Tiga saudara Kartini, Kardinah dan Roekmini. Foto: KITLV Museum Belanda |
Daerah ini, mula-mula dikenal oleh sejarah pada abad ke-8 Masehi. Di sinilah berdiri kerajaan Kalingga, yang diperintah oleh Ratu Shima. Sedang Ratu ini sendiri sangat terkenal karena kerasnya memegang keadilan dan kebenaran. Menurut sumber-sumber Tionghoa, salah seorang puteranya, karena tersenggol sebuah benda berharga di tengah jalan, yang tidak jelas siapa yang punya, harus menjalani hukuman potong anggota badan yang tersenggol.
Pada mulanya orang menduga, bahwa Kalingga terletak di dataran Dieng. Dengan ditemukannya benda-benda perhiasan kerajaan, termasuk di dalamnya cincin-cincin cap kerajaan Ratu Shima di desa Drojo, kabupaten Jepara, dugaan, bahwa Kalingga terletak di dataran tinggi Dieng kini mulai dialihkan ke Jepara. Memang belum ada laporan ilmiah resmi yang memberikan ketegasan. Benar tidaknya Kalingga terletak di Jepara, namun penemuan-penemuan tersebut, yang tejadi pada tahun 1960, lebih berhak―sementara ini―menyebut Jepara sebagai tempat bekas kerajaan tersebut.
Pada permulaan abad ke-16, waktu armada van Heemskerck singgah di pelabuhan Jepara, Pangeran Demak memerintahkan menculik beberapa orang awak kapal. Tujuh orang telah digelandang dari kapal dibawa ke istana Demak. Oleh pangeran Demak ternyata orang-orang itu tidak dibunuh atau dipergunakan sebagai sandera, sebaliknya: sebagai tenaga ahli dalam berbagai bidang yang mereka bisa.
Kemasyuran Jepara terutama sekali disebabkan oleh kepahlawanan Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor, yang pada tahun 1511 menguasai tempat ini, dan setahun kemudian, dari pelabuhan ini juga berangkat dengan armadanya dari 100 kapal berisikan 12.000 prajurit berusaha mengusir Portugis dari semenanjung Malaka. Dalam peperangan ini―Pati Unus dari laut, dan Portugis dari darat―Pati Unus menderita kekalahan, tetapi ini tidaklah mengurangi kebesarannya dan kepahlawanannya, karena yang dilawannya tiada lain daripada “bangsa yang paling berani di atas dunia ini”. Kapal benderanya, yang dilapis dengan 7 tulisan kapur, sekembalinya dari penyerangan dipamerkan di pantai sebagai kemegahan.
Pada tahun 1550 dan 1570 dari pelabuhan Jepara ini pula Ratu Kalinyamat mencoba mengulangi usaha Pati Unus mengusir Portugis dari semenanjung Malaka, dengan kerjasama Aceh. Tapi usaha ini pun dapat digagalkan oleh musuhnya. Namun kekalahan itu pun tidak mengurangi kemasyuran Jepara. Dari sini pula pernah diberangkatkan armada ke pulau Hitu di bawah Laksamana Martajuta (1565), untuk memberikan bantuan kelengkapan perang dan prajurit pada penduduk Hitu dalam perjuangannya mengusir Portugis. Laksamana Martajuta tewas dalam pertempuran laut, tapi penduduk Hitu mengabadikan persahabatan ini dengan menamakan sebuah tempat di pulaunya: Kota Jawa.
Ratu Kalinyamat, “Wanita Gagah” sebagaimana diakui dalam kronik-kronik Portugis, dimakamkan di daerah ini, Mantingan, dengan makam terhias dengan hasil seni Islam.
Pelabuhan Jepara dengan latar belakang Gunung Muria (1650 M) Foto: commons.wikimedia.org |
Waktu Coen menggantikan Reaal menjadi Gubernur Jendral, dikirimkannya ke Jepara Adriaan Martensz Block membawa 4 buah kapal untuk melakukan pembalasan. Pada tanggal 8 November 1618, 160 orang pasukannya mendarat di pelabuhan Jepara, merebut perbentengan kayu yang dipersiapkan oleh pemerintah daerah Jepara, merampok beberapa buah jung Jepara dan Demak dan 80 pikul beras. Dalam pada itu rumah-rumah bambu penduduk di bakar, dan menduduki Jepara dengan pasukan-pasukannya. Tetapi penduduk Jepara yang patriotik tidak tinggal diam. Mereka lakukan perlawanan dengan penyerangan kecil-kecil yang terus-menerus.
Pada tahun 1651 untuk keperluan perbekalannya Belanda mendirikan loji dengan perbentengan. Akibatnya Mataram mengambil tindakan terhadap Belanda, pelabuhan Jepara ditutup sama sekali. Belanda terjerat batang lehernya.
