Amir Sjarifuddin (Foto: http://arahkiri2009.blogspot.com) |
Amir Sjarifuddin lahir 27 April 1907 di Medan. Ayahnya Djamin gelar Baginda Soripada (1885-1949), seorang jaksa di Medan. Ibunya Basunu Siregar (1890-1931) dari keluarga Batak yang telah membaur dengan masyarakat Melayu-Islam di Deli. Ayahnya keturunan keluarga kepala adat dari Pasar Matanggor di Padang Lawas Tapanuli. Berkat koneksi, Soripada dapat diangkat menjadi asisten hoofddjaksa di Medan. Namun karena memukul seorang tahanan dipenjara Sibolga, ia dipecat dari jabatannya pada bulan April 1925 dan akhirnya dijatuhi hukuman penjara tiga setengah tahun, ditambah lima tahun tidak boleh bekerja sebagai pegawai negeri. Hukuman itu kemudian diperingan, dan terakhir dia menjadi seorang jurutulis pemerintah daerah di Tarutung.
Sedangkan ibunya adalah seorang ibu rumah tangga, yang meninggal secara tragis dengan menggantung diri di dapur rumahnya dengan alasan yang tidak diketahui. Amir sendiri adalah pribadi berbeda dari Sukarno, Hatta, dan Sjahrir. Amir tidak banyak menulis. Hanya beberapa karangan pendek pernah ditulisnya di sana-sini, tidak meninggalkan autobiografi, kumpulan pidato atau pun catatan-catatan.
Amir menikmati pendidikan di ELS atau sekolah dasar Belanda di Medan pada tahun 1914 hingga selesai Agustus 1921. Atas undangan saudara sepupunya, Mulia, yang baru saja diangkat sebagai anggota Volksