagi seorang yang berdasar suci dan berpikir jujur, dan sebab-sebabnya Islam mudah dijalankan bagi orang yang berpikiran, karena agama Islam cocok dengan akal dan pikiran. Kita yang akan mencari keselamatan harus mengetahui sebab-sebab yang merusak keselamatan, sebab segala kejadian mesti ada sebab.”
Tugas
seorang muslim sejati, lanjut Misbach, adalah bagaimana ia senantiasa untuk
menyelamatkan dunia ini dari kesewenang-wenangan, kedzaliman, dan kekejian
orang-orang munafik dan para kapitalis.
Islam
mengajarkan umatnya untuk memberi jiwa dan kehidupan sosial baru kepada
imperium-imperium yang terpecah-belah dan kepada peradaban-peradaban yang mati.
Jadi, Islam tidak semata-mata akidah dan ritual, tetapi juga cara hidup.
Misbach
menambahkan, bahwa sekarang ini masyarakat Hindia terbelenggu kebebasannya. Itu
semua disebabkan oleh kapitalisme, imperialisme, dan kemunafikan. Inilah yang
wajib diperangi oleh setiap muslim sejati. Ketiga musuh bersama itu dirupakan
Misbach sebagai: polisi, pemerintah, dan kaum Islam Lamisan.
Polisi
sebagai penindas, pemerintah sebagai penghisap, serta Muslim Lamisan sebagai
musuh dalam selimut, pengkhianat dan kaum munafik.
Mengawinkan
Islam dan Komunisme
Untuk
menjalankan misi suci tersebut, orang Islam membutuhkan senjata perjuangan, dan
Misbach memilih Komunisme.
Misbach
sepakat terhadap cara revolusioner yang tanpa tendeng aling-aling melawan
ketidakadilan. Misbach juga salut terhadap konsep sama rata sama rasa karena
semua manusia itu sama derajatnya, tanpa kelas, sebab satu-satunya yang
mahatinggi hanyalah Tuhan.
“Hidup
bersama artinya hak manusia itu tidak ada perbedaan, hanyalah Tuhan yang lebih
tinggi; karena jika manusia, tentulah ada manusia yang lebih rendah, begitu
terus-menerus sehingga kekalutan dunia terjadi dan semua itu diambil pokoknya
saja karena dari loba tamaknya kapitalisme dan imperialisme, sebab ialah yang
menggunakan tipu muslihatnya dengan jalan memfitnah, menindas, menghisap, dan
lain-lain perkataan pula.”
Misbach
memilih komunisme sebagai media berjuang karena paham inilah yang merupakan
antitesis dari kapitalisme, ideologi yang benar-benar langsung menyentuh
kepentingan rakyat kecil yang tertindas.
“Beliau memerhatikan betul-betul akan nasib rakyat, beliau tertarik sekali tentang ekonomi dan duduknya kaum miskin. Dari itu tuan Karl Marx dapat tahu dengan terang pokok atau sumber-sumber yang menyebabkan kekalutan dunia. Sebab atau sumber kekalutan itu adalah yaitu dunia kemiskinan disebabkan adanya kapitalisme. Maka oleh karena hal-hal tersebut di atas itu hingga bisa menarik pikiran tuan Karl Marx bahwa kapitalisme itu jahat.”
Lewat
Islam dan Komunisme itulah kapitalisme harus dilawan, sebab kapitalisme
merupakan jawaban jalan setan. Islam dan Komunisme adalah solusi yang paling
jitu. Keduanya bersifat kerakyatan, langsung membidik sasaran untuk kepentingan
rakyat. Itulah jalan hidup dan perjuangan yang ditempuh. Haji Mohammad Misbach.
Sengan
nama Ahmad, lelaki ini lahir di Kauman, Surakarta, pada 1876. Ia besar di
lingkungan keluarga pedagang batik yang makmur. Ketika menikah, ia berganti
nama menjadi Darmodiprono. Setelah menunaikan ibadah haji, orang mengenalnya
sebagai Haji Mohammad Misbach hingga akhir hayatnya.
Di
Kauman, yang terletak di sisi barat alun-alun utara di depan Keraton Kasunanan
dekat Masjid Agung, tinggallah para pejabat keagamaan Sunan. Lingkungan yang
sarat nuansa religiusitas inilah yang membuat Misbach kecil disekolahkan di
pesantren. Selain itu, Misbach pernah pula belajar di sekolah bumiputera “Ongko
Loro” selama delapan bulan.
Menjelang
dewasa, Misbach terjun ke dunia usaha sebagai pedagang batik mengikuti jejak
bapaknya. Bisnisnya pun menanjak dan ia berhasil membuka rumah pembatikan dan
sukses. Pada 1912 di Surakarta berdiri Sarekat Islam (SI).
