1. Apakah Globalisasi?
Globalisasi adalah perluasan hubungan ekonomi diantara negara-negara yang berbeda dalam membuat sebuah tatanan ekonomi dunia yang didalamnya terdapat ketergantungan satu sama lain di setiap bidang perekonomian nasionalnya. Tidak ada negara yang sanggup mencukupi kebutuhannya sendiri, mereka seluruhnya saling membutuhkan dalam bertukar hasil–hasil produksinya. Peningkatan dari sebuah integrasi ekonomi dunia tidak memerlukan sebuah alasan yang negatif didalamnya, hal ini menjadikan peletakan dasar bagi perencanaan ekonomi internasional dalam sebuah jalan yang harmonis sebagai sebuah kemungkinan yang besar. Di bawah sebuah sistem perekonomian yang berdasarkan keadilan sosial dan kepemilikan alat-alat produksi bersama (pabrik-pabrik, teknologi dan modal)
30 Desember 2008
18 Desember 2008
Indonesia, Perdebatan yang Belum Selesai
Oleh: Asvi Warman Adam, ahli peneliti Utama LIPI di Jakarta.
April 2008, terbit buku The Idea of Indonesia, A History karangan R.E. Elson, guru besar sejarah University of Queensland, Australia. Komentar William Frederick, Indonesianis dari Ohio University, terhadap karya itu sangat tepat. Dari buku tersebut bisa ditarik kesimpulan bahwa semua perdebatan mengenai Indonesia seyogyanya bermula dari konsep Indonesia itu sendiri.
April 2008, terbit buku The Idea of Indonesia, A History karangan R.E. Elson, guru besar sejarah University of Queensland, Australia. Komentar William Frederick, Indonesianis dari Ohio University, terhadap karya itu sangat tepat. Dari buku tersebut bisa ditarik kesimpulan bahwa semua perdebatan mengenai Indonesia seyogyanya bermula dari konsep Indonesia itu sendiri.
14 Desember 2008
Pemimpin Masa Revolusi
- Jabatan Presiden Soekarno berlangsung mulai 18 Agustus 1945 sampai dengan 22 Februari 1967. Dalam hal ini ada dua tokoh yang terlewat, yaitu Sjafruddin Prawiranegara dan Assa'at.
- Sjafruddin Prawiranegara tidak disebut karena dianggap terlibat PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia).
- Assa'at jarang disebut karena tidak dipahami bahwa dia menjabat Kepala Negara saat RI menjadi bagian dari RIS (Republik Indonesia Serikat).
Akhir 1948, Belanda melakukan agresi militer kedua. Soekarno-Hatta mengirimkan telegram, yang berbunyi:
"Kami, Presiden Repoeblik Indonesia memberitakan bahwa pada hari Minggoe tanggal 19 Desember 1948
- Sjafruddin Prawiranegara tidak disebut karena dianggap terlibat PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia).
- Assa'at jarang disebut karena tidak dipahami bahwa dia menjabat Kepala Negara saat RI menjadi bagian dari RIS (Republik Indonesia Serikat).
Akhir 1948, Belanda melakukan agresi militer kedua. Soekarno-Hatta mengirimkan telegram, yang berbunyi:
"Kami, Presiden Repoeblik Indonesia memberitakan bahwa pada hari Minggoe tanggal 19 Desember 1948
12 Desember 2008
Aktivis vs Rezim
Di paro awal abad 19, pemberontakan Diponegoro di Jawa Tengah, atau pemberontakan Tuanku Imam Bonjol di Sumatera Barat. Bukan faktor kebetulan jika keduanya dipimpin panglima berjubah putih, ulama (mereka disebut kaum Padri oleh rezim kolonial Belanda). Lalu setiap rezim (kolonial) disini seolah memiliki alibi pembenar, bahwa "para haji" wajib diwaspadai, bahkan harus ditangkapi.
09 Desember 2008
Tokoh, Pejuang dan Pahlawan
Gadjah Mada, dengan Sumpah Palapanya.
Raja Sriwijaya.
1670 - Sultan Hasanudin, melawan penjajah yang akhirnya ditundukkan dan meninggal.
1692 - Sultan Ageng Tirtayasa, berpulang dalam penjara di Batavia.
Raja Sriwijaya.
1670 - Sultan Hasanudin, melawan penjajah yang akhirnya ditundukkan dan meninggal.
1692 - Sultan Ageng Tirtayasa, berpulang dalam penjara di Batavia.
07 Desember 2008
Konstruksi Ketidakseimbangan Pembangunan Dalam Telaah Harmonisasi Suprastruktur dan Infrastruktur Kebudayaan
DR. Arif Budi Wurianto
Kebudayaan ibarat sebuah tenda yang menaungi berbagai aspek kehidupan manusia. Semakin tinggi dan luas tenda, semakin sehat aspek-aspek kehidupan yang berada di bawahnya, karena terbuka ruang lapang untuk mudah bergerak. Sebaliknya semakin sempit dan rendah tenda yang menaungi membuat berbagai aspek yang dalam naungannya semakin sempit, pengap dan tidak ada ruang gerak. Hal ini berlaku untuk semua aspek kebudayaan seperti sistem kepercayaan dan religiusitas, kesenian, bahasa, organisasi sosial politik, sistem pengetahuan, teknologi, ekonomi dan matapencaharian, dan pendidikan.
Kebudayaan ibarat sebuah tenda yang menaungi berbagai aspek kehidupan manusia. Semakin tinggi dan luas tenda, semakin sehat aspek-aspek kehidupan yang berada di bawahnya, karena terbuka ruang lapang untuk mudah bergerak. Sebaliknya semakin sempit dan rendah tenda yang menaungi membuat berbagai aspek yang dalam naungannya semakin sempit, pengap dan tidak ada ruang gerak. Hal ini berlaku untuk semua aspek kebudayaan seperti sistem kepercayaan dan religiusitas, kesenian, bahasa, organisasi sosial politik, sistem pengetahuan, teknologi, ekonomi dan matapencaharian, dan pendidikan.
Ditabrak Trail Polisi, Anjal Demo Polresta
Sekitar 20 anak jalanan (anjal) yang kesehariannya menjadi pengamen, kemarin melakukan aksi di Mapolresta Malang. Anak jalanan yang berusia antara 7 - 16 tahun ini mengeluhkan aksi penertiban preman yang dilakukan polisi.
Mereka pernah menjadi korban kekerasan oknum polisi yang sedang melakukan razia preman beberapa minggu terakhir. Ada yang ditrabrak sepeda motor trail, dipukul pakai gitar, dan diancam bala dibunuh jika tetap mengamen di kawan tertib lalulintas (KTL).
29 November 2008
Fungsi DPR sebagai Lembaga Perwakilan Rakyat versus Politik DPR dalam Kepentingan Kekuasaan
(Denhardt and Denhardt, 2007)
27 November 2008
Masyarakat Komunis Masa Depan
“Ada Hantu berkeliaran di Eropa, Hantu Komunisme”, bagitulah kata pembukaan Manifesto Komunis yang di tulis oleh Karl Marx bersama Engels, sebagaimana hantu adalah mahluk malam, dengan datangnya fajar, maka hantu itupun akan menyingsing, seiring dengan menyingsingnya fajar demokrasi di Eropa Timur, dan meninggalkan pertanyaan apakah memang hantu itu sudah tiba saatnya untuk pamit? Apakah komunisme berada di akhir perjalanannya, seiring dengan kejatuhan kerajaan soviet di awal tahun 1990-an?
Semula kejadian ekonomi dan politik di Uni Sovyet nampak mengesankan dan menjadi salah satu Negara adi kuasa. Pada perang dunia ke II membuka peluang bagi Uni Sovyet untuk menempatkan rezim-rezim komunis di belahan dunia. Mulailah perang dingin antara blok barat dibawah pimpinan Amerika Serikat dan blok timur di bawah komando Uni Sovyet. Pada tahun 1949 Cina direbut tentara merah yang tak bisa di hindari oleh kekuatan militer Amerika sendiri, Revolusi Kuba menempatkan rezim Komunis di depan hidung Amerika.
Biji keambrukan Komunis sebenarnya sudah lama kelihatan, 1960 terjadi perpecahan antara RRC dan Uni Sovyet menjadi semakin terbuka. Dalam tahun 1970-an komunisme dimana-mana sudah mulai kelihatan stagnasinya, pada tahun itu pula demokrasi social mendapat tantangan berat dari filosofi pasar bebas, khususnya bangkitnya Tatcherisme dan Reaganisme yang lebih umum di sebut “Neo-Liberalisme”. Gagasan Van Hayek sebagai pendukung utama pasar bebas sekaligus kritikus sosialisme lainnya tiba-tiba menjadi kekuatan yang patut diperhitungkan. Memang tanpa Ghorbachev barang kali sakaratul maut akan lebih lama dan barangkali akan berjalan dengan sangat berbeda.
Perkembangan ini mesti secara mendalam mempengaruhi nasib partai-partai komunis di Negara-negara non komunis, termasuk di indonesia. Akan tetapi sulit membayangkan bahwa ide Komunis masih dapat dipakai sebagai ideologi dan kerangka politik bagi seluruh perjuangan kemerdekaan. Gerakan Revolusioner akan tetap muncul dimana-mana dan dalam kondisi-kondisi yang cocok, meskipun demikian dapat diragukan apakah mereka masih akan mau berjuang di bawah panji-panji Komunisme? Sosialisme tidak pernah mati, karena hantu di eropa itu masih tetap menyeramkan, tentu saja merupakan keharusan bagi kita untuk belajar dari pengalaman Sovyet yang pahit itu dan terutama mengenahi apa yang terjadi ketika rakyat dilucuti dari hak-hak demokratiknya. Revolusi Bolivarian di Venezuela adalah contoh bagi gerakan-gerakan revolusioner dalam melawan dominasi Imperialisme. Revolusi Bolivarian ini juga untuk membantah buku The End of History yang dituls oleh Fransis Fukuyama yang mengatakan bahwa akhir dari sebuah sejarah bumi ini adalah kemenangan Neo-Liberalisme.
Dimata mayoritas penduduk planet bumi ini, dua pengalaman histories dalam pembangunan masyarakat tanpa kelas Stalinis dan social demokrasi telah gagal.ini adalah kegagalan dari sebuah tujuan sosial yang radikal secara menyeluruh. Tapi pemahaman ini tidaklah bermakna satu penilaian negative terhadap perubahan-perubahan social yang menguntungkan kaum tertindas. Dalam pemahaman ini neraca atas aktifitas gerakan rakyat selama 150 tahun terakhir tetaplah menunjukkan angka positif. Pembangunan sosialisme adalah satu laboratorium raksasa dimana terjadi berbagai pengalaman baru yang belum dapat di pahami sepenuhnya. Dalam lingkup yang lebih besar, kita harus memperhitungkan fakta bahwa taruhannya saat ini adalah sangat dramatic yaitu kelangsungan hidup manusia, kelaparan, penyakit menular, bom nuklir, pencemaran lingkungan, semua itu adalah kenyataan dunia kapitalis dulu dan sekarang, di dunia ketiga, 16 juta anak meninggal karena penyakit dan kelaparan.
Abad kita sekarang adalah abad global, banyak orang menyebutnya sebagai abad dimana batas-batas antara satu Negara dengan Negara lain makin memudar, dengan globalisasi peran Negara kemudian seperti menyusut. Fenomena kemajuan dibidang informasi dan perdagangan sekarang seperti tak lagi bisa dibendung oleh pembatasan atau retriksi dari sebuah Negara. Globalisasi ini tak lebih dari pada taktik dari Negara-negara Imperialis untuk mengeksploitasi dengan cara yang lebih beradab Negara-negara Dunia Ketiga.
Strategi Negara-negara Imperialis ini telah melahirkan banyak perlawanan-perlawanan rakyat di belahan dunia, karena proses ploretarisasi missal yang di timbulkan dari kebijakan-kebijakan Negara-negara Imperialis, jika pada masa perkembangan kapitalis mata rantai penghisapan adalah bourjuasi vis a vis proletar, maka pada zaman sekarang mekanisme penghisapan yang terjadi adalah Negara vis a vis Negara.
Sosialisme dapat memperoleh kembali nama baiknya dan kemampuannya hanya apabila ia siap untuk menjadikan dirinya sebagai alat perjuangan melawan segala macam penghisapan, hal ini menuntu tiga syarat:
Pertama, sekali-kali tidaklah boleh sosialisme menempatkan dukungannya terhadap perjuangan social massa sebagai bagian proyek politik apapun. kita harus berada tanpa syarat ditengah massa dalam tiap perjuangannya, dalam hal ini memang dal Pemilihan Umum tidak begiti penting, sebab menang dalam Pemilu hanya mempunyai kekuasaan untuk memerintah tetapi tidak mempunyai hak untuk memerintah.
Kedua, kita harus mengusung propaganda dan pendidikan ditengah massa untuk sebuah model sosialisme yang memperhitungkan segala macam pengalaman dan bentuk kesadaran dari dasawarsa terakhir. Kita harus membela suatu model sosialisme secara menyeluruh melibatkan peran serta massa disegala bidang kehidupan. Sosialisme macam ini haruslah berwatak mandiri, pro lingkungan, pembela perdamaian yang radikal, pluralistik, sosialisme ini juga harus memperluas kualitas demokrasi, internasionalis dan plural, termasuk membela sistem multipartai.
Ketiga, kondisi yang diperlukan adalah penolakan dari kaum sosialis dan komunis atas semua praktek paternalistik, palsu dan elitis. Kita harus merenungkan dan menyampaikan sumbangan Karl Marx yang utama dalam dunia politik. Kebangkitan kemandirian kaum pekerja itu sendiri. Kebangkitan ini tidak dapat dikerjakan oleh Negara, pemerintah, para pemimpin partai ataupun pakar yang tidak bercacat sekalipun.
Jika ketiga syarat tersebut dipenuhi, maka hantu itu muncul untuk menghadirkan diri dalam bentuk suatu manifesto, yang akan menjadi manifesto partai, karena Marx sudah memberikan bentuk partai kepada kekuatan yang berstruktur poltis dan akan menjadi motor bagi revolusi, transformasi, perampasan dan akhirnya destruksi sebuah Negara.
