Kearifan lokal kita lebih menghormati hak individu dalam
bersenggama dan lebih halus pengungkapannya. Pembicaraan (konsultasi) seks
dilakukan pada pihak tertentu saja: suami-istri, dokter, konselor rumah tangga.
Tidak diumbar kemana-mana, apalagi dipublikasi secara luas lewat buku dan media
massa.
Sebagai komunitas intelektual, KUK sebenarnya mampu
menyerap sumber inspirasi dari kebudayaan lokal, seks sekalipun. Tetapi, lewat
karya-karya Ayu Utami, TUK malah menyajikan seks ala Barat yang liberal dalam
upaya menarik simpati pemodal besar kaum imperalis. Seperti halnya Dante lewat
karyanya, La Divina Comedia, yang terinspirasi Isra Mi’raj Nabi Muhammad
(berisi penghinaan), kaum imperialis telah menggunakan sastra dan film sebagai
propaganda ideologi mereka. Beragam politik kesenian pun mereka jalankan, seperti
disinyalir dalam tulisan Viddy A Daery (Gerakan Sastra Anti Neo-Liberalisme)
bahwa KUK mendirikan sanggar-sanggar sastra di berbagai daerah, sebagai bagian
dari “gerakan politik sastra” untuk liberalisasi. Dalam kaitan ini KUK juga
berupaya merebut kursi-kursi strategis di bidang sastra, seperti menguasai
Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).
Sesosok Wowok Hesti Prabowo dan Maman S. Mahayana dengan meledek menyatakan bahwa DKJ sekarang telah menjadi cabang KUK. Selain itu ada kabar, bahwa DKJ membantu
dana besar untuk pelaksanaan program rutin KUK, yakni Utan Kayu
International Literary Biennale 2008, dengan mengorbankan program Komite
Sastra DKJ sendiri. Sementara, acara besar seperti Pekan Presiden Penyair (PPP)
yang pernah diselenggarakan oleh Yayasan Panggung Melayu (YPM) di TIM, sama
sekali tidak mendapat bantuan DKJ. Menurut ketua YPM Asrizal Nur, panitia PPP
bahkan cenderung dipersulit untuk menyewa tempat di TIM. Ketua Masyarakat
Sastra Jakarta, Slamet Rahardjo Rais, juga sempat mengeluhkan program Komite
Sastra DKJ yang tidak menyentuh komunitas sastra di Jakarta yang seharusnya
menjadi sasaran program DKJ. Kenyataannya, Komite Sastra DKJ periode ini memang
hanya mengadakan acara rutin kecil-kecilan, yakni Lampion Sastra, yang
sesungguhnya cukup dilaksanakan oleh sanggar sastra atau lembaga mahasiswa–—alias
‘bukan level’ DKJ.
Saya rasa pendirian komunitas cabang KUK atau TUK di
daerah-daerah juga adalah skenario lain untuk merekrut penganut-penganut baru
yang akan patuh pada kehendak sang imperialis dalam mendikte kebutuhan sastra
ke depan. Dan, penguasaan posisi stategis dalam lembaga kesenian, disinyalir
adalah upaya untuk memperkuat finansial organisasi terkait dengan berkurangnya
pasokan dana dari luar (subsidi silang), dengan bukti kasus bantuan dana DKJ
untuk biennale KUK di atas. Melalui novel dan esei-eseinya di X-Magazine,
aktifis KUK Ayu Utami pun mengumbar tubuhnya sendiri ke khalayak ramai tanpa
rasa malu. Ini adalah keprihatinan terdalam bagi kaum perempuan! Eksploitasi
tubuh atas nama eksplorasi estetis telah dijadikan tameng dalam memunculkan
sastra gaya rambut belah tengah–—sebuah feminisme sastra liberal yang
menyesatkan! Terkadang rasa penasaran menghinggapi tatkala melihat
sepak terjang para perempuan yang tak segan-segan memperagakan gerakan seks
mereka sendiri lewat kata. Jadi, apa perbedaan fiksi-fiksi seksual mereka
dengan layanan seks premium call 0809? Apakah mereka merasa lebih
berderajat karena berada di jalur sastra?
Memang, fiksi seksual tidak hanya ditulis oleh
orang-orang KUK, tapi juga penulis di luar KUK, seperti Dinar Rahayu, Djenar
Maesa Ayu, Hudan Hidayat dan Mariana Amirudin, serta Henny Purnamasari. Namun,
karya-karya mereka muncul setelah novel Saman karya Ayu Utami mendapat
sambutan banyak kalangan dan laris di pasaran.
Keteguhan seorang Jane Austen menggali peristiwa lokal
sebagai sumber inspirasinya patut digugu dan ditiru, kekonsistennya mewartakan
lewat sastra perihal kehidupan perempuan di masanya yang menjadi korban
pergerakan industri. Walaupun banyak dicemooh kalangan kritikus sastra karena
tidak peka dengan sejarah besar ‘revolusi industri’, siapa sangka
karya-karyanya abadi, dan bahkan banyak menjadi bahan telaah. Seperti yang
diakui oleh Edward W Said, dalam Mansfield Park Jane, tidak buta-buta
amat akan kondisi sosial politik yang kental kritik terhadap imperialisme. Proses kekaryaan Jane mengajarkan pada kita bahwa
keabadian karya bukan dilihat dari isu hangat apa yang akan melambungkan
popularitas, yang sifatnya sementara. Melainkan keteguhan hati dalam mewartakan
apa yang menjadi tuntutan rakyat pada masanya.
Substansi dari peran kaum intelektual adalah membongkar
hegemoni! Hampir semua cendekiawan tempo dulu adalah hasil dari didikan
penjajah, tetapi mereka berhasil menempatkan diri agar tidak terjerat menjadi
‘intelektual bayaran’ yang bisa disetir oleh penjajah. Tapi, ternyata kondisi
ideal itu tak berlaku lagi di saat sekarang, semua serba pragmatis dan
pesimistis. Kesusateraan Indonesia digadaikan hanya karena keinginan sebuah
komunitas untuk menjadi jaya, untuk menjadi yang terbesar.
Legitimasi semu sastra yang ditawarkan pihak pendukung
hegemoni atau sentralisasi sastra hanyalah permen yang bisa menghancurkan gigi
kesusasteraan Indonesia. Sudah cukup sastra kita didikte oleh satu komunitas
atau lembaga kesenian dalam menentukan kebutuhan pasar sastra Indonesia ke
depan. Adalah kebodohan jika kita tahu kondisi (permasalahan) lingkungan kita
tapi kita sendiri tidak bergerak!
Karena itu, sudah saatnya para sastrawan Indonesia
menabuh genderang perang untuk melawan sastra imperialis-liberalis dalam segala
bentuknya. Hentikan praktek prostitusi kebudayaan yang akan menelan nasionalisme
dan moral kita! Saatnya bergerak dengan apa yang kita bisa!
Sumber tulisan:
Mahdiduri (Penyair dan Ketua KSI Banten).
luput dari pengawasanku beh...bner ...
BalasHapushahahahahaha....
BalasHapuskemana aja gan, kok smpai luput dari pengawasan... :D
salam sehat selalu
BalasHapustova