Misbach
masuk SI meski selama setahun pertama perjalanan SI ia tidak terlalu aktif.
Misbach baru aktif pada 1914 bersamaan ketika Marco membentuk perserikatan
wartawan IJB. Misbach pun sempat masuk ke keanggotaan Muhammadiyah. Misbach dikenal
gigih meluncurkan gagasannya dengan menerbitkan surat kabar Islam, mendirikan
sekolah-sekolah Islam, dan ide pengembangan Islam yang sangat maju untuk ukuran
jamannya.
Pada
1915, Misbach menerbitkan Medan Moeslimin
bersama beberapa orang Kauman juga. Misbach menjadi directeur, dan karibnya yang bernama Sastrositojo sebagai adminitrateur. Posisi redacteur dijabat oleh M Soewarno dan
Raden Trihardono, sedangkan Haji Fachroedin berperan sebagai biro Medan Moeslimin untuk Yogyakarta.
Suratkabar
yang memakai aksara dan bahasa Jawa ini sebenarnya diawali kaum muslim
reformis. Mereka ditarik oleh satu impian kolektif untuk menyebarkan keislaman
modern.
Sebagai
redaktur pembantu di edisi perdananya, ditunjuklah Mas Marco Kartodikromo, yang
memberikan tulisan penganar yang berkarakter radikal. Di akhir kalam
pengantarnya itu, Marco berseru: “Hidup Medan
Moeslimin! Hiduplah kaum Muslim sedunia!”
Dua
tahun berselang, pada tahu 1917, diterbitkannya pula Islam Bergerak, bersama Sismadi Sastrosiswojo. Kali ini Misbach
memilih bahasa Melayu untuk suratkabar yang dipimpinnya itu.
Insiden
artikel kontroversial “Pertjakapan antara Marto dan Djojo” yang diterbitkan
Martodharsono, bekas aktivis senior SI dan jurnalis terkemuka, dalam suratkabar
Djawi Hisworo, mencuatkan nama
Misbach sebagai seorang mubaligh vokal.
Di
edisi Januari 1918, Martodjarsono menerbitkan tulisan Djojodikoro yang menulis:
“Gusti Kanjeng Nabi Rasul minum gin, minum opium, dan kadang suka menghisap
opium.”
Tak
pelak, tulisan ini memantik reaksi keras dari kalangan muslim. Tjokroaminoto,
pemimpin besar SI, mengetuai dibentuknya komite Tentara Kandjeng Nabi Mohammad
(TKNM) di Surabaya untuk memertahankan kehormatan Islam, Nabi, dan Kaum
Muslimin. Misbach pun tak tinggal diam dengan membentuk laskar mubaligh
reformis: Sidik, Amanah, Tableg, Vatonah (SATV) untuk mendampingi TKNM. Selain
itu, Misbach menyebar seruan tertulis menyerang Martodharsono serta mendorong
terlaksananya rapat umum dan membentuk subkomite TKNM di Surakarta.
Segeralah
beredar cerita, Misbach akan berhadapan dengan Martodharsono di arena debat.
Komunitas yang dulunya kurang greget menyikapi keadaan itu tib`-tiba menjadi
dinamis.
Terpantik
oleh semangat Misbach, kaum Muslim Surakarta berbondong-bondong menghadiri
rapat umum di Lapangan Sriwedari pada 24 Februari 1918, yang konon dihadiri
lebih dari dua puluh ribu orang. Akan tetapi, muncul kekecewaan jamaah TKNM
ketika Tjokro tiba-tiba mengendurkan perlawanan terhadap Martodharsono setelah
mencuatnya pertikaian menyangkut soal keuangan. Buntutnya, praktek korupsi di
TKNM justru dianggap telah menodai Nabi dan Islam.
Misbach
dengan lantang mengkritisi konflik di tubuh TKNM dan SI itu. Sebagai pemimpin
SATV, Misbach menyerang dengan menyebut para petinggi TKNM bukanlah muslim
sejati. Merekalah yang dimaksud Misbach sebagai golongan Islam Lamisan: kaum
terpelajar yang berlagak bijak namun rela menjilat demi menyelamatkan diri
sendiri.
Keyakinan
SATV dengan Misbach sebagai ideologinya, membuat Islam lebih ‘bergerak.’
Misbach kondang bukan sekadar tablighnya, ia menjadi pelaku dari kata-kata
keras yang dilontarkannya. Sikap Misbach ini segera menjadi tren, apalagi
secara kelembagaan, SATV melibatkan para pedagang batik dan generasi santri
yang lebih muda.
