Lambang Partai Komunis Indonesia |
Selain itu, Brijen Soepardjo pada siang hari tanggal 1 Oktober 1965 setelah melakukan gerakan melapor kepada Presiden Soekarno, dan saat itu juga Presiden Soekarno memerintahkan Soepardjo untuk menghentikan G/30S. Ini menunjukkan bahwa PKI sebagai organisasi tidak terlibat G/30S. Jika PKI secara organisasi terlibat, maka: (1) Soepardjo seharusnya melapor kepada Aidit sebagai Ketua Comite Central PKI, (2) Nyoto dan Lukman sebagai anggota politbiro CC PKI tentu ditangkap sejak menghadiri sidang kabinet 6 Oktober 1965, (3) PKI mengerahkan anggota dan massanya untuk melawan pemerintahan Soekarno. Kenyataannya pada waktu itu justru Soepardjo melapor kepada Presiden Soekarno, Nyoto dan Lukman tidak ditangkap pada waktu menghadiri sidang kabinet tanggal 6 Oktober 1965, dan PKI tidak menggerakkan anggota dan massanya untuk melawan pemerintahan Soekarno.
Di sisi lain, Aidit dan Syam Kamaruzaman secara pribadi mungkin terlibat G/30S, karena kedua orang itu mempunyai hubungan erat dengan para militer yang terlibat dalam G/30S. Syam sebagai biro khusus yang mempunyai tugas membina tentara hanya bertanggung jawab kepada Aidit pimpinan politbiro CC PKI. Mungkin di antara tentara yang terlibat G/30S itu ada yang dibina oleh Syam? Tetapi itu tidak berarti bahwa PKI sebagai organisasi terlibat G/30S. Soeharto melibatkan PKI sebagai organisasi dengan G/30S hakikatnya adalah untuk menghancurkan PKI karena PKI merupakan kekuatan politik pendukung Bung Karno, selain Jenderal Achmad Yani dari Angkatan Darat.
Sedangkan Presiden Soekarno sendiri tidak pernah berpikir dan merasa dikhianati PKI. Itu dapat dilihat dari pernyataan beliau pada tanggal 21 Oktober 1965, bahwa Gestoknya (Gerakan Satu Oktober 1965) harus kita hantam, tetapi komunismenya tidak, karena ajaran komunis itu adalah hasil obyektif dalam masyarakat Indonesia, seperti halnya nasionalisme, dan agama. Hal ini menunjukkan bahwa Bung Karno menempatkan dirinya sebagai negarawan besar, berpandangan obyektif, berpikir jernih, dan mengutamakan persatuan bangsa. Beliau mengetahui dan memahami dengan sungguh-sungguh bahwa paham atau isme itu tidak bisa dibunuh, walaupun orangnya dibunuh.
Ketakutan Soeharto
Mayor Jenderal Soeharto |
Salah
satu ketakutan Soeharto dalam hidupnya adalah kalau rakyat Indonesia
mengetahui apa yang dibicarakan dengan Latief pada tanggal 30
September 1965 pada jam 9 malam di rumah sakit Angkatan Darat Gatot
Soebroto Jakarta. Sampai sekarang ini pembicaraan kedua insan
tersebut masih diliputi kabut rahasia. Seperti yang kita ketahui, bahwa dalam pertemuan itu Latief memberi tahu Soeharto bahwa nanti
subuh dini hari akan dilakukan gerakan militer terhadap Jenderal
Achmad Yani dkk. Soeharto sebagai bawahan Yani seharusnya menangkap
Latief pada waktu itu, tetapi tidak dilakukan. Ini menunjukkan kemungkinan Soeharto menghendaki Yani dkk. mengakhiri hidupnya.
Untuk
menutupi kabut rahasia pertemuan tersebut, Soeharto membuat berbagai
pernyataan antara lain sebagai berikut:
- Kepada Arnold Brackman, Soeharto mengatakan bahwa pada tanggal 30 September 1965 malam hari banyak kawan-kawannya yang menjenguk anaknya yang sedang dirawat di rumah sakit Gatot Soebroto Jakarta, termasuk Kolonel Latief.