(sumber: www.rumahkiri.net)
26 November 2008
ABC Dialektika Materialis
Dialektika bukanlah fiksi dan bukan pula mistisisme, melainkan sebuah pengetahuan mengenai bentuk pemikiran kita sejauh ia tidak dibatasi ke dalam masalah-masalah kehidupan sehari-hari, tetapi berusaha mencapai sebuah pengertian yang lebih rumit dan proses-proses yang mendesak untuk diperbincangkan. Logika dialektika dan logika formal memikul sebuah hubungan yang serupa dengan hubungan antara matematika tingkat tinggi dengan matematika yang lebih rendah.
Di sini saya akan mencoba untuk membuat sketsa substansi masalah dalam sebuah format yang sangat ringkas. Silogisme sederhana logika Aristotelian bermula dari preposisi bahwa "A" sama dengan "A". Postulat ini diterima sebagai sebuah aksioma bagi banyak sekali tindakan praktis manusia dan generalisasi-generalisasi elementer. Tetapi pada kenyataannya "A" tidak sama dengan "A". Hal ini mudah untuk dibuktikan jika kita mengamati dua huruf ini di bawah sebuah lensa --satu sama lain sama sekali berbeda. Namun, orang dapat saja berkeberatan, karena mereka semata simbol bagi kuantitas-kuantitas sederajat, contohnya satu pon gula, masalahnya bukan ukuran atau bentuk dari huruf-huruf itu. Keberatan itu tidak penting; pada kenyataannya satu pon gula tidak pernah sama persis dengan satu pon gula --sebuah pengukuran yang lebih teliti selalu menyingkapkan adanya perbedaan. Lagi-lagi orang dapat berkeberatatan: tapi satu pon gula adalah sama dengan dirinya sendiri. Ini juga tidak benar --semua bentukan tanpa bisa diinterupsi berubah dalam ukuran, berat, warna, dan lain sebagainya. Mereka itu tidak pernah sama dengan dirinya sendiri. Seorang sophis akan menanggapi bahwa satu pon gula adalah sama dengan dirinya "pada saat yang tertentu".
Terlepas dari nilai praktis yang sangat ekstrim meragukan dari "aksioma" ini, ia tidak bertahan juga terhadap kritisisme teoritis. Bagaimana kita harusnya benar-benar memahami kata "saat"? Jika ia adalah sebuah interval waktu yang sangat kecil, maka satu pon gula ditundukkan menjadi sasaran selama berlangsungnya "saat" tersebut pada perubahan-perubahan yang tak dapat dielakkan, atau apakah "saat" adalah sebuah abstraksi yang murni matematis, yaitu, sebuah kekosongan dari waktu? Tapi semua hal eksis dalam waktu; dan eksistensi sendiri adalah sebuah proses yang tidak berhenti dari transformasi; waktu secara konsekuen adalah sebuah elemen fundamental bagi eksistensi. Jadi aksioma "A" adalah sama dengan "A" menandakan bahwa suatu hal adalah sama dengan dirinya sendiri jika ia tidak berubah, yaitu jika ia tidak eksis.
Secara sepintas kelihatannya "kepelikan-kepelikan" ini tiada berguna. Dalam realita, hal-hal itu amat menentukan arti. Di satu sisi aksioma "A" adalah sama dengan "A" muncul sebagai titik keberangkatan bagi semua pengetahuan kita, di sisi lain sebagai titik keberangkatan segala kekeliruan dan kesalahan dalam pengetahuan kita. Untuk membuat penggunaan yang bebas resiko dari aksioma "A" adalah sama dengan "A" adalah hanya mungkin di dalam batasan-batasan pasti. Ketika perubahan-perubahan kuantitatif dalam "A" adalah tidak berarti bagi tugas-tugas yang ada, maka kemudian kita dapat memperkirakan bahwa "A" adalah sama dengan "A". Contohnya ini adalah cara di mana seorang pembeli dan seorang penjual mengingat satu pon gula, demikian pula kita mempertimbangkan suhu matahari. Sampai waktu sekarang ini kita mempertimbangkan kekuatan mata uang dollar dengan cara yang sama. Tetapi perubahan-perubahan kuantitatif, yang melebihi batasan-batasan pasti, terkonversi menjadi kualitatif. Satu pon gula tunduk kepada tindakan air atau bensin, berhenti menjadi satu pon gula. Satu dollar dalam pelukan seorang presiden berhenti sebagai satu dollar. Untuk menentukan titik kritis pada saat yang tepat di mana kuantitas berubah menjadi kualitas adalah satu dari tugas-tugas yang paling penting serta paling susah di dalam semua bidang pengetahuan, termasuk sosiologi.
Setiap pekerja mengetahui bahwa mustahil membuat dua benda yang sepenuhnya sama. Dalam perluasan bearing-brass menjadi cone bearings diperkenankan adanya sebuah deviasi atas yang disebut terakhir, yang, bagaimanapun, tidak boleh melampaui batasan-batasan pasti (hal ini disebut toleransi). Dengan mengamati norma-norma toleransi, intinya dipertimbangkan menjadi setara. ("A" adalah sama dengan "A"). Saat toleransi menjadi berlebih, kuantitas berlanjut menjadi kualitas; dengan kata lain, cone bearings tadi menjadi inferior atau sepenuhnya tak berharga.
Pemikiran ilmiah kita hanyalah satu bagian dari keseluruhan tindak praktek kita, termasuk teknik-teknik. Bagi konsep-kopsep, eksistensi "toleransi" juga ada. Toleransi ini ditegakkan bukan dengan logika formal yang berasal dari aksioma "A" adalah sama dengan "A", tetapi dengan logika dialektis yang berasal dari aksioma bahwa semua hal selalu berubah. "Akal sehat" dikarakterisasi oleh kenyataan bahwa ia secara sistematis melampaui "toleransi" dialektis.
Pemikiran vulgar beroperasi dengan konsep-konsep macam kapitalisme, moral, kebebasan, negara pekerja, dll. sebagai abstraksi-abstraksi pasti, mengira bahwa kapitalisme adalah sama dengan kapitalisme, moral adalah sama dengan moral, dan seterusnya. Pikiran dialektis menganalisa semua hal dan fenomena dalam perubahannya yang terus berlangsung, sambil menetapkan dalam kondisi-kondisi material dari perubahan-perubahan tersebut yang batas kritis di luar hal yang "A" barhenti menjadi "A", sebuah negara pekerja berhenti menjadi negara pekerja.
Kekurangan fundamental dari pemikiran vulgar terletak dalam kenyataan bahwa ia berharap untuk mengisi dirinya sendiri dengan cetakan ajeg dari sebuah realitas yang mengandung gerakan abadi. Dengan cara memperketat perkiraan-perkiraan, koreksi-koreksi, kongkritisasi; pemikiran dialektis memberikan sebuah kekayaan mengenai isi dan fleksibitas kepada konsep-konsep; bahkan saya katakan bahwa ini adalah sebuah kelembapan yang bagi sebuah bidang tertentu membawanya lebih dekat pada fenomena yang nyata hidup. Bukan kapitalisme secara keseluruhan, melainkan sebuah kapitalisme tertentu pada sebuah tahap perkembangan tertentu. Bukan sebuah negara pekerja secara keseluruhan, tetapi sebuah negara pekerja tertentu dalam sebuah negara terbelakang dalam sebuah pengepungan kaum imperialis, dan lain-lain.
Pemikiran dialektis berhubungan dengan pemikiran vulgar dengan cara yang sama seperti sebuah gambar bergerak (motion picture) berhubungan dengan sebuah foto yang ajeg. Gambar bergerak tidak berada di luar hukum foto ajeg tetapi mengkombinasikan sebuah urutan dari foto-foto tersebut sesuai dengan hukum-hukum gerak. Dialektika tidak mengingkari silogisme, tetapi mengajari kita untuk menggabungkan silogisme dalam cara yang sedemikian rupa untuk membawa pengertian kita menjadi lebih dekat pada realitas yang berubah secara abadi. Dalam bukunya, Logika, Hegel mendirikan satu rangkaian ketentuan-ketentuan: perubahan kuantitas menjadi kualitas, perkembangan melalui kontradiksi, konflik mengenai isi dan bentuk, interupsi dari kontinuitas, perubahan posibilitas menjadi hal yang tak dapat dihindarkan adanya, dll., yang sama pentingnya bagi pemikiran teoritis sepenting dalam silogisme sederhana bagi tugas-tugas yang lebih elementer.
Hegel menulis sebelum Darwin dan sebelum Marx. Berterima kasih kepada impuls kuat yang diberikan Revolusi Perancis kepada pemikiran, Hegel mengantisipasi gerakan ilmu pengetahuan secara menyeluruh. Tetapi karena itu semata sebuah antisipasi, meskipun dilakukan oleh seorang jennius, hal itu menerima sebuah karakter idealistik dari Hegel. Hegel mengoperasikan bayangan-bayangan ideologis sebagai realitas terakhir. Marx mendemonstrasikan bahwa gerakan dari bayangan-bayangan idiologis ini tidak merefleksikan apa-apa kecuali gerakan dari tubuh-tubuh materi.
Kita menamakan dialektika kita, materialis, sebab ia tidak berakar baik di surga maupun di kedalaman dari "kehendak bebas" kita, melainkan di dalam realitas objektif, di alam. Kesadaran timbul dari bawah sadar, psikologi dari fisiologi, dunia organik dari dunia inorganik, galaksi dari nebula. Di atas tiap undakan tangga perkembangan ini, perubahan-perubahan kuantitatif ditransformasikan menjadi kualitatif. Pikiran kita, terrmasuk pikiran dialektis, hanyalah satu dari bentuk-bentuk ekspresi zat yang berubah. Di dalam sistem ini tidak tersedia tempat bagi Tuhan, Syetan, jiwa kekal, tidak juga norma-norma abadi dari hukum dan moral. Dialektika pemikiran, timbul dari dialektika alam, secara konsekuen memiliki sebuah karakter yang seluruhnya materialis. Darwinisme, yang menjelaskan evolusi spesies melalui transformasi kuantitatif berlanjut pada kualitatif, adalah kemenangan tertinggi dari dialektika dalam seluruh lapangan perkara organik. Kemenangan besar besar lainnya adalah penemuan tabel berat atom dari unsur kimia dan transformasi lebih lanjut dari satu elemen menjadi satu elemen lain.
Secara erat, transformasi-transformasi ini (spesies, elemen, dll.) berkaitan dengan masalah klasifikasi, sama pentingnya dalam ilmu alam sebagaimana dalam ilmu sosial. Sistem Linneaus (abad ke-18) mempergunakan immutabilitas spesies sebagai titik awalnya, terbatas pada deskripsi dan klasifikasi mengenai pertanian sesuai karakteristik-karakteristik abadinya. Periode infantil dari botani adalah analogis dengan periode infantil logika, karena bentuk-bentuk pikiran kita berkembang seperti semua hal yang hidup. Hanya penyangkalan yang tak dapat disanggah mengenai ide tentang spesies jadi, hanya studi mengenai sejarah evolusi tentang pertanian dan anatominya, menyiapkan basis bagi sebuah klasifikasi yang benar-benar ilmiah.
Marx, yang dalam perbedaan dari Darwin adalah seorang dialektikus yang sadar, menemukan sebuah basis bagi klasifikasi ilmiah mengenai masyarakat-masyarakat manusia dalam perkembangan kekuatan-kekuatan produktifnya dan struktur kepemilikan yang membentuk anatomi masyarakat. Marxisme memberikan substitusi berupa sebuah klasifikasi dialektik materialistis kepada klasifikasi vulgar mengenai masyarakat dan negara, yang bahkan hingga sekarang masih tumbuh dengan subur dalam berbagai universitas. Hanya dengan menggunakan metode Marx dimungkinkan secara benar menentukan baik konsep mengenai sebuah negara pekerja maupun juga momen keruntuhannya.
Kita lihat, semua ini sama sekali tidak mengandung hal "metafisik" atau "scholastis" sebagai ungkapan ketidaktahuan yang congkak. Logika dialektis mengungkapkan hukum gerak dalam pemikiran ilmiah kontemporer perjuangan melawan dialektika materialis sebaliknya mengungkapkan sebuah masa lalu yang berjarak, konservatisme dari borjuasi kecil, keangkuhan diri para pengusung rutinitas universitas, dan ... sekilat harapan bagi sebuah alter-life (kehidupan yang berubah).
Leon Trotsky,
15 Desember 1939
24 November 2008
BURUH INDONESIA
Selama ini buruh hanya di anggap sebagai mesin penggerak industrialisme di Indonesia. Suara buruh sama sekali tidak pernah di dengar, bahkan orang no 1 Indonesia tak pernah ada di istana negara setiap perayaan hari buruh. Kemanakah orang no 1 Indonesia tersebut saat kawan-kawan buruh Indonesia "berkunjung" ke istana negara? Apakah hal tersebut menandakan bahwa buruh hanya di pandang sebelah mata???
Kita jangan menafikkan diri terhadap hal ini. Akan tetapi kita juga harus bercermin pada realita bahwa keberadaan buruh sendiri pada saat ini tidak satu. Buruh terpecah-pecah dalam beragam suara, beragam kelompok, beragam kepentingan. Semua perbedaan itu notabenenya adalah perbedaan visi dan misi.
Sudah saatnya kaum buruh indonesia berdiri dalam 1 wadah, satu visi+misi, satu jalan, satu tujuan. Lepaskan semua atribut kelompok-kelompok kecil yang melekat di baju kalian semua. Sehingga kita sebagai kaum buruh memiliki bergaining power yang cukup kuat, suaranya di dengar dan keberadaannya tak lagi di pandang sebelah mata oleh kapitalis dan birokrat.
Kita jangan menafikkan diri terhadap hal ini. Akan tetapi kita juga harus bercermin pada realita bahwa keberadaan buruh sendiri pada saat ini tidak satu. Buruh terpecah-pecah dalam beragam suara, beragam kelompok, beragam kepentingan. Semua perbedaan itu notabenenya adalah perbedaan visi dan misi.