SATV
adalah perhimpunan muslimin yang merasa dikhianati oleh kekuasan keagamaan,
manipulasi pemerintah, dan para kapitalis. Militansi SATV berasal keinginan
kuat untuk membtktikan keislamannya dengan tindakan nyata. Di mata pengikut
SATV, muslim mana pun perbuatannya mengkhianati kata-katanya berarti muslim
gadungan.
Pertikaian
ini membuat hubungan Misbach dengan Tjokroaminoto dan SI-nya menjadi retak.
Apalagi, pada kurun itu posisi Tjokro sebagai pemimpin besar Central Sarekat
Islam (CSI) sedang guncang akibat makin gencarnya serangan politik oleh SI
Semarang di bawah pimpinan Semaoen dan Darsono yang juga aktivis merah Indische Sociaal-Democratische Vereeniging
(ISDV) yang kelak menjad Partai Komunis
Indonesia (PKI).
Dari
Muhammadiyah ke Komunis
Misbach
makin mesra dengan para aktivis komunis Semarang, Semaoen, dan kawan-kawan.
Bersama-sama, mereka senantiasa mengusik kemapanan Tjokroaminoto dan CSI-nya.
Misbach menyerang Tjokro soal disiplin partai: pelarangan anggota SI merangkap
keanggotaan organisasi lain. Kebijakan ini membuat SI Semarang, yang kebanyakan
juga aktivis ISDV, tersingkir dan membentuk SI tandingan berpaham komunis.
Mereka itu diantaranya adalah Semaoen, Darsono, serta Muhammad Kasan. Juga Mas
Marco, Tan Malaka, dan Misbach sendiri. Menyikapi konflik ini, Misbach menulis
di Medan Moeslimin dengan judul
keras, “Semprong Wasiat: Partijdiesipline SI Tjokroaminoto Mendjadi Racun
Pergerakan Rakjat India.”
Sementara
itu, SI Semarang membentuk SI Merah sebagai tandingan. Ketika organisasi ini
menjelma menjadi Partai Jomunis Hindia (selanjutnya menjadi PKI), Misbach pun
membentuk cabangnya di Surakarta. Misbach yang kecewa dengan sikap politik CSI
dan Muhammadiyah yang dianggapnya lembek, kompromis, bahkan munafik, memilih
bergabung dengan organisasi radikal.
Maret
1918, Misbach masuk ke Insulinde, organisasi Tjipto Mangoenkoesoemo yang juga
pendiri Indische Partij (IP). Pada Desember 1918, Misbach terpilih menjadi
wakil ketua Insulinde Surakarta mendampingi Nyonya Voel, istri Tjipto. Tjipto
sendiri tidak bisa menjadi ketua karena sebagai anggota Volksraad (Dewan
Rakyat) ia harus menetap di Batavia selama lebih dari setengah tahun.
Insulinde
inilah yang membuat jalan Misbach untuk berhubungan langsung dengan rakyat
kecil kian lapang. Keintimannya dengan komunis dan Insulinde membikin Misbach
kian radikal. Ia membuat kartun di Islam
Bergerak edisi 20 April 1919. Isinya menohok kapitalisme Belanda yang
menghisap petani, memperkerja-paksakan mereka, memberi upah kecil, membebanh
pajak. Residen Surakarta digugat, Pakubuwono X juga disentil karena ikut-ikutan
menindas. Aksi Misbach ini memicu kesadaran dan keberanian petani untuk mogok
kerja.
Misbach
mendukung Perkoempoelan Kaoem Boeroeh dan Tani (PKBT) dengan menyokong dana
menyediakan kantor PKBT. Selanjutnya, Misbach aktif memobilisasi di
daerah-daerah di Jawa Tengah, seperti di Kartasura, Banyudono, Ponggok, dan
Tegalgondo.
“Kita manusia diwajibkan menjaga supaya jangan ada orang terus-menerus melakukan perbuatan yang tidak benar. Jika kita beriman, tentulah kita tidak syak lagi mengindahkan firman Tuhan itu meski kita dibenci oleh orang yang berbuat salah itu. Kita diwajibkan membenarkan pola, dengan tidak memandang bangsa, dan tidak memandang pangkat besar atau kecil, kendati raja-raja atau pemerintah negeri dan ulama-ulama atau kyai-kyai, tidak peduli siapa juga jika ia punya perbuatan tidak dengan sebenarnya, kita wajib membenarkan. Nah! Sekarang nyatalah bahwa perintah Tuhan kita orang diwajibkan menolong kepada barang siapa saja yang dapat tindasan, hingga mana kita wajib perang juga jika tindasan itu belum dihentikannya.”Ekstremitas sikap Misbach membuatnya dipenjarakan pada 7 Mei 1919. Misbach dibebaskan pada 22 Oktober 1919 atas bantuan para aktivis National Indische Partij-Sarekat Hindia (NIP-SH, organisasi pengganti Insulinde).