- Kepada majalah Der Spegel dari Jerman Barat, Juni 1970, Soeharto menjawab pertanyaan wartawan mengapa Jenderal Soeharto tidak termasuk sasaran G/30S?. Soeharto menjawab bahwa Latief datang ke rumah sakti Gatot Soebroto kira-kira jam 11 malam untuk membunuh saya, tetapi niatnya dibatalkan karena di tempat umum.
- Dalam otobiografinya sendiri, Soeharto mengatakan bahwa ia hanya melihat Latief di koridor rumah sakit Gatot Soebroto; ia melihat dari tempat ia menjaga anaknya yang sedang dirawat di rumah sakit itu.
- Latief adalah anak buah Soeharto dalam G/30S/1965; jika benar, maka Soeharto adalah "Pimpinan Tertinggi" G/30S/1965, kemudian untuk menghilangkan jejaknya, Soeharto menyapu bersih gerakan tersebut dengan pasukan khususnya.
- Latief adalah sahabat sehidup-semati Soeharto; ia datang ke rumah sakit Gatot Soebroto jam 9 malam tanggal 30 September 1965 (lima jam sebelum gerakan dimulai) untuk memberitahu bahwa akan ada gerakan membersihkan Jenderal Achmad Yani dkk., harap hati-hati, dan bantulah kami; jika ini benar, maka Latief secara sadar atau tidak sadar ia adalah "pengkianat" gerakan tersebut, karena memberitahukan gerakan yang akan dilakukan kepada orang yang bukan pimpinannya.
Hubungan
Soeharto dan Latief
Kolonel Latief dan Pledoinya |
Soeharto
pada waktu itu adalah seorang Mayor Jenderal, komandan KOSTRAD
(Komando Strategi Angkatan Darat), di bawah Menteri Panglima Angkatan
Darat yang dijabat Letnan Jenderal Achmad Yani. Sementara Latief pada waktu itu
adalah seorang Kolonel Angkatan Darat pimpinan gerakan 30 September
1965. Hubungan Soeharto dengan Latief dapat diklasifikan dua macam
yaitu: (1) Hubungan pribadi, yaitu bahwa Latief adalah teman akrab
Soeharto karena sejak tahun 1945 bersama-sama berjuang untuk
Kemerdekaan Indonesia; pada Serangan Umum tanggal satu Maret 1947,
Latief adalah anak buah Soeharto; pada waktu Soeharto pindah ke
Jakarta, Latief menyediakan perumahan bagi beliau; hubungan sahabat
ini terjalin erat sampai peristiwa tersebut. (2) Hubungan dinas kemiliteran, yaitu bahwa Latief seorang Kolonel Angkatan Darat dan
Soeharto seorang Mayor Jenderal Angkatan Darat; sama-sama perwira
Angkatan Darat.
Pada
tanggal 28 September 1965, Latief datang ke rumah Soeharto di Jalan
Agus Salim Jakarta, dengan maksud menanyakan informasi tentang adanya
Dewan Jenderal yang akan mengadakan kup terhadap Presiden Soekarno
pada tanggal 5 Oktober 1965. Namun Soeharto mengatakan bahwa ia telah
menerima informasi dari Soebagio Yogyakarta tentang hal itu sehari
sebelumnya. Soeharto menanggapi bahwa akan diadakan penyelidikan.
Hubungan pribadi yang sangat baik itu, Latif menyimpulkan bahwa
Soeharta adalah orang yang loyal terhadap Bung Karno dan Bung Karno
mempercayai Soeharto, yaitu dengan mengangkat sebagai Panglima
Mandala dan Panglima Konstrad.
Pada
tanggal 30 September 1965, jam 21.00 WIB, Latief
datang ke Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Soebroto Jakarta,
memberitahu kepada Soeharto bahwa pada dini hari tanggal 1 Oktober
1965 akan diadakan operasi atau gerakan menggagalkan rencana kudeta
Dewan Jenderal terhadap Presiden Soekarno. Waktu itu Soeharta
sedang menunggu anaknya (Tomy Soeharto) yang sedang sakit di rumah
sakit tersebut. Alasan Latief datang menemui Soeharto adalah meminta
bantuan militer, dan tindakan ini sudah disetujui oleh Brigadir
Jenderal Soepardjo dan Letnan Kolonel Untung (keduanya adalah anggota
pimpinan Gerakan 30 September 1965). Menurut Latief, jika G/30S/1965
berhasil, Soeharto diharapkan menjadi pembantu setia Bung Karno. Tetapi situasi berubah cepat, Soeharto tidak setia kepada Bung Karno
dan tidak mendukung G/30S, melainkan melawan dan menghancurkannya.