Dalam pemberontakan Trunojoyo, yang menyebabkan goncangnya kestabilan politik dan militer Belanda, ke tempat inilah pula Cornelis Speelman yang dijuluki penakluk Makasar, pergi. Dari sini pula ia kirimkan dua orang utusan kepada pihak-pihak Pribumi yang sedang berkelahi itu buat menandatangani perjanjian perdamaian, tentu untuk kepentingan Belanda. Tetapi bukan saja Trunojoyo menolak datang ke Jepara, ia malah menolak gagasan berdamai dengan Mataram, yang waktu itu disokong Belandan! Maka dari Jepara ini pula Cornelis Speelman memberangkatkan armadanya ke Surabaya buat “menghukum Trunojoyo”. Tetapi Trunojoyo telah meninggalkan Surabaya, dengan balatentaranya telah merambat ke Barat, menjungkalkan Mataram. Speelman merasa dipermainkan dan buru-buru kembali ke Jepara. Dan sejak waktu inilah Jepara menghadapi masa suramnya. Sementara itu Raja Mataram telah meninggal. Putra Mahkota, yang menyandarkan diri pada pertolongan Belanda pergi ke Jepara untuk menandatangani perjanjian dengan Speelman. Dalam perjanjian itu termaktub ketentuan, bahwa Raja harus bayar kembali biaya yang dikeluarkan oleh Kompeni buat memusnahkan Trunojoyo. Raja bersedia mencicil hutang itu selama 5 tahun, dan sebagai jaminan: Kota Semarang dan seluruh penghasilannya diserahkan kepada Belanda. Sejak penandatanganan perjanjian itu (1677) kesibukan Jepara seakan-akan terhenti, karena pusat perdagangan telah dipindahkan oleh Belanda ke Semarang. Tetapi Belanda tetap mengukuhi perbentengannya di Jepara untuk memblokade Laut Jawa, agar perdagangan Pribumi sama sekali lumpuh dan jatuh ke tangan Belanda. Pada tahun 1676 dan 1677 perbentengan di Jepara ini diperkuat, dengan alasan untuk bertahan terhadap Trunojoyo. Akhirnya Trunojoyo dikalahkan. Semarang dikukuhi Belanda.
Dalam perang Surapati, kembali perbentengan ini lebih diperkuat. Yang tinggal di Jepara kini hanyalah kekuasaan militer Belanda.
Usaha Sunan Mas untuk merampas kembali Semarang dari tangan Belanda, mendapat bantuan dari golongan Tionghoa yang beroperasi di Semarang. Pejuang-pejuang yang tertangkap itu dibawa ke Jepara, dan di sini pula mereka digantung. Rupa-rupanya Jepara belum habis dengan goncangan-goncangan sejarah. Pada tahun 1719, dalam rangkaian perang suksesi, Arya Mataram menyerah kepada Belanda bersama dengan pasukannya. Di Jepara ia dengan enam orang putranya serta dua orang menantunya dicekik mati. Dengan demikian sejarah Jepara yang gilang-gemilang kian lama kian surut dan pudar. Dalam peperangan Tionghoa dan Madura (1741-1745) yang memberontak melawan Susuhunan, Belanda membantu Susuhunan. Untuk bantuan ini Jepara dengan hutan jatinya jatuh seluruhnya ke dalam kekuasaan penjajah sebagai bayaran perang. Kerajinan tangan serta kesenian rakyat yang tadinya masyhur ke seluruh Nusantara menjadi surut, hampir-hampir padam, bahkan beberapa diantara cabang-cabangnya telah mati sama sekali. Yang tinggal di Jepara hanya makam Srikandi Ratu Kalinyamat dan dinding-dinding benteng Kompeni di bukit Jepara, atau yang oleh penduduk lebih dikenal sebagai benteng Portugis.
Sebagai peninggalan masa silam di tempat ini terdapat segolongan kecil orang Melayu, yang tadinya pedagang, kira-kira 100 keluarga Koja, mungkin juga keturunan bekas gubernur Jepara Koja Ulanballa. Terkecuali itu, tinggal pula di sini beberapa ribu orang Tionghoa. Semua golongan itu tidak lain daripada warisan-warisan masa silam sewaktu Jepara tidak berhenti sampai di sini.
____________________
[1] R.A. Kartini: Van een Vergeten Uithoekje.
Sumber tulisan: Pramoedya Ananta Toer, 2009. Panggil Aku Kartini Saja. Jakarta: Lentera Dipantara.
tulisan ini sangat baik dari sisi sejarah.
BalasHapusterimakasih dan salam sehat selalu,
https://marketing.ruangguru.com/bimbel
tulisannya mengenai kartini sangat bagus dan bermanfaat
BalasHapus