Sudah saatnya kaum buruh indonesia berdiri dalam 1 wadah, satu visi+misi, satu jalan, satu tujuan. Lepaskan semua atribut kelompok-kelompok kecil yang melekat di baju kalian semua. Sehingga kita sebagai kaum buruh memiliki bergaining power yang cukup kuat, suaranya di dengar dan keberadaannya tak lagi di pandang sebelah mata oleh kapitalis dan birokrat.
13 September 2008
Masa Depan Indonesia
Berakhirnya tanggal 17 Agustus adalah waktu yang tepat untuk melakukan kontemplasi, tentang masa lalu, masa kini, dan masa depan negara kita.
Sebelum kemerdekaan, 90 persen rakyat Indonesia buta huruf latin. Tidaklah mudah bagi para Perintis Kemerdekaan dan Angkatan 45 untuk mengajak rakyat dengan tingkat pendidikan yang begitu rendah agar sadar akan haknya untuk merdeka. Kondisi itu mengharuskan para pemimpin politik di masa itu, mensosialisasikan gagasan kemerdekaan, menggunakan ungkapan yang mudah dipahami. Keberhasilan meyakinkan rakyat telah membentuk tekad rakyat untuk “Merdeka atoe Mati” menjadikannya kekuatan besar yang mampu mengusir penjajah yang memiliki persenjataan yang hebat.
Indonesia mengawali kemerdekaan negara-negara baru setelah berakhirnya Perang Dunia II. Lebih dari 30 negara baru di Asia dan Afrika berjuang merebut kemerdekaannya terinspirasi oleh keberhasilan Indonesia. Sejak merdeka, kita (Indonesia) telah mencapai banyak kemajuan; tetapi banyak negara lain maju lebih cepat sehingga relatif kita tertinggal. Beberapa diantaranya, di bidang pendidikan, Malaysia yang dulu meminta guru-guru Indonesia mengajar di sana, sekarang memiliki sistem, sarana dan mutu pendidikan yang lebih baik. Dalam bidang sepak bola, Jepang dan Australia, 15 tahun yang lalu sulit mengalahkan PSSI, sekarang telah ikut final 32 negara terbaik di Jerman, sementara kita kesulitan untuk menjadi juara di tingkat ASEAN.
Seorang ekonom AS, Prof. Jeffrey Sach, memberikan perbandingan. Tahun 1984, ekspor Indonesia 4 milliard dollar AS dan China 3 milliar dollar AS. 20 tahun kemudian, tahun 2005, ekspor Indonesia meningkat menjadi 70 milliar dollar AS dan China mencapai 700 milliar dollar AS. Di bidang pembangunan jalan tol, Indonesia memulai 10 tahun lebih dulu dari Malaysia dan 12 tahun lebih dulu dari China. Sekarang total panjang halan tol di Malaysia 6.000 km, di China 90.000 km, dan di Indonesia baru 630 km.
24 Juli 2008
Aku Membeli Karena Itu Aku Ada
Sejak ribuan tahun yang lalu, dunia materi telah menjadi kekuatan luar biasa yang dikejar-kejar manusia. Dampak dari pengejaran ini pun begitu bervariasi dan berperan besar dalam membentuk proses peradaban kehidupan di Bumi ini. Dari yang berbentuk mitos ala Yunani dan Ken Arok hingga yang lebih ilmiah ala Revolusi Industri dan Perang Dingin. Hampir semua proses perubahan besar dalam sejarah dunia kita tidak terlepas dari perkembangan dunia materialis tersebut.
Pembangunan materialis pada ukuran yang tepat memang diperlukan demi kesejahteraan umat manusia, namun ketika materialis telah menghegemoni perkembangan dunia, ia tidak lagi menjadi sarana yang membawa kebahagiaan bagi manusia. Ia akan menampilkan wajah paradoksnya. Globalisasi ekonomi sebagai pilar hegemoni dunia materialis telah mengakibatkan semakin meningkatnya ketidakseimbangan dalam banyak aspek. Kesenjangan dan ketidakadilan antara negara maju dan negara berkembang semakin lebar. Semakin berkuasanya perusahaan-perusahaan multinasional telah mengikis kemampuan setiap negara untuk mengontrol kegiatan ekonomi dalam negerinya. Globalisasi bahkan membuat negara-negara semakin tidak berdaya dalam mengendalikan ekonomi kapitalis yang sayangnya selalu berwajah serakah dan setengah perampok. Semua inilah yang telah menimbulkan dilema kemanusiaan yang luar biasa dampaknya.
Hegemoni dunia materialis ini juga telah menggeser nilai-nilai budaya yang ada di setiap sendi-sendi kehidupan masyarakat. Saat ini budaya materialis telah mendunia dan ideologi kebangsaan suatu negara pun menjadi semakin jelas muaranya yakni materialisme. Hal ini terjadi karena hasil akumulasi liberalisasi dengan ideologi kapitalis yang kemudian menghegemoni kesadaran dunia di mana Amerika menjadi tolok ukur dalam kemajuan suatu negara. Akibatnya, mereka yang hidup di Dunia Ketiga menjadi sapi perahan bagi negara-negara maju yakni eksploitasi besar-besaran sumber daya alam, sumber daya manusia, budaya, dan seterusnya. Setelah propaganda globalisasi dilakukan, ternyata modal menjadi kata kuncinya, sementara mereka yang hidup di Dunia Ketiga tidak memiliki kendali dan kekuatan atas modal tersebut.
Seperti burung di alam bebas, para pemilik modal tidak bisa dihalau oleh sistem kekuasaan yang otoriter sekalipun. Bahkan sebaliknya, kekuasaan negara dibuat tak berdaya olehnya. Modal dapat berpindah dari satu sistem kekuasaan ke sistem kekuasaan yang lain. Persaingan sistem politik dan ekonomi pun terjadi. Mereka saling mempengaruhi dan tidak jarang menimbulkan ketegangan, namun kemenangan biasanya berakhir di pihak pemodal. Sekarang ini berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah lebih dikendalikan oleh kepentingan dan kekuasaan pemilik modal.
Kondisi ini membuat analisa yang didasarkan pada kekuatan partai politik dan pergerakan massa pun menjadi tidak berguna untuk menjelaskan kebijakan di Indonesia dan negara berkembang lainnya. Kebebasan dan kekuasaan yang dimiliki pemilik modal telah menentukan arah kebijakan negara yang tidak jarang amat merugikan, menyengsarakan dan rasa keadilan rakyatnya sendiri. Kekuasaan kemudian bisa dikendalikan oleh pemilik modal dan menjadi pusat kendali semua kebijakan ketika pemilik modal juga berhasil menguasai sumber daya, khususnya sumber daya kekuatan politik. Kita membutuhkan konsep pembangunan yang baru, yang mampu melampaui hegemoni materialisme. Untuk itu, spiritualitas menjadi amat penting dalam mengimbangi daya rusak hegemoni dunia materialis.
Dalam konteks mencari konsep pembangunan yang berdimensi spiritualis itulah antitesis yang ditampilkan dari sikap hidup seseorang menjadi amat berharga bagi kehidupan ini. Secara umum, sesuai teori pembangunan materialis, seseorang dapat mengukur pembangunan secara fisik, seperti misalnya meningkatnya pendapatan, bertambahnya jumlah pabrik, sekolah, rumah sakit, pangan, hingga jumlah tenaga kerja. Kita kemudian berasumsi jika jumlah secara kuantitas ini meningkat, maka secara otomatis kualitas kehidupan juga meningkat. Namun jika seseorang ingin mengukur pembangunan dalam segi kualitatif yang sesungguhnya, tidak seharusnya hanya menimbang antara hubungan manusia dengan kemajuan materi semata, tapi juga hubungannya dengan kemajuan potensi-potensi manusia secara penuh. Ketika manusia memiliki bahan pangan yang cukup untuk mempertahankan hidup tapi tertekan oleh rasa takut, depresi, ketidakadilan dan tidak memiliki kemerdekaan sipil, maka keadaan masyarakat itu tidak benar-benar mengalami kemajuan. Memang, pembangunan materialis jelas berguna untuk menjamin tersedianya kebutuhan dasar manusia. Dengan kebutuhan dasar ini membantu manusia untuk mempertahankan kehidupan fisiknya saja. Selain kemerdekaan fisik, pembangunan juga harus mampu menjamin kemerdekaan sosial dan kemerdekaan spiritual manusia. Kemerdekaan sosial tercapai ketika kehidupan masyarakat tidak lagi mengalami penindasan sosial, politik dan budaya. Dengan demikian keadilan sosial, persamaan dan keselarasan hidup dengan alam dapat dijamin kelangsungannya. Jaminan atas kemerdekaan fisik dan sosial akan memberi ruang bagi manusia untuk meraih kebebasan yang lebih halus, sebuah kebebasan spiritual.
Dalam konteks yang lebih umum, kebebasan spiritual tercapai ketika kemerdekaan batin dapat dirasakan oleh individu yang tidak lagi bergantung kepada faktor-faktor luar. Karena dari sudut spiritual, manusia memiliki kualitas istimewa yang dapat mengantarkan kepada kehidupan yang sepenuhnya, bukan hanya pemenuhan kebutuhan materi semata. Pembangunan negara kita juga harus memperhatikan kualitas inti dari kemanusiaan ini.
Dari sudut pandang materialis, pembangunan itu dikatakan berjalan bila terjadi peningkatan keuangan dan benda-benda materi, yang memandang keberhasilan pembangunan hanya dari peningkatan jumlah (sesuatu yang mendorong keserakahan). Sedang dari sudut pandang agama, pembangunan yang tengah berjalan saat ini merupakan hal yang jelas-jelas miskin dan terbelakang, karena pembangunan berkonsep spiritual memandang pembangunan yang benar adalah ketika keserakahan mampu dieleminir. Singkatnya, pembangunan tercapai ketika keserakahan dapat dikendalikan. Semakin berkualitas penghapusan keserakahan maka pembangunan itu menjadi semakin menunjukkan kemajuannya. Berbeda dengan konsep materialisme yang percaya bahwa pembangunan dapat tercapai dan terpenuhi. Jadi jelas bila konsep pembangunan spiritual merupakan lawan dari gagasan materialisme yang mendominasi pemikiran kita saat ini. Tetapi sayang, dalam kenyataannya agama saat ini telah berangsur-angsur kehilangan idealisme tersebut. Masyarakat telah menjadi begitu kapitalis dan konsumeris. Mereka melupakan esensi ajaran agamanya dan terjebak dalam praktik-praktik ritual belaka.
Tetapi, harus bagaimana agar manusia mampu keluar dari hegemoni dunia materialis ini? Dunia materialis dan daya pikatnya telah begitu membius manusia. Bahkan konsumerisme yang merupakan anak kandung dari kapitalis dan materialis telah menjadi agama baru peradaban modern. Bila pada masa lalu eksistensi manusia diukur dari kecerdasan otaknya "aku berpikir karena itu aku ada" maka saat ini yang berlaku adalah "aku membeli karena itu aku ada." Manusia seakan-akan menjadi tidak berarti bila tidak mampu membeli. Bila agama-agama konvensional memiliki tempat ibadah untuk mewujudkan rasa baktinya, maka tempat ibadah agama baru konsumerisme ini tersebar luas di berbagai mal dan plasa. Belanja dan membeli seakan menjadi bentuk ritual agama baru ini. Sedang periklanan di media massa cetak dan elektronik telah menjadi mimbar bagi kotbah-kotbah indah yang membius kesadaran manusia. Ekonomi mainstream dewasa ini telah mendorong suburnya keserakahan. Manusia seakan hanya memiliki dua aspek dalam hidupnya: menghasilkan uang dan mengkonsumsi. Inilah yang membuat manusia kehilangan dimensi spiritual dan keseimbangan dalam hidupnya.
Untuk itulah, di tengah-tengah suasana yang semakin menjauhkan manusia dari hakekat kehidupan spiritual yang pada dasarnya telah dimiliki oleh setiap manusia, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya amat berharga. Agama mengingatkan kita untuk kembali ke jati diri manusia yang seutuhnya. Kesederhanaan adalah antitesis dari kebahagiaan semu yang dijanjikan oleh dunia materialis yang serba serakah dan tak kenal puas. Semakin manusia tidak mengenal rasa puas, keserakahan yang ada semakin menjadi candu yang menjauhkannya dari rasa damai dan bahagia. Kebahagiaan diperoleh ketika pengendalian diri menjadi acuan hidup manusia, karena dari sanalah benih-benih pencerahan dan kemerdekaan spiritual akan memperoleh ruang untuk berkembang. Karena itu, konsep pembangunan yang mampu melampaui hegemoni dunia materialis akan menjadi agenda besar yang menjadi tugas kita bersama. Itu pun kalau memang kita sungguh-sungguh ingin keluar dari berbagai dilema kemanusiaan yang saat ini semakin kompleks menjerat kehidupan di Bumi ini. Semoga hal ini dapat menjadi renungan yang menjadi awal bagi munculnya buah kontemplasi yang lebih konkret dan berguna bagi kehidupan kemanusiaan kita.
01 Juli 2008
Observasi tentang Ahmadiyah
Inilah hasil observasi yang saya lakukan di tempat saya beraktifitas, tepatnya di Warung Merah/Proletar. Tapi sayang, observasi yang saya lakukan sebatas kalangan mahasiswa. Ini dikarenakan warung tempat saya beraktifitas kebanyakan dari mahasiswa. Berikut pertanyaan saya dan hasil jawaban yang saya peroleh.
Berikan Pendapat Anda tentang Ahmadiyah (singkat)?
1. Dari segi agama: Penodaan agama, dalam hal ini masih mengatasnamakan Islam. Dari segi Undang2 Indonesia: Kebebasan untuk berpendapat, dalam hal ini demokrasi. (KW).