Tindakan Latief ini didasarkan pada instuisi persahabatan, bahwa ia
dipercaya oleh Soeharto sebagai sahabat karibnya. Secara politik, selaku pimpinan gerakan, tindakan Latief tersebut merupakan
"pengkianatan", karena ia mencampuradukkan urusan pribadi
dengan urusan politik. Sebagai pimpinan gerakan, seharusnya Latief
tidak melakukan hal tersebut; itu menunjukkan bahwa mental politik Latief
tidak mewakili kepentingan kelasnya.
Menurut
Soengkowo, mantan Perwira Polisi Militer dan salah seorang pelaku
G/30S, menjelaskan bahwa pada waktu Latief diadili di Mahmilub
selalu melibatkan Soeharto, bahwa Soeharto mengetahui gerakan itu,
dan secara langsung maupun tidak langsung Soeharto terlibat di
dalamnya. Apa yang disampaikan Latief itu adalah suatu siasat bahwa
ia bukan orangnya Soeharto dan supaya tidak dinilai negatif
(atau supaya tidak dikutuk) oleh kawan-kawannya di G/30S.
Pada
waktu Soengkowo dan Untung di tahan di Rumah Tahanan Salemba Blok N,
Soekowo bertanya kepada Untung, mengapa Soeharto tidak ikut
ditangkap? Untung menjelaskan bahwa dalam Sentral Komando atau Senko
terjadi perbedaan pendapat tentang Soeharto; ada yang berpendapat
bahwa Soeharto adalah pro-G/30S/1965 dan loyal kepada Bung Karno, dan
ada yang berpendapat bahwa Soeharto adalah kontra gerakan G/30S/1965.
Yang berpendapat bahwa Soeharto adalah loyal terhadap Bung Karno dan
pro dengan G/30S adalah Latief dan Syam Kamaruzaman (pimpinan
Biro Khusus PKI), sedangkan yang berpendapat bahwa Soeharto adalah
kontra G/30S adalah saya sendiri (Untung) dan Mayor Udara
Soeyono; agar supaya gerakan sukses. Menurut Untung, ia dan Soeyono
mengalah tidak menangkap Soeharto, walaupun Soeharto juga anggota
Dewan Jenderal. Ternyata Soeharto adalah Jenderal yang melawan Bung
Karno, ia merebut kekuasaan Bung Karno melaui Surat Perintah 11 Maret
1966 (Supersemar).
Berdasarkan kenyataan ini, Latief
harus bertanggungjawab kepada kawan-kawannya korban rezim Soeharto,
karena seandainya Latief tidak memberitahu Soeharto pada tanggal 30
September jam 9 malam di Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot
Soebroto, kemungkinan kondisi Republik Indonesia tidak seperti
sekarang ini, yaitu: (1) rakyat tidak berdosa yang berjumlah
kira-kira 2 juta orang dibunuh oleh rezim Soeharto, (2) terjadi
kebrobokan moral sebagian birokrat dan rakyat, (3) Indonesia
terperangkap utang luar negeri US$ 140 milyar atau Rp 1.400 trilyun
jika kurs Rp 10.000 per US$1, tergantung pada Internationale
Monetary Fund atau IMF dan negara-negara G-7 Kanada, AS, Jepang,
Jerman, Italia, Perancis, dan Inggri, dan (4) Indonesia dijajah
kembali oleh bangsa-bangsa asing, menjadi kuli bangsa-bangsa asing.
Sumber: Dr. Darsono Prawironegoro, 2001. Analisis Gerakan 30 September 1965 Ditinjau Dari Sudut Filsafat.
ini sangat menarik
BalasHapusamygdala