Untuk
merayakan kebebasan Misbach, NIP-SH Surakarta mengadakan pesta selama beberapa
malam. Potret besar Misbach dipajang, pidato-pidato penghormatan untuknya
terdengar bersahutan, musik didendangkan, dan puspa ragam makanan lezat
dihidangkan. Mobil-mobil mewah disewa untuk diparadekan di pusat pemerintahan
di kota Solo.
“SH akan melawan dengan sekuat-kuatnya segala tindasan dan hisapan baik dari pihak manapun juga. SH memujikan serta mengharap kepada sekalian perhimpunan rakyat Hindia akan bekerja berat bersama dengan SH menyusun maksud mencapai kemerdekaan tanah Hindia…. Coba ingatlah, siapakah yang punya tanah ini, toh bukan Ratu atau Gouvernement; mana ada Ratu atau Gouvernement punya tanah, toh tidak? Dan ingatku lagi: tanah ini dulu-dulunya yang punya toh embah-embah kita sendiri, jadi kita haruslah memikirkan kembali itu tanah.”Gerakan radikal Misbach membikin pemerintah kembali meradang. Pada 16 Mei 1920, Misbach ditangkap di Stasiun Balapan Solo sewaktu hendak melanjutkan tur propagandanya ke Kebumen. Misbach dibui lagi, kali ini selama dua tahun tiga bulan di penjara Pekalongan. Misbach dibebaskan pada 22 Agustus 1922, dan ia langsung kembali ke rumahnya di Kauman Surakarta.
Haji
Merah di Tanah Merah
Pada
akhir 1922, Misbach memutuskan hubungan dengan Muhammadiyah dan pada Maret 1923
ia sudah muncul sebagai propagandis PKI dan mulai berbicara ihwal keselarasan
Islam dan Komunisme.
Dua
kali dipenjara tidak membuatnya jera. Bahkan, kini Misbach menjadi lebih
ekstrim: berjihad dengan jalan perang. Sepanjang tahun 1923, terjadi banyak
kerusuhan di Jawa. Bom meledak di mana-mana, kereta api digulingkan, banyak
orang berani melemparkan kotoran ke kantor pemerintah, mencopoti potret Ratu
Wilhelmina, serta melumurinya dengan kotoran dan kalimat celaan.
Di
Surakarta sendiri, pada Oktober 1923, menjelang dan sesudah Sekaten, sejumlah
rumah dibakar. Bangsal perayaan sekaten dirobohkan. Pamflet stensilan dengan
simbol palu-arit di atas gambar tengkorak manusia disebarluaskan orang-orang
tak dikenal. Pamflet itu isinya mengingatkan orang agar tidak menghadiri
sekaten. Di pedesaan, tempat pengeringan tembakau dibakar.
Sementara
itu, para pangeran Kasunanan dan pejabat tinggi yang ketakutan menebar cerita.
Mereka menuding Misbach berada di balik serangkaian kejadian itu. Misbach disebut-sebut
telah membentuk “Bandieten Bond” atau serikat bandit, melatih prajurit untuk
melakukan pengeboman, pembakaran rumah, perampokan, penggelinciran kereta api,
dan aksi teror lainnya.
Pemerintah
segera bertindak. Polisi menangkapi orang-orang yang dicurigai, terutama
Misbcah yang diciduk pada 20 Oktober 1923 dan akhirnya ditahan di pusat penjara
di Semarang. Pada 27 Juni 1924, pemerintah mengumumkan pembuangan Misbach ke
Manokwari di Nieuw Guinea Utara (sekarang Papua).
Awal
Juli, Misbach dipindahkan dari Semarang ke Surabaya dan selanjutnya pada 18
Juli, ia diberangkatkan ke ujung timur Indonesia itu. Istri dan ketiga anak
Misbach yang masih kecil-kecil menyertainya menuju tanah pembuangan di
Manokwari. Misbach beserta keluarganya meninggalkan Jawa dalam keterpencilan.
Di
pulau pamungkas wilayah Indonesia itulah Misbach juga memungkasi panjang
perjalanan juangnya. Misbach meninggal pada 24 Mei 1926 dan dikuburkan di
Penidi, Manokwari.
Sumber tulisan: Buku Saku, terbitan Jogjakarta.
Penulis: Iswara NR. (Periset dan Sejarahwan Muda).
h misbach berjuang dan berakhir di kesunyianas ada contac yg bisa d hubungi? saya tertarik sama crrita ini
BalasHapusthanks!
BalasHapustova