2. Dari segi undang2: Boleh. Itu khan masalah keyakinan dan kebebasan memeluk agama. Dari segi agama: Ya pasti harus dibubarkan lah. Jelas2 itu menyimpang dari ajaran Islam sendiri. Sesat itu!!! (SBRN)
3. Dari segi undang2: Bahwasannya negara menjamin warganya untuk berkumpul/berorganisasi dan memeluk agama yg sekiranya pantas untuk dipeluk. Dari segi agama: Yg pasti Ahmadiyah menyimpang dari ajaran Islam yang khak (prinsipil), sebaiknya Ahmadiyah membentuk kepercayaan sendiri tnp menyangkut nama Islam (spt Lia EDEN itu). (TOK)
4. "Bagimu agamamu, bagiku agamaku" yang memberi hidayah pada makhluknya DIA-lah yang maha tahu.
5. Islam adalah agama yang tidak memaksa alias agama demokrasi. Adakalanya kalau paham Ahmadiyah berpengaruh thdp agama Islam dan itu pahamnya berbeda kita cuman bisa meluruskan dan kita tidak bisa memaksa dan menghancurkan itu sama saja kita bertolak belakang sama al quran karena agama Islam menerangkan bahwa Bagimu agamamu dan Bagiku agamaku, dan itu hanya Allah SWT yang bisa menghukum umatnya jika umatnya menyalahi aturannya.
6. Jika Ahmadiyah berbeda paham dgn Islam kt harus meluruskan dan tidak boleh bentrok SING PENTING SEMUA AGAMA PEACE N LOVE maka tidak ada konflik agama. Thanks.
7. Harusnya Ahmadiyah gak usah menamakan dirinya Islam krn ada keyakinan yg beda dg Islam yg sebenarnya. Tapi bukan berarti hrs ada anarkisme pd ahmadiah.
8. Islam akan terbagi menjadi 70 lebih khan? nah, ini mungkin salah satunya.
9. Pada mulanya Ahmadiyah berdiri bebarengan dengan berdirinya NU dan Muhammadiyah yang mana memiliki tujuan yang sama tetapi seiring berjalannya waktu ajaran yg diajarkan Ahmadiyah telah menyimpang dari Alqur'an. Sebenarnya dalam pandangan saya Ahmadiyah tdk perlu dibubarkan, akan tetapi perlu adanya perombakan dalam tubuh Ahmadiyah/dgn mengganti orang2 yg ada di Ahmadiyah yang mana dgn pergantian tsb akan mengembalikan ajaran Ahmadiyah sesuai Alqur'an.
Berikan Pendapat Anda tentang Ahmadiyah (singkat)?
1. Dari segi agama: Penodaan agama, dalam hal ini masih mengatasnamakan Islam. Dari segi Undang2 Indonesia: Kebebasan untuk berpendapat, dalam hal ini demokrasi. (KW).
2. Dari segi undang2: Boleh. Itu khan masalah keyakinan dan kebebasan memeluk agama. Dari segi agama: Ya pasti harus dibubarkan lah. Jelas2 itu menyimpang dari ajaran Islam sendiri. Sesat itu!!! (SBRN)
3. Dari segi undang2: Bahwasannya negara menjamin warganya untuk berkumpul/berorganisasi dan memeluk agama yg sekiranya pantas untuk dipeluk. Dari segi agama: Yg pasti Ahmadiyah menyimpang dari ajaran Islam yang khak (prinsipil), sebaiknya Ahmadiyah membentuk kepercayaan sendiri tnp menyangkut nama Islam (spt Lia EDEN itu). (TOK)
4. "Bagimu agamamu, bagiku agamaku" yang memberi hidayah pada makhluknya DIA-lah yang maha tahu.
5. Islam adalah agama yang tidak memaksa alias agama demokrasi. Adakalanya kalau paham Ahmadiyah berpengaruh thdp agama Islam dan itu pahamnya berbeda kita cuman bisa meluruskan dan kita tidak bisa memaksa dan menghancurkan itu sama saja kita bertolak belakang sama al quran karena agama Islam menerangkan bahwa Bagimu agamamu dan Bagiku agamaku, dan itu hanya Allah SWT yang bisa menghukum umatnya jika umatnya menyalahi aturannya.
6. Jika Ahmadiyah berbeda paham dgn Islam kt harus meluruskan dan tidak boleh bentrok SING PENTING SEMUA AGAMA PEACE N LOVE maka tidak ada konflik agama. Thanks.
7. Harusnya Ahmadiyah gak usah menamakan dirinya Islam krn ada keyakinan yg beda dg Islam yg sebenarnya. Tapi bukan berarti hrs ada anarkisme pd ahmadiah.
8. Islam akan terbagi menjadi 70 lebih khan? nah, ini mungkin salah satunya.
9. Pada mulanya Ahmadiyah berdiri bebarengan dengan berdirinya NU dan Muhammadiyah yang mana memiliki tujuan yang sama tetapi seiring berjalannya waktu ajaran yg diajarkan Ahmadiyah telah menyimpang dari Alqur'an. Sebenarnya dalam pandangan saya Ahmadiyah tdk perlu dibubarkan, akan tetapi perlu adanya perombakan dalam tubuh Ahmadiyah/dgn mengganti orang2 yg ada di Ahmadiyah yang mana dgn pergantian tsb akan mengembalikan ajaran Ahmadiyah sesuai Alqur'an.
13 Juni 2008
KETERLIBATAN SOEHARTO DALAM G-30S
Barangkali, dari berbagai buku-buku penting yang akhir-akhir ini diterbitkan di Indonesia, buku dengan judul “Pleidoi Kol. A. Latief: Soeharto terlibat G30S” adalah salah satu di antaranya yang patut–-bahkan, sangat perlu!!!–-mendapat perhatian kita semua. Sebab, terbitnya buku ini bukan saja merupakan sumbangan bagi kita semua untuk bisa lebih mengenal berbagai hal tentang peristiwa besar yang terjadi dalam tahun 1965 itu, melainkan juga tentang peran yang dipegang oleh Suharto di dalamnya, tentang komplotan untuk menggulingkan Presiden Sukarno, tentang pelanggaran besar-besaran Hak Asasi Manusia, tentang lahirnya rezim militer Orde Baru, yang selama ini masih belum sepenuhnya terungkap secara jelas.
Di samping itu, buku ini juga merupakan bantuan bagi kita semua untuk mendapatkan bahan-bahan atau informasi yang berbeda dari versi resmi yang selama lebih dari tiga dasawarsa telah disajikan (atau lebih tepat: disodorkan? dipaksakan?) oleh para penguasa Orde Baru, dan juga segi-seginya yang sengaja disembunyikan oleh mereka. Karena peristiwa G3OS merupakan peristiwa besar, maka segala usaha dari FIHAK MANAPUN untuk mencari kebenaran tentang peristiwa itu sendiri, serta sebab-sebab dan latarbelakangnya-–dan juga akibat-akibat selanjutnya-–adalah sangat berguna bagi sejarah bangsa kita.
Diterbitkannya buku ini merupakan panggilan bagi kita semua untuk berani mengadakan berbagai langkah, secara bersama-sama, untuk memeriksa kembali segala persoalan yang berkaitan dengan G30S, demi keadilan, demi kebenaran, demi kejujuran. Sebab, Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto telah menjadikan peristiwa ini sebagai dalih untuk melegitimasi berdirinya diktatur militer (berselubung), yang selama lebih dari 32 tahun telah merusak sendi-sendi Republik Indonesia. Atas dasar peristiwa G30S itulah telah dibangun rezim militer, yang telah membikin berbagai dosa kepada rakyat, antara lain: membungkam kehidupan demokrasi selama puluhan tahun, membunuh jutaan manusia tak bersalah, menyengsarakan puluhan juta orang keluarga para korban pembunuhan 65/66 dan ex-tapol, memporak-porandakan nilai-nilai moral, menyebarkan budaya korupsi, menyuburkan perpecahan antara berbagai komponen bangsa, dan seribu satu kerusakan dan kebobrokan lainnya, yang akibatnya kita saksikan secara nyata sampai sekarang ini.
Sejarah yang Sebenarnya
Sebenarnya, di berbagai kalangan, baik di Indonesia maupun di luar negeri, pleidoi Kol. A. Latief sudah pernah beredar dalam berbagai bentuk. Sekitar tahun 1979-1980, satu bundel tebal pleidoi ini pernah diselundupkan ke Eropa lewat seorang. Melalui jaluran yang tidak perlu disebutkan dalam tulisan ini, pleidoi yang ketikannya jelek dan kabur (karena sudah difotokopi berkali-kali), telah ditik kembali di satu kota di Eropa dengan mesin-tik listrik sehingga lay-outnya menjadi lebih bagus dan enak dibaca. Setelah dicetak dengan offset beberapa ratus eksemplar, bundel pleidoi ini beredar di berbagai negeri Eropa, dengan judul “Sejarah yang sebenarnya”. Kemudian, dari berbagai sumber didapat kabar, bahwa sekitar tahun 1980 itu juga, bundel pleidoi ini juga sudah sampai di tangan berbagai pakar luar negeri. Jadi, sejak tahun 1980, pleidoi ini sudah dikenal oleh berbagai kalangan di luarnegeri–-walaupun terbatas sekali–-baik orang-orang Indonesia maupun asing, dan telah dipakai sebagai bahan analisa tentang soal-soal yang berkaitan dengan peristiwa G30S dan berdirinya rezim militer Orde Baru.
Sepanjang yang kita ketahui selama ini, di Indonesia sendiri pleidoi Kol. A. Latief ini tidak dikenal secara luas dalam masyarakat, kecuali di kalangan-kalangan tertentu (sejarawan, aktivis Hak Asasi Manusia, sejumlah LSM, oposan Orde Baru dll). Sebab-sebabnya sudah jelaslah kiranya. Di bawah kekuasaan Orde Baru, memiliki fotokopi pleidoi Kol. A. Latief, adalah risiko besar, yang bisa membahayakan keselamatan seseorang. Sebab, isinya penuh dengan hal-hal yang tidak menguntungkan Soeharto dan para jenderal pendukung setianya, atau, singkatnya, para penguasa rezim Orde Baru.
Hanya sekarang inilah, ketika Soeharto bersama rezimnya sudah ambruk berkat perjuangan para mahasiswa dengan dukungan massa luas, maka buku pleidoi ini bisa diterbitkan dan beredar dalam masyarakat. Yaitu, lebih dari 20 tahun kemudian setelah pleidoi itu diucapkan. Suatu peristiwa yang jarang terjadi dalam sejarah dunia modern.
Bagian dari Khasanah Sejarah Kita
Munculnya buku pleidoi Kol. A. Latief, yang diterbitkan oleh ISAI dan redaksinya dipersiapkan oleh ISAI-Hasta Mitra, adalah langkah penting dalam usaha bersama kita untuk menegakkan kebenaran dan menemukan keadilan seputar peristiwa G30S beserta buntut-buntutnya yang menyusul kemudian. Patutlah kiranya dikatakan bahwa buku ini merupakan salah satu bagian yang sangat berharga dalam khasanah sejarah modern Indonesia. Mengapa demikian? Hal-hal yang berikut di bawah ini mungkin bisa kita jadikan renungan bersama:
Munculnya buku pleidoi Kol. A. Latief, yang diterbitkan oleh ISAI dan redaksinya dipersiapkan oleh ISAI-Hasta Mitra, adalah langkah penting dalam usaha bersama kita untuk menegakkan kebenaran dan menemukan keadilan seputar peristiwa G30S beserta buntut-buntutnya yang menyusul kemudian. Patutlah kiranya dikatakan bahwa buku ini merupakan salah satu bagian yang sangat berharga dalam khasanah sejarah modern Indonesia. Mengapa demikian? Hal-hal yang berikut di bawah ini mungkin bisa kita jadikan renungan bersama:
– Peristiwa G30S adalah peristiwa terbesar – dan terparah – dalam sejarah Republik Indonesia, dibandingkan dengan serentetan peristiwa-peristiwa politik-militer yang pernah dialami oleh bangsa kita, umpamanya: DI-TII, peristiwa Madiun, pemberontakan Andi Aziz, pemberontakan Kahar Muzakkar, RMS, Angkatan Perang Ratu Adil, PRRI-Permesta dll.
– Korban jiwa sebanyak lebih dari satu juta (atau: dua juta? Tiga juta? Pen.) manusia tidak bersalah, merupakan tragedi nasional yang harus didjadikan pelajaran bagi generasi-generasi selanjutnya di kemudian hari. Demikian juga penderitaan puluhan juta orang keluarga para korban pembunuhan besar-besaran 1965/1966, dan keluarga para eks-tapol.
– Pemerintahan Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto selama lebih dari 30 tahun telah lahir sebagai kelanjutan peristiwa G30S. Oleh karena itu, berbicara tentang Orde Baru, tidak bisa tidak harus ingat kepada cikal bakalnya, yaitu G30S beserta akibat-akibatnya.
– Korban jiwa sebanyak lebih dari satu juta (atau: dua juta? Tiga juta? Pen.) manusia tidak bersalah, merupakan tragedi nasional yang harus didjadikan pelajaran bagi generasi-generasi selanjutnya di kemudian hari. Demikian juga penderitaan puluhan juta orang keluarga para korban pembunuhan besar-besaran 1965/1966, dan keluarga para eks-tapol.
– Pemerintahan Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto selama lebih dari 30 tahun telah lahir sebagai kelanjutan peristiwa G30S. Oleh karena itu, berbicara tentang Orde Baru, tidak bisa tidak harus ingat kepada cikal bakalnya, yaitu G30S beserta akibat-akibatnya.
Mengingat itu semua, maka jelaslah bahwa terbitnya buku pleidoi Kol. A. Latief “Soeharto terlibat G30S” merupakan peristiwa yang amat penting, ketika kita dewasa ini sedang berusaha bersama-sama melepaskan bangsa dan negara kita dari belenggu Orde Baru, dan ketika kita sedang berjuang untuk menghilangkan segala borok-borok yang telah membikin kerusakan-kerusakan begitu dahsyat dalam tubuh bangsa.
Dalam situasi ruwet seperti yang kita hadapi bersama dewasa ini, patutlah kiranya kita menyambut munculnya buku penting ini dengan mendengar himbauan atau pesan moral yang terkandung dalam isi buku ini, yaitu: menegakkan kebenaran dan menjunjung tinggi rasa keadilan. Sebab, seperti yang sama-sama kita rasakan selama ini, masalah G30S berikut peristiwa-peristiwa serius yang menyusulnya, masih terus-–sampai sekarang!-–menjadi faktor-faktor yang menimbulkan pertentangan dan rasa permusuhan di antara berbagai kalangan atau komponen bangsa. Faktor-faktor perpecahan dan permusuhan (yang sengaja dipupuk oleh rezim Orde Baru!) itulah yang harus bersama-sama kita hilangkan, guna tercapainya rekonsiliasi nasional yang kita butuhkan dewasa ini.
Sejarah Versi Orde Baru Perlu di Revisi!!
Dari segi-segi yang tersebut di atas, kiranya kita bisa melihat pentingnya pleidoi Kol. A. Latief yang telah diucapkannya dalam tahun 1978 (artinya, sudah 22 tahun yang lalu). Sebab, dalam pleidoinya itu, ia telah mengemukakan berbagai hal penting yang berkaitan dengan: peran Soeharto, watak rezim militer Orde Baru, pelanggaran Hak Asasi Manusia, penggulingan kedudukan Presiden Sukarno, peran PKI, peran para jenderal Angkatan Darat waktu itu.
Dari segi-segi yang tersebut di atas, kiranya kita bisa melihat pentingnya pleidoi Kol. A. Latief yang telah diucapkannya dalam tahun 1978 (artinya, sudah 22 tahun yang lalu). Sebab, dalam pleidoinya itu, ia telah mengemukakan berbagai hal penting yang berkaitan dengan: peran Soeharto, watak rezim militer Orde Baru, pelanggaran Hak Asasi Manusia, penggulingan kedudukan Presiden Sukarno, peran PKI, peran para jenderal Angkatan Darat waktu itu.
Tetapi, patutlah disadari bersama bahwa pleidoi itu tidak bisa memberikan penjelasan yang lengkap dan tepat mengenai semua soal yang berkaitan dengan G30S. Kol. A. Latief telah menyusun pleidoi itu dalam keadaan terkungkung dalam sel selama belasan tahun, dengan kesehatan yang amat buruk akibat dahsyatnya siksaan fisik dan moral, tanpa hubungan dengan luar (kecuali pembela-pembelanya), dan tidak mempunyai fasilitas yang leluasa untuk mendapatkan bahan-bahan atau dokumentasi secukupnya yang dibutuhkan. Namun, apa yang sudah dikemukakannya dalam pleidoi itu merupakan karya yang luar biasa. Apa yang dikemukakannya itu bisa merupakan titik permulaan untuk usaha kita bersama dalam meninjau kembali atau meneliti kembali, tentang kebenaran versi resmi Orde Baru tentang peristiwa G30S. Karena, apa yang telah dipasarkan kepada masyarakat, atau yang diajarkan dalam sekolah-sekolah selama lebih dari tiga puluh tahun, adalah sejarah yang sudah dikebiri, sejarah yang sudah divermak, sejarah yang bopeng-bopeng.
Sejarah versi Orde Baru tentang G30S perlu diteliti lagi, dan dikoreksi sesuai dengan kebenaran yang bisa ditemukan dengan penelitian yang serius, jujur, objektif dan independen sama sekali dari pertimbangn politik dan kepentingan ideologi yang manapun. Yang jelas, yalah bahwa sudah cukup banyak bukti dan fakta tentang sejarah Orde Baru yang perlu direvisi atau dikoreksi, karena sudah tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi sesungguhnya. Revisi atau koreksi sejarah Orde Baru-–-termasuk masalah sejarah G30S-–-mutlak untuk dilakukan dengan segera. Karena, kalau tidak dikoreksi, maka bisa TETAP TERUS menjadi racun atau penyakit ganas, yang merongrong kesehatan tubuh bangsa kita, terutama generasi muda kita sekarang, dan generasi yang akan datang.
TNI-AD Perlu Berani Mengoreksi Diri
Sebagai perwira TNI-AD, Kol. A. Latief telah banyak mengemukakan dalam pleidoinya berbagai soal yang berkaitan dengan masalah-masalah militer. Banyak kesalahan atau praktek-praktek yang buruk Angkatan Darat telah dibeberkannya, di samping ditonjolkannya peran positif dan tradisi baik Angkatan Darat selama revolusi dan ketika menghadapi pergolakan-pergolakan yang merongrong keselamatan Republik Indonesia.
Sebagai perwira TNI-AD, Kol. A. Latief telah banyak mengemukakan dalam pleidoinya berbagai soal yang berkaitan dengan masalah-masalah militer. Banyak kesalahan atau praktek-praktek yang buruk Angkatan Darat telah dibeberkannya, di samping ditonjolkannya peran positif dan tradisi baik Angkatan Darat selama revolusi dan ketika menghadapi pergolakan-pergolakan yang merongrong keselamatan Republik Indonesia.
Oleh karena itu, mengingat pernyataan permintaan maaf TNI-AD (yang diucapkan oleh KSAD Tyasno Sudarto) atas kesalahan-kesalahan dan dosa-dosanya kepada rakyat, maka patutlah kiranya dianjurkan kepada pimpinan TNI-AD untuk menyerukan kepada anggota-anggota militer (terutama AD), untuk mempelajari isi buku pleidoi Kol. A. Latief. Sebab, pleidoi yang bersejarah ini, penuh dengan pelajaran-–-juga peringatan!-–-tentang kesalahan dan dosa yang telah dilakukan oleh pimpinan AD (khususnya Soeharto dkk) terhadap panglima tertinggi/presiden, terhadap MPRS, terhadap DPR, terhadap demokrasi, terhadap Hak Asasi Manusia. Singkatnya, terhadap rakyat.
Lebih dari itu! Dalam rangka reformasi, transformasi, reposisi Angkatan Darat, sesuai dengan tuntutan perkembangan situasi nasional (dan internasional!) maka sudah waktunyalah bahwa TNI-AD membentuk komisi khusus untuk mempelajari, mengumpulkan, dan kemudian menyimpulkan tentang kesalahan-kesalahan TNI-AD selama ini, termasuk kesalahan-kesalahan dalam menghadapi peristiwa G30 beserta buntut-buntutnya yang menyusul. Kita sudah sama-sama melihat bahwa Orde Baru telah melakukan banyak kesalahan-kesalahan berat dan monumental di berbagai bidang, sehingga keadaan negara kita menjadi demikian kacau seperti sekarang ini. Dan, karena tulang-punggung, bahkan konseptor atau pembangun Orde Baru adalah Angkatan Darat, maka kesalahan dan dosa-dosa Orde Baru adalah pada intinya, atau pada hakekatnya, kesalahan TNI-AD.
Apakah dengan membentuk komisi khusus semacam itu, TNI-AD akan makin terpuruk namanya atau makin buruk citranya? Ataukah langkah semacam itu perbuatan yang hina? Ataukah juga memalukan diri? Justru sebaliknya. Kalau TNI-AD mengambil langkah-langkah serupa itu, pastilah akan mendapat penghormatan-–dan juga kehormatan-–dari pendapat umum, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Memeriksa kesalahan, dan kemudian mengakuinya, dan selanjutnya mengkoreksinya adalah justru satu-satunya jalan untuk memperbaiki citra TNI-AD dan untuk bisa meletakkannya pada tempat terhormat dalam hati Rakyat.
Bukalah Arsip Militer demi Penelitian
Dalam rangka usaha untuk merevisi versi resmi sejarah Orde Baru, nyatalah bahwa diperlukan adanya kemauan-baik dari berbagai fihak, dan terutama sekali dari pimpinan TNI. Sebab, patutlah diperkirakan bahwa berbagai instansi militer, baik di Pusat maupun di daerah masih menyimpan berbagai dokumen penting yang berkaitan dengan peristiwa G30S maupun yang dengan peristiwa-peristiwa kelanjutannya. Kalau TNI-AD memang betul-betul secara tulus dan jujur ingin memperbaiki kesalahan-kesalahannya, dan mau memberikan sumbangan kepada usaha untuk mencari kebenaran, maka perlulah adanya langkah-langkah (secara politik maupun administratif) supaya arsip militer (atau arsip sejarah militer) bisa dibuka secara leluasa demi pekerjaan penelitian. Pekerjaan penelitian ini sangat penting untuk melengkapi, memeriksa kembali, bahkan mengkoreksi isi pleidoi Kol. A. Latief.
Dalam rangka usaha untuk merevisi versi resmi sejarah Orde Baru, nyatalah bahwa diperlukan adanya kemauan-baik dari berbagai fihak, dan terutama sekali dari pimpinan TNI. Sebab, patutlah diperkirakan bahwa berbagai instansi militer, baik di Pusat maupun di daerah masih menyimpan berbagai dokumen penting yang berkaitan dengan peristiwa G30S maupun yang dengan peristiwa-peristiwa kelanjutannya. Kalau TNI-AD memang betul-betul secara tulus dan jujur ingin memperbaiki kesalahan-kesalahannya, dan mau memberikan sumbangan kepada usaha untuk mencari kebenaran, maka perlulah adanya langkah-langkah (secara politik maupun administratif) supaya arsip militer (atau arsip sejarah militer) bisa dibuka secara leluasa demi pekerjaan penelitian. Pekerjaan penelitian ini sangat penting untuk melengkapi, memeriksa kembali, bahkan mengkoreksi isi pleidoi Kol. A. Latief.
Mungkin ada di antara kita yang berpendapat bahwa gagasan yang semacam itu adalah utopis belaka kiranya. Apalagi kalau mengingat bahwa masih terlalu banyak mantan perwira tinggi (dan menengah)-–atau yang masih aktif-–yang mungkin akan keberatan adanya langkah semacam itu. Berbagai dalih bisa saja mereka kemukakan untuk menentang dibukanya arsip militer yang berkaitan dengan peristiwa G30S, umpamanya: dalih rahasia negara, dalih keamanan negara, dalih tidak adanya UU yang mengaturnya, dalih rahasia jabatan, atau segala macam dalih lainnya, baik yang masuk akal maupun yang tidak.
Buku yang Harus di Baca
Buku pleidoi Kol. A. Latief mengungkap satu hal yang luar biasa pentingnya, yaitu bahwa Soeharto terlibat dalam G30S, dan bahwa pimpinan Angkatan Daratlah yang melakukan kudeta terhadap Presiden Sukarno, yang waktu itu masih secara sah menjabat sebagai kepala negara (untuk lengkapnya, mohon baca sendiri, yang tercantum di berbagai halaman buku ini). Asumsi semacam ini sudah lama beredar dalam masyarakat, bahkan juga di luarnegeri. Jadi, bukan soal baru. Tetapi, dengan membaca buku pleidoi Kol. A. Latief, maka kita akan mendapat persepsi yang lebih mendalam dan lebih jelas tentang persoalan ini.
Buku pleidoi Kol. A. Latief mengungkap satu hal yang luar biasa pentingnya, yaitu bahwa Soeharto terlibat dalam G30S, dan bahwa pimpinan Angkatan Daratlah yang melakukan kudeta terhadap Presiden Sukarno, yang waktu itu masih secara sah menjabat sebagai kepala negara (untuk lengkapnya, mohon baca sendiri, yang tercantum di berbagai halaman buku ini). Asumsi semacam ini sudah lama beredar dalam masyarakat, bahkan juga di luarnegeri. Jadi, bukan soal baru. Tetapi, dengan membaca buku pleidoi Kol. A. Latief, maka kita akan mendapat persepsi yang lebih mendalam dan lebih jelas tentang persoalan ini.
Apakah Soeharto betul-betul terlibat dalam G30S? Justru masalah yang maha penting inilah yang harus diteliti secara serius lebih lanjut. Sebab, Soeharto sudah mengetahui tentang akan adanya aksi terhadap sejumlah jenderal-jenderal, tetapi mengapa tidak melaporkan atau tidak bertindak? Maka patutlah kiranya kita duga bahwa memang ada hal-hal yang masih belum terungkap selama ini. Pengkhianatan? Sikap licik? Perhitungan yang berdasarkan kepentingan pribadi? Banyaklah kiranya pertanyaan-pertanyaan lainnya yang bisa diajukan.
Namun, terlepas apakah Soeharto terlibat dalam G30S atau tidak, tetapi sudah jelaslah bahwa, bersama-sama dengan pimpinan Angkatan Darat lainnya waktu itu, ia telah mengobrak-abrik pemerintahan yang sah, dan kemudian melakukan sederetan panjang pelanggaran-pelanggaran (dan kejahatan!!!) terhadap kehidupan demokratis, terhadap hak asasi manusia, terhadap rakyat (soal ini tidak perlu direntang-panjangkan lagi, karena sudah cukup jelas berdasarkan pengalaman kita selama ini).
Bukan itu saja. Pleidoi yang diucapkan 1978 itu telah membongkar bahwa Soeharto dkk sudah melakukan insubordinasi (pembangkangan) terhadap panglima tertinggi, dan menyalahgunakan SP 11 Maret, yang akibatnya begitu luas selama pemerintahan Orde Baru. Jadi, kesalahannya amat besar, dan dosanya juga berat sekali.
Dengan sorotan dari segi-segi itu semualah maka munculnya buku pleidoi Kol. A. Latief ini perlu kita sambut dengan positif. Buku ini bisa memperkaya bahan studi dan bahan refleksi kita bersama untuk merenungkan dan memeriksa kembali masalah-masalah seputar G30S, yang selama tigawarsa menjadi landasan bagi TNI-AD untuk melakukan kerusakan-kerusakan besar terhadap Republik kita, dan yang dengan Orde Barunya telah membikin negara dan bangsa seperti yang kita saksikan dewasa ini.
Dengan semangat untuk bersama-sama menegakkan kebenaran dan mencari keadilan demi rekonsiliasi nasional, perlulah kiranya semua kekuatan pro-reformasi, pro-demokrasi dan pro-HAM-–bahkan juga kalangan militer-–dianjurkan untuk membaca buku pleidoi yang bersejarah ini. Sebab, dengan membaca buku ini, kita mendapat tambahan bahan untuk lebih yakin lagi bahwa Orde Baru, yang pernah disanjung-sanjung itu, memang sejak semula dibangun atas dasar-dasar yang batil dan haram.
02 Juni 2008
SANG PENGUASA
1. Negara Konstitusional
Mengenai seorang rakyat biasa yang menjadi penguasa bukannya dengan jalan kejahatan ataupun kekejaman, tetapi karena jasa baik sesama rakyat. Ini dapat disebut suatu kekuasaan konstitusional. Untuk mencapai kedudukan ini orang tak tergantung seluruhnya pada kedudukan tinggi ataupun pada nasib mujur, tetapi lebih tergantung pada kelihaian mengambil langkah yang didukung oleh nasib baik seseorang. Kedudukan ini dapat dicapai karena dukungan rakyat atau karena dukungan golongan bangsawan. Dua kelas dalam masyarakat yang berbeda ini selalu ada di setiap kota. Dan rakyat dimanapun juga mengharap dengan rasa cemas agar tidak diperintah atau ditindas oleh para bangsawan, sedangkan para bangsawan siap untuk memerintah dan menindas rakyat. Ambisi-ambisi yang saling berlawanan ini menghasilkan salah satu dari tiga kemungkinan: kerajaan, kota yang merdeka, atau anarki.
Mengenai seorang rakyat biasa yang menjadi penguasa bukannya dengan jalan kejahatan ataupun kekejaman, tetapi karena jasa baik sesama rakyat. Ini dapat disebut suatu kekuasaan konstitusional. Untuk mencapai kedudukan ini orang tak tergantung seluruhnya pada kedudukan tinggi ataupun pada nasib mujur, tetapi lebih tergantung pada kelihaian mengambil langkah yang didukung oleh nasib baik seseorang. Kedudukan ini dapat dicapai karena dukungan rakyat atau karena dukungan golongan bangsawan. Dua kelas dalam masyarakat yang berbeda ini selalu ada di setiap kota. Dan rakyat dimanapun juga mengharap dengan rasa cemas agar tidak diperintah atau ditindas oleh para bangsawan, sedangkan para bangsawan siap untuk memerintah dan menindas rakyat. Ambisi-ambisi yang saling berlawanan ini menghasilkan salah satu dari tiga kemungkinan: kerajaan, kota yang merdeka, atau anarki.
Suatu kerajaan diciptakan entah oleh rakyat atau oleh para bangsawan, tergantung pada siapa dari kedua pihak tersebut menggunakan peluang yang ada. Yang biasa terjadi ialah bahwa kalau para bangsawan mengetahui bahwa mereka tidak dapat melawan rakyat, mereka mulai bersatu dan mengangkat salah seorang dari antara mereka dan menjadikannya raja agar mereka dapat mencapai tujuan-tujuan mereka di bawah naungan wewenangnya. Rakyat, dengan cara yang sama, kalau tidak mampu melawan para bangsawan, mengangkat salah seorang dari antara mereka dan menjadikannya penguasa agar mereka dilindungi oleh kekuasaannya tersebut. Orang yang menjadi penguasa karena dukungan para bangsawan akan menghadapi kesulitan yang lebih besar daripada orang yang diangkat menjadi penguasa oleh dukungan rakyat, karena ia selalu dikelilingi oleh orang-orang yang sama derajatnya dan karenanya ia tak dapat memerintah atau mengatur menurut keinginannya. Orang yang menjadi penguasa karena dukungan rakyat berkuasa sendiri, dan tidak ada seorangpun atau sedikit sekali yang melawannya. Kecuali itu, tidak mungkin membuat para bangsawan merasa puas dengan tindakan yang jujur, tanpa merugikan kepentingan pihak lain. Tetapi hal ini dapat dilakukan sejauh menyangkut rakyat. Rakyat lebih jujur dalam cita-cita mereka daripada para bangsawan, karena para bangsawan ingin menindas rakyat, sedangkan rakyat menginginkan untuk menghindari penindasan. Perlu ditambahkan disini bahwa seorang penguasa tidak akan pernah menjamin keselamatannya sendiri berhadapan dengan rakyat yang bersikap bermusuhan; karena jumlah mereka besar sekali. Tetapi ia dapat bertahan melawan sikap permusuhan para bangsawan, karena jumlah mereka hanyalah sedikit. Hal yang paling buruk yang dapat dialami seorang penguasa dari rakyat yang memusuhinya ialah bahwa ia akan ditinggalkan saja oleh rakyat, sedangkan menghadapi bangsawan yang memusuhinya, ia terpaksa takut tidak hanya akan ditinggalkan begitu saja tetapi karena mereka secara aktif menentangnya. Dan karena mereka lebih jauh dalam hal pandangan dan kelicikan mereka, mereka selalu bisa dengan tepat mengambil tindakan untuk menyelamatkan diri dan melindungi kepentingan mereka, dan memihak orang yang mereka harapkan akan menang. Sekali lagi, seorang penguasa harus hidup bersama dengan rakyat, tetapi ia bisa hidup tanpa para bangsawan, karena itu ia selalu bisa setiap hari menciptakan atau menghapuskan para bangsawan, dengan meningkatkan atau mengurangi pengaruh mereka menurut sekehendak hatinya.
Ada dua pertimbangan yang harus diingat sehubungan dengan para bangsawan, yaitu mereka harus diperintah sedemikian rupa sehingga mereka sama sekali tergantung para kekuasaan Anda, atau independen terhadap Anda. Mereka yang menggantungkan dirinya sama sekali pada Anda, dan tidak tamak, haruslah dihormati dan dicintai; mereka yang tetap independen terhadap Anda, mengambil sikap demikian karena dua alasan. Karena kekerdilan jiwa mereka dan tidak mempunyai keberanian; terhadap mereka ini Anda harus bisa memanfaatkannya, khususnya mereka yang dapat memberikan nasehat yang sehat. Mereka akan menghormati Anda kalau Anda berhasil, dan Anda tidak perlu merasa takut terhadap mereka pada saat-saat negara dalam keadaan bahaya. Tetapi kalau mereka dalam sengaja dan berdasarkan ambisi mau tetap independen terhadap Anda, itu merupakan tanda bahwa mereka lebih mementingkan diri mereka sendiri daripada mementingkan Anda. Terhadap para bangsawan semacam ini, seorang penguasa harus menjaga diri, dan memandang mereka sebagai musuh yang terselubung, karena bila negara dalam keadaan bahaya mereka akan membantu musuh menghancurkan Anda.
Kalau seorang penguasa membangun kekuasaannya atas rakyat, ia dapat memimpin dan ia penuh keberanian, tidak mudah putus asa dalam menghadapi bahaya, tidak lalai bersikap waspada, dan dapat mengambil hati rakyat dengan menampilkan diri secara meyakinkan dan dengan peraturan-peraturan yang dibuatnya, ia tidak akan ditinggalkan rakyatnya, dan akan terbuka bahwa ia telah meletakkan dasar-dasar yang kuat bagi kekuasaannya.
Seorang raja yang bijaksana harus menemukan cara-cara bagaimana rakyatnya dalam keadaan apapun, selalu menggantungkan diri padanya, dan pada kekuasaannya. Dengan demikian barulah mereka akan selalu setia kepada rajanya. Sebagai kesimpulannya, bahwa penting bagi seorang penguasa memelihara persahabatan dengan rakyat; kalau tidak, ia tidak mempunyai teman yang dapat memberi bantuan pada waktu negara dalam keadaan bahaya.
2. Mengukur Kekuatan Negara
Kota-kota di Jerman menikmati kebebasan penuh, wilayah kekuasaannya terbatas, dan taat pada kaisar kalau mereka mau. Kota-kota tersebut tidak takut terhadap kaisar atau kekuatan-kekuatan negara tetangga, karena mereka telah diperkuat sedemikian rupa sehingga setiap orang tahu akan merupakan suatu perjuangan lama dan sulit untuk menaklukkannya. Kota-kota tersebut diperkuat dengan parit dan tembok kota, diperlengkapi dengan senjata-senjata artileri, persediaan umum minuman dan makanan, bahan bakar yang cukup untuk digunakan selama satu tahun yang disimpan di gudang umum. Lebih dari itu, untuk menjaga agar kelas rendah masyarakat merasa puas dengan tanpa menimbulkan kerugian bagi kesejahteraan umum, setiap kota di Jerman selalu mempunyai persediaan untuk waktu satu tahun, mempunyai sarana cukup untuk memberi rakyat pekerjaan selama satu tahun dalam usaha kegiatan yang merupakan tulang punggung kekuatan kota tersebut, dan di industri-industri tempat rakyat kecil mendapatkan pekerjaan. Latihan militer masih sangat dihargai, dan banyak peraturan diberlakukan untuk memelihara latihan-latihan militer tersebut.
Karena itu, seorang raja yang memiliki suatu kota yang kuat dan tidak dibenci rakyatnya, tidak dapat diserang. Mungkin ada yang tidak sependapat jika rakyat mempunyai harta di luar tembok kota dan menyaksikan hartanya di bakar, mereka tidak akan dapat menahan diri, dan berlangsungnya pengepungan yang lama dan kepentingannya sendiri akan membuat nekat dan lupa akan kewajibannya kepada raja. Jawaban atas keberatan ini ialah bahwa seorang raja yang kuat dan berani akan selalu dapat mengatasi kesulitan-kesulitan semacam itu, dengan memberi semangat kepada rakyat dan memberikan harapan bahwa kesulitan-kesulitan yang mereka derita tidak akan lama berlangsung, membangkitkan rasa takut terhadap kekejaman musuh, dan mengambil tindakan-tindakan yang efektif terhadap mereka yang terlalu lancang berani angkat suara. Lagi pula, pasti musuh akan membumi hangus daerah pedesaan kalau dia datang menyerbu, dan ia akan melakukan hal ini sewaktu rakyat raja tersebut masih berkobar dengan semangat besar mempertahankan negara. Karenanya raja tidak perlu lagi merasa khawatir, karena pada waktu rakyat menjadi tenang kembali, kerugian-kerugian telah mereka alami kehancuran sudah terjadi, dan tidak tertolong lagi, rakyat akan lebih lagi bersedia untuk bersatu dengan raja mereka, mereka menganggap bahwa ada suatu ikatan kuat antara mereka untuk saling membantu. Sudah menjadi kodrat manusia terikat baik oleh keuntungan yang mereka terima. Dengan memperhatikan hal ini semuanya, kiranya tidak sulit bagi raja yang bijaksana untuk mengobarkan semangat rakyat, baik pada awal maupun selama kota dikepung musuh, jika ia mempunyai persediaan dan sarana yang memadai untuk mempertahankan diri.
3. Kewajiban Raja Terhadap Angkatan Perang
Raja hendaknya tidak mempunyai sasaran ataupun kesibukan lain, kecuali mempelajari perang dan organisasi dan disiplinnya, karena itulah satu-satunya seni yang dibutuhkan seorang pemimpin. Kemampuan dalam hal ini begitu mulianya sehingga bakat ini tidak hanya dapat mempertahankan mereka yang lahir sebagai raja, tetapi juga kerap kali memungkinkan orang-orang biasa mencapai kedudukan tersebut. Melalaikan seni perang merupakan cara untuk menghancurkan negara, sedangkan terampil dalam seni perang merupakan cara untuk mempertahankan negara.
Mau tidak mau Anda akan menghadapi kesulitan jika Anda tidak memiliki senjata, antara lain, orang akan memandang rendah Anda. Hal ini merupakan salah satu keburukan yang harus dihindari raja. Memang tidak dapat dibandingkan orang yang bersenjata dan orang yang tidak bersenjata. Tidak masuk akal orang yang bersenjata harus taat pada orang yang tidak bersenjata, atau orang tanpa senjata akan tetap aman dan tenang kalau para budaknya diperlengkapi dengan senjata. Demikianlah raja yang tidak mengetahui tentang seni perang, ia mengundang banyak kesulitan lain, tidak akan dihormati oleh para serdadunya atau tak dapat mempercayai pasukannya sendiri.
Karena itu raja tidak boleh sekejap pun melepaskan perhatiannya pada latihan perang yang harus diusahakan dengan sungguh-sungguh dalam masa damai daripada menunggu masa perang. Latihan-latihan ini bisa berupa latihan fisik maupun mental.
4. Raja Harus Setia Memegang Janji
Setiap orang menyadari betapa terpuji kesetiaan dan sifat terbuka seorang pemimpin daripada sifat berbelit-belit dalam segala tindakannya. Namun pengalaman sekarang ini menunjukkan bahwa para raja yang telah berhasil melakukan hal-hal yang besar adalah mereka yang menganggap gampang atas janji-janji mereka, mereka yang tahu bagaimana memperdayakan orang dengan kelihaiannya, dan yang akhirnya menang terhadap mereka yang memegang teguh prinsip-prinsip kejujuran.
Hendak Anda tahu, bahwa ada dua cara berjuang: melalui hukum atau melalui kekerasan. Cara yang pertama merupakan cara yang wajar bagi manusia, dan yang kedua adalah cara bagi binatang. Tetapi karena cara pertama kerap kali terbukti tidak memadai, orang lalu menggunakan cara kedua. Dengan demikian seorang raja harus tahu bagaimana menggunakan dengan baik cara-cara binatang dan manusia. Para penulis kuno mengajarkan kepada para raja mengenai alegori ini, yaitu waktu menguraikan bagaimana Achilles dan banyak raja lainnya dari zaman kuno dikirim untuk dididik oleh Chiron (manusia berkepala binatang), supaya mereka dilatih dengan cara ini. Arti alegori ini ialah, dengan menjadikan guru itu setengah manusia dan setengah binatang. Seorang raja harus mengetahui bagaimana bertindak menurut sifat, baik manusia maupun binatang, dan ia tidak akan hidup tanpa keduanya.
Dengan demikian, karena seorang raja terpaksa mengetahui cara bertindak seperti binatang. Ia harus meniru rubah dan singa; karena singa tidak dapat membela diri sendiri terhadap perangkap, dan rubah tidak dapat membela diri terhadap serigala. Karena itu orang harus bersikap seperti rubah untuk mengetahui adanya perangkap, dan seperti singa untuk menakuti serigala. Mereka yang hanya ingin bersikap seperti singa adalah seorang bodoh. Sehingga, seorang penguasa yang bijaksana tidak harus memegang janji, kalau dengan demikian ia akan merugikan diri sendiri, dan kalau alasan yang mengikat sudah tidak ada lagi. Seandainya semua orang baik hati, anjuran ini pasti tidak baik. Tetapi karena manusia adalah makhluk yang jahanam yang tidak menepati janji, Anda tidak perlu menepati janji pula pada manusia lain. Dan seorang raja tidak akan pernah kehabisan alasan untuk memenuhi ketidak setiaannya, dengan menunjukkan betapa banyak perjanjian dan persetujuan yang dilakukan oleh para raja ternyata kosong dan tidak bernilai karena raja tidak memegang janji; mereka yang paling tahu meniru rubah adalah yang terbaik. Tetapi orang harus mengetahui bagaimana menutupi tindakan-tindakannya dan menjadi pembohong dan penipu yang ulung. Manusia bersifat sederhana, dan begitu banyak manusia disekitarnya sehingga penipu akan selalu menemukan seseorang yang siap untuk ditipunya.
Karen itu, seorang raja tidak perlu memiliki semua sifat baik, tetapi ia tentu saja harus bersikap seakan-akan memilikinya. Dapat disimpulkan jika ia memiliki sifat-sifat ini dan selalu bertingkah laku sesuai dengannya, ia akan mengalami bahwa sifat-sifat tersebut sangat merugikannya. Tetapi jika ia nampaknya saja memilikinya, sifat-sifat tersebut akan berguna baginya. Ia sebaiknya nampak penuh pengertian, setia akan janji, bersih, dan alim. Dan memang ia seharusnya demikian. Tetapi situasinya harus demikian, sehingga jika ia juga memerlukan sifat kebalikannya, ia mengetahui bagaimana menggunakannya. Anda harus menyadari hal ini: seorang raja, dan khususnya raja baru, tidak dapat menaati semua hal yang menyebabkan orang dipandang hidup baik, karena untuk mempertahankan negaranya ia kerap kali terpaksa bertindak berlawanan dengan kepercayaan orang, belas kasih, kebaikan, dan agama. Dan karena itu disposisinya harus luwes, berubah seirama dengan bimbingan keberuntungan dan keadaan. Sebagaimana diutarakan di atas, ia tidak boleh menyimpang dari yang baik, jika itu mungkin, tetapi ia harus mengetahui bagaimana bertindak jahat, jika perlu.
Oleh sebab itu, seorang raja haruslah sangat hati-hati untuk tidak mengatakan sepatah katapun yang tidak nampak terilhami oleh sifat yang disebutkan di atas. Bagi mereka yang menghadap dan mendengarkan dia, dia harus tampak bersikap penuh pengertian, seorang yang dapat dipercaya kata-katanya, seorang yang matang dewasa, seorang yang baik budi dan alim. Dan tidak ada hal yang lebih pentung untuk bersikap seakan-akan memiliki kedua sifat terakhir tersebut. Orang pada umumnya menilai sesuatu lebih berdasarkan apa yang mereka lihat daripada apa yang mereka rasakan. Karena orang dapat melihat, tidak banyak yang mampu berhubungan dekat dengan Anda. Setiap orang melihat Anda tampil, sedikit saja yang mengetahui siapa Anda sebetulnya. Rakyat biasa selalu terkesan oleh penampilan dan hasil. Dalam hubungan ini, hanya rakyat biasa, dan tidak ada tempat bagi mereka yang berjumlah sedikit karena yang banyak mendapat dukungan negara.
5. Menghindari Aib dan Kebencian
Seorang raja harus (seperti sudah dikemukakan) menghindari hal-hal yang akan membuatnya dibenci atau direndahkan; dan kalau ia berhasil dalam hal ini, ia sudah melakukan kewajibannya dengan baik, dan tidak akan mengalami bahaya, meskipun ia melakukan kejahatan-kejahatan lainnya. Ia terutama akan dibenci (selain disebutkan di atas) kalau bersikap rakus, dan menggagahi harta dan istri para bawahannya; ini harus dihindarinya. Ia akan dipandang rendah kalau ia mendapat julukan sebagai orang yang mudah berubah sikap, sembrono, lemah, pengeceut, dan tidak tegas; seorang raja harus menghindari hal seperti ini seperti suatu wabah dan berusaha untuk menunjukkan dalam bertindak: keagungan, keberanian, kewajaran, kekuatan. Kalau harus menyelesaikan pertikaian di antara bawahannya, harus diperhatikan bahwa keputusannya tidak dapat ditarik kembali. Dan ia harus dihormati sedemikian rupa sehingga tak ada orang yang pernah berpikir untuk mencoba menipu atau mempermainkannya.
Raja yang berhasil membuat dirinya dihormati sedemikian itu sangat dihargai; dan terhadap orang yang sangat dihormati sulit untuk mengadakan persengkongkolan, dan serangan secara terang-terangan sulit pula, asalkan ia diakui sebagai orang besar yang dihormati oleh para bawahannya. Ada hal yang harus ditakuti raja: subversi dari dalam diantara para bawahannya, dan serangan dari luar oleh kekuatan asing. Mengenai hal yang kedua ini, pertahanannya terletak dalam persenjataan yang lengkap dan mempunyai sekutu yang baik. Dan jika ia memiliki persenjataan lengkap, ia akan selalu memiliki sekutu yang baik. Tambahan pula, masalah-masalah dalam negeri akan selalu dapat dikendalikan asalkan hubungan dengan kekuatan luar juga terkendalikan dan selama hubungan tersebut belum dikeruhkan oleh suatu persengkongkolan. Kemudian, sejauh masalah menyangkut para bawahan, dan jika tidak ada kericuhan di luar negeri, kekuatan utama raja ialah suatu persengkongkolan rahasia. Ia akan dapat menjaga diri terhadap hal ini kalau ia berusaha untuk tidak dibenci atau dicemoohkan dan rakyat hidup tenang: hal ini sangat penting. Salah satu cara ampuh menanggulangi persengkongkolan ialah berusaha untuk dibenci rakyat. Karena, orang yang bersengkongkol selalu beranggapan bahwa dengan membunuh raja ia akan membuat hati rakyat puas. Tetapi ia beranggapan bahwa ia akan membuat rakyat marah, ia tidak akan pernah berani melaksanakan usaha tersebut, karena akan menghadapi rintangan yang tak terhingga banyaknya dalam usaha bersengkongkol tersebut. Pengalaman menunjukkan bahwa banyak persengkongkolan tetapi sedikit saja yang berhasil karena orang bersengkongkol tidak bisa bertindak sendirian dan mereka tidak dapat menemukan kawan kecuali dari antara orang-orang yang merasa tidak puas. Singkatnya, pihak pembangkang hanya ada rasa takut, iri, dan masa depan yang penuh kecemasan akan mendapat hukuman. Di pihak raja terdapat keagungan negara, ada hukum, dukungan dari sahabat dan negara untuk melindunginya. Dapat ditambahkan di sini adanya kecintaan rakyat, dan tak terpikirkan bahwa ada orang yang sedemikian gilanya untuk membangkang. Karena dalam keadaan biasa saja seorang pembangkang merasa takut untuk bertindak, apalagi dalam hal ini ia merasa takut pula melakukan niatnya, karena menyadari rakyat memusuhinya, dan tidak dapat mengharapkan rakyat akan melindunginya.
Di antara kerajaan yang berpemerintahan baik pada zaman kita ini, adalah kerajaan Prancis. Prancis memiliki lembaga-lembaga penting yang tak terbilang banyaknya, yang mendukung kebebasan raja untuk bertindak dan mendukung kekuasaannya. Salah satu dari lembaga tersebut adalah parlemen dan wewenang yang dimilikinya. Pendiri negara Prancis, karena mengetahui ambisi dan kekurangajaran para bangsawan, memandang perlu untuk mengekang mulut mereka. Di lain pihak, ia ingin memberikan jaminan kepada rakyat, karena mengetahui bagaimana rakyat merasa takut terhadap para bangsawan, sehingga juga membenci mereka. Ia tidak menginginkan bahwa hal ini menjadi tanggung jawab raja saja, karena ia ingin menyelamatkan raja dari kecaman para bangsawan lantaran ia memihak rakyat dan dari kecaman rakyat lantaran ia memihak para bangsawan. Karena itu ia mendirikan suatu badan yang independen untuk menundukkan para bangsawan dan memihak rakyat yang lemah, tanpa menimbulkan kecaman bagi raja. Tidak ada lembaga yang lebih baik atau lebih peka, atau yang lebih efektif dalam memberikan jaminan keamanan bagi raja dan kerajaannya.
Dari hal ini dapat ditarik suatu pertimbangan yang pantas kita perhatikan: bahwa raja harus menunjuk orang lain untuk melaksanakan tindakan-tindakan yang kurang menyenangkan rakyat dan melakukan sendiri pembagian penghargaan kepada rakyat. Sekali lagi, raja harus tetap menghargai para bangsawan, tetapi tidak membuat dirinya dibenci rakyat.
6. Seorang Raja Harus Bertindak untuk Tetap Disegani Rakyat
Sangat menguntungkan juga bagi raja untuk menjadikan dirinya contoh dalam pelaksanaan politik dalam negerinya, seperti contoh yang dikisahkan mengenai Messer Bernabo dari Milan. Kalau seseorang melakukan hal yang luar biasa dalam masyarakat, entah baik atau buruk, ia harus menemukan sarana untuk memberi penghargaan atau menghukum orang tersebut, sehingga menjadi buah bibir masyarakat. Lebih-lebih seorang raja harus berusaha agar dari setiap tindakannya, keagungan dan kemuliaan yang diperolehnya.
Lagi pula seorang raja dijunjung tinggi kalau ia merupakan sahabat sejati atau seorang musuh bebuyutan, yaitu kalau ia menyatakan dirinya secara terang-terangan memihak atau menentang seseorang. Kebijaksanaan ini selalu lebih berguna daripada bersikap tidak memihak. Sebab, Kalau dua penguasa negara tetangga saling bertentangan, situasinya menjadi sedemikian sehingga kalau salah satu menang, Anda harus merasa takut kepada yang menang atau tidak. Dalam kedua hal ini akan lebih baik bagi Paduka untuk menyatakan diri secara terbuka dan melancarkan perang; karena kalau ada pihak yang menang dan Paduka tidak menyatakan perang, Paduka akan menjadi mangsa penguasa yang menang, yang akan membuat pihak negara tetangga yang kalah gembira, dan Paduka tidak akan memiliki apapun untuk mempertahankan diri maupun tidak ada orang yang akan menerima Paduka lagi. Pihak manapun yang memang tidak akan ingin mempunyai sahabat yang dicurigai dan yang tidak memberi bantuan kepadanya pada waktu ia mendapat kesulitan, dan pihak yang kalah tidak akan menerima dia karena raja tidak berusaha membantu melawan untuk memenangkan persengketaan tersebut.
Sering terjadi bahwa pihak yang bukan sahabat Anda menginginkan Anda untuk tidak memihak, dan pihak yang menjadi sahabat Anda akan meminta Anda menyatakan sikap Anda dengan mengangkat senjata. Raja yang tidak dalam hal ini, untuk menghindari bahaya yang dihadapi, biasanya mengikuti cara tidak memihak dan kebanyakan hancur karenanya. Tetapi kalau raja menyatakan dirinya secara jujur memihak salah satu pihak, jika pihak yang diikuti itu menang, juga seandainya rekan Anda ini kuat dan Anda tetap akan berada di bawah pegaruh kebijaksanaannya, ia akan tetap merasa berutang terhadap Anda dan ia akan menghormati persahabatan yang ada. Di lain pihak, seandainya sekutu Anda kalah, ia akan memberikan perlindungan bagi Anda. Ia akan membantu Anda selagi mampu berbuat demikian, dan Anda menjadi sekutu dan dengan persekutuan itu nasib Anda barangkali akan menjadi lebih baik. Mengenai hal yang kedua, jika pihak-pihak yang bertentangan tidak membuat Anda merasa takut terhadap pihak yang menang, Anda semakin beralasan untuk memberikan dukungan terhadap salah satu pihak. Dengan cara ini Anda membantu menghancurkan salah satu pihak dengan bantuan pihak lain, yang tentu akan membantu dirinya sendiri kalau dia bijaksana. Jika Anda menang, sekutu Anda akan berada di bawah kekuasaan Anda, dan dengan bantuan Anda tidak mungkin sekutu Anda tidak akan menang.
Perlu dicatat disini, bahwa seorang raja jangan pernah masuk persekutuan yang agresif dengan seseorang yang lebih kuat daripada dirinya sendiri, kecuali kalau memang terpaksa, seperti uraian di atas. Karena jika Anda yang memang, Anda akan menjadi tawanan sekutu Anda. Dan raja harus berusaha sekuat tenaga menghindar untuk dikuasai oleh orang lain. Begitulah kenyataannya: kalau orang menghindari suatu bahaya, ia terjebak dalam bahaya lain. Sikap yang bijaksana ialah mampu melihat inti sebuah situasi ancaman khusus dan memperkecil bahaya yang ditimbulkannya.
Seorang raja harus menunjukkan penghargaan terhadap bakat, serta aktif mendorong orang-orang berbakat, dan memberi penghargaan kepada para seniman yang terkemuka. Dengan demikian ia mendorong rakyat, memungkinkan mereka melakukan tugas mereka dengan tenang, entah dalam perdagangan, pertanian, atau pekerjaan lainnya. Sebaliknya, raja harus memberi penghargaan kepada orang-orang yang mau melakukan dan mereka yang berusaha dengan berbagai cara untuk meningkatkan kemakmuran kota dan negara mereka. Di samping itu, pada waktu yang baik ia harus mengadakan pesta tontonan bagi rakyatnya, menemui mereka sekali waktu, dan memberi contoh akan kebaikan dan kemurahan hatinya. Namun ia harus menjaga martabat keluhurannya, karena hal ini sama sekali tidak boleh ternoadi.
Sumber:
Niccolo Machiavelli, 1987. Sang Penguasa (Surat Seorang Negarawan Kepada Pemimpin Republik), PT. Gramedia.
29 April 2008
Manusia dan Agama
April 2008, Indonesia (khususnya di Pulau Jawa) untuk kesekian kali diberitakan dengan adanya ajaran/aliran Ahmadiyah. Kembali pemerintah di uji ketegasannya untuk menyelesaikan. Ternyata pemerintah kurang sikap dan kurang tegas. Karena dengan berlarut-larutnya masalah ini membuat organisasi-organisasi Islam berbuat dan bertindak sendiri. Bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) selaku otoritas tertinggi agama Islam tidak dapat menghentikan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh oknum organisasi Islam tersebut.
Inilah yang terjadi saat ini di negara hukum, negara demokrasi, negara yang penduduknya mayoritas muslim, NEGARA INDONESIA.
Ahmadiyah
Adalah suatu aliran/agama yang meyakini dan mengakui bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah al-Masih. Ahmadiyah juga meyakini bahwa Nabi Muhammad s.a.w. bukan nabi terakhir, tetapi Allah akan terus mengutus nabi sesuai kebutuhan, dan Mirza Ghulam Ahmad adalah paling utamanya nabi. Selain itu kitab sucinya bukan Alqur’anul Karim, yang diturunkan nabi s.a.w. (Hariyanto Imadha, dalam Jawa Pos, hal. 4, 22 April 2008).
Perlu diralat kembali. Dalam wawancara yang dilakukan salah satu stasiun televisi swasta pada akhir April 2008. Pimpinan Ahmadiyah menyatakan bahwa Ahmadiyah masih meyakini Nabi Muhammad s.a.w. Rasul Allah.
***
Islam yang ada di Indonesia saat ini adalah agama mayoritas dan terbesar, yang seharusnya dapat mengayomi dan melindungi kaum minoritas. Bukan sebaliknya, melarang, membubarkan, bahkan memusuhinya.
Sebagai manusia seharusnya sadar dan mau berfikir, bahwa kita sesungguhnya tidak tahu dan bahkan tidak tahu apa yang dikatakan benar atau salah menurut Allah. Sebab manusia hidup di dunia ini hanyalah sebagai khalifah, bukan sebagai hakim yang menghukum sesamanya. Oleh karena itu, marilah kita membuka dan kembali mau belajar sejarah Islam (penyebarannya maupun perkembangannya).
Menurut pandangan saya, bahwa Islam menjadi besar karena ajarannya. Sebab Islam dalam pengajarannya menurut budaya sekitar (baik di Arab maupun di Indonesia sendiri). Hal itu dapat kita lihat dari segi hukumnya –– hukum Islam. Dimana, hukum Islam yang ada di Indonesia dengan yang ada di Arab sudah berbeda. Hal itu dipengaruhi oleh budaya yang telah disepakati.
Selain dilihat dari sisi hukum dan budayanya, dapat juga dilihat dari sisi sejarahnya. Sesuai dengan sifat estalogis Islam, Allah memberikan anugerah penciptaan menurut peran Allah sebagai hakim. Di dalam salah satu firman-Nya bahwa “sesungguhnya Kami telah mengemukakan Amanat kepada Langit, Bumi, dan Gunung-gunung, ……dan dipikullah amanat itu oleh manusia, sesungguhnya manusia itu amat zalim dan bodoh.”
Manusia adalah manusia (diri) yang satu, lalu Allah membangkitkan para nabi untuk membawa berita gembira dan peringatan. Dan, para nabi itu diberi kitab dengan membawa kebenaran agar dapat digunakan untuk memutuskan perkara-perkara yang diperselisihkan (Q.S. 2:213). Selain itu, tujuan penciptaan adalah untuk membimbing manusia dan untuk menguji iman dan tindakan mereka. Pandangan ini melengkapi tekanan kepada Allah sebagai hakim, karena Allah memberikan ciptaan kepada manusia untuk digunakan dan untuk menguji seberapa baik manusia menggunakannya.
Dalam ajarannya Syekh Siti Jenar tentang Makna Kematian yang ditulis oleh Achmad Chodjim (2004) berpendapat bahwa manusia tidak hidup di atas realita. Tetapi berdasarkan opini atau pendapat. Dimana, orang tua dalam mengajar dan mendidik anaknya berdasarkan pandangan yang ia terima dari orang-orang yang berpengaruh di lingkungannya. Dan biasanya orang tua mempercayakan pendidikan itu kepada orang lain, yaitu yang disebut guru (baik guru formal maupun non formal). Maka, dapat disimpulkan bahwa manusia diciptakan dan diturunkan ke bumi untuk mengenal Tuhannya, bukan untuk menghukum atau mengadili ciptaan-Nya. Begitu pula dalam hal beribadah.
Masih dalam ajaran Syekh Siti Jenar (Achmad Chodjim, 2004), bahwa agama diturunkan sebagai wahana agar manusia berada di jalan yang benar. Di dunia ini tidak ada orang yang menerima otoritas dari Tuhan untuk memaksakan suatu agama. Bahkan Nabi Muhammad hanya diperintah oleh Tuhan untuk memberikan pelajaran, dan tidak untuk menguasai (Q.S. al-Ghasyiyah, 88:21-22). Manusia hanya diberi wahyu agar bisa memberi pelajaran atau petunjuk kepada orang lain. Orang yang telah menerima wahyu dari Tuhan (apapun jenisnya) akan membuat hidupnya menjadi santun, dan berusaha mengarahkan orang lain ke kehidupan yang benar. Bila seseorang yang mendapatkan hikmat dari Tuhan, sesungguhnya telah menerima ‘khair’, kebajikan, kekayaan, kesejahteraan, keuntungan, caritas. Dan mereka yang menerima hikmat itu adalah para ‘ulil albab’, orang-orang yang akalnya telah dipimpin oleh Tuhan (Q.S. al-Baqarah, 2:269). Jika orang yang telah memperoleh hikmat, ia tidak akan berlaku zalim, karena Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang berlaku zalim (Q.S. 2:258, 5:51, 6:144, 46:10, 61:7, dan 62:5).
Dari pengertian-pengertian di atas, dapat digambarkan bahwa manusia dalam hal beribadah tidak berhak atau memaksakan sesuatu yang sudah diyakini. Manusia hanya diberi petunjuk untuk membenarkan apa yang sudah dituliskan dalam kitab (apapun kitabnya). Bukan untuk menghukum dan mengadili. Karena manusia mempunyai keterbatasan dan tidak mempunyai otoritas yang mutlak.
Oleh karena itu, sebagai bangsa Indonesia yang demokrasi dan berlandaskan pada Ideologi Pancasila seharusnya memahami setiap butir-butir Pancasila. Karena Indonesia berdiri bukan atas agama, suku dan ras. Tetapi menurut budaya dan hasil kesepakatan bersama. Indonesia menghormati setiap hak manusia dan cara beribadah menurut agama dan kepercayaannya masing-masing.
Agama bukan lagi menjadi jalan damai bagi yang melaluinya. Ia hanya sebagai dogma. Dogma yang dipaksakan pelaksanaannya dalam kehidupan. Hal yang demikian ini lahir dari budi pekerti yang tak dipimpin Tuhan, kata Syekh Siti Jenar.
Inilah yang terjadi saat ini di negara hukum, negara demokrasi, negara yang penduduknya mayoritas muslim, NEGARA INDONESIA.
Ahmadiyah
Adalah suatu aliran/agama yang meyakini dan mengakui bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah al-Masih. Ahmadiyah juga meyakini bahwa Nabi Muhammad s.a.w. bukan nabi terakhir, tetapi Allah akan terus mengutus nabi sesuai kebutuhan, dan Mirza Ghulam Ahmad adalah paling utamanya nabi. Selain itu kitab sucinya bukan Alqur’anul Karim, yang diturunkan nabi s.a.w. (Hariyanto Imadha, dalam Jawa Pos, hal. 4, 22 April 2008).
Perlu diralat kembali. Dalam wawancara yang dilakukan salah satu stasiun televisi swasta pada akhir April 2008. Pimpinan Ahmadiyah menyatakan bahwa Ahmadiyah masih meyakini Nabi Muhammad s.a.w. Rasul Allah.
***
Islam yang ada di Indonesia saat ini adalah agama mayoritas dan terbesar, yang seharusnya dapat mengayomi dan melindungi kaum minoritas. Bukan sebaliknya, melarang, membubarkan, bahkan memusuhinya.
Sebagai manusia seharusnya sadar dan mau berfikir, bahwa kita sesungguhnya tidak tahu dan bahkan tidak tahu apa yang dikatakan benar atau salah menurut Allah. Sebab manusia hidup di dunia ini hanyalah sebagai khalifah, bukan sebagai hakim yang menghukum sesamanya. Oleh karena itu, marilah kita membuka dan kembali mau belajar sejarah Islam (penyebarannya maupun perkembangannya).
Menurut pandangan saya, bahwa Islam menjadi besar karena ajarannya. Sebab Islam dalam pengajarannya menurut budaya sekitar (baik di Arab maupun di Indonesia sendiri). Hal itu dapat kita lihat dari segi hukumnya –– hukum Islam. Dimana, hukum Islam yang ada di Indonesia dengan yang ada di Arab sudah berbeda. Hal itu dipengaruhi oleh budaya yang telah disepakati.
Selain dilihat dari sisi hukum dan budayanya, dapat juga dilihat dari sisi sejarahnya. Sesuai dengan sifat estalogis Islam, Allah memberikan anugerah penciptaan menurut peran Allah sebagai hakim. Di dalam salah satu firman-Nya bahwa “sesungguhnya Kami telah mengemukakan Amanat kepada Langit, Bumi, dan Gunung-gunung, ……dan dipikullah amanat itu oleh manusia, sesungguhnya manusia itu amat zalim dan bodoh.”
Manusia adalah manusia (diri) yang satu, lalu Allah membangkitkan para nabi untuk membawa berita gembira dan peringatan. Dan, para nabi itu diberi kitab dengan membawa kebenaran agar dapat digunakan untuk memutuskan perkara-perkara yang diperselisihkan (Q.S. 2:213). Selain itu, tujuan penciptaan adalah untuk membimbing manusia dan untuk menguji iman dan tindakan mereka. Pandangan ini melengkapi tekanan kepada Allah sebagai hakim, karena Allah memberikan ciptaan kepada manusia untuk digunakan dan untuk menguji seberapa baik manusia menggunakannya.
Dalam ajarannya Syekh Siti Jenar tentang Makna Kematian yang ditulis oleh Achmad Chodjim (2004) berpendapat bahwa manusia tidak hidup di atas realita. Tetapi berdasarkan opini atau pendapat. Dimana, orang tua dalam mengajar dan mendidik anaknya berdasarkan pandangan yang ia terima dari orang-orang yang berpengaruh di lingkungannya. Dan biasanya orang tua mempercayakan pendidikan itu kepada orang lain, yaitu yang disebut guru (baik guru formal maupun non formal). Maka, dapat disimpulkan bahwa manusia diciptakan dan diturunkan ke bumi untuk mengenal Tuhannya, bukan untuk menghukum atau mengadili ciptaan-Nya. Begitu pula dalam hal beribadah.
Masih dalam ajaran Syekh Siti Jenar (Achmad Chodjim, 2004), bahwa agama diturunkan sebagai wahana agar manusia berada di jalan yang benar. Di dunia ini tidak ada orang yang menerima otoritas dari Tuhan untuk memaksakan suatu agama. Bahkan Nabi Muhammad hanya diperintah oleh Tuhan untuk memberikan pelajaran, dan tidak untuk menguasai (Q.S. al-Ghasyiyah, 88:21-22). Manusia hanya diberi wahyu agar bisa memberi pelajaran atau petunjuk kepada orang lain. Orang yang telah menerima wahyu dari Tuhan (apapun jenisnya) akan membuat hidupnya menjadi santun, dan berusaha mengarahkan orang lain ke kehidupan yang benar. Bila seseorang yang mendapatkan hikmat dari Tuhan, sesungguhnya telah menerima ‘khair’, kebajikan, kekayaan, kesejahteraan, keuntungan, caritas. Dan mereka yang menerima hikmat itu adalah para ‘ulil albab’, orang-orang yang akalnya telah dipimpin oleh Tuhan (Q.S. al-Baqarah, 2:269). Jika orang yang telah memperoleh hikmat, ia tidak akan berlaku zalim, karena Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang berlaku zalim (Q.S. 2:258, 5:51, 6:144, 46:10, 61:7, dan 62:5).
Dari pengertian-pengertian di atas, dapat digambarkan bahwa manusia dalam hal beribadah tidak berhak atau memaksakan sesuatu yang sudah diyakini. Manusia hanya diberi petunjuk untuk membenarkan apa yang sudah dituliskan dalam kitab (apapun kitabnya). Bukan untuk menghukum dan mengadili. Karena manusia mempunyai keterbatasan dan tidak mempunyai otoritas yang mutlak.
Oleh karena itu, sebagai bangsa Indonesia yang demokrasi dan berlandaskan pada Ideologi Pancasila seharusnya memahami setiap butir-butir Pancasila. Karena Indonesia berdiri bukan atas agama, suku dan ras. Tetapi menurut budaya dan hasil kesepakatan bersama. Indonesia menghormati setiap hak manusia dan cara beribadah menurut agama dan kepercayaannya masing-masing.
Agama bukan lagi menjadi jalan damai bagi yang melaluinya. Ia hanya sebagai dogma. Dogma yang dipaksakan pelaksanaannya dalam kehidupan. Hal yang demikian ini lahir dari budi pekerti yang tak dipimpin Tuhan, kata Syekh Siti Jenar.
Langganan:
Postingan (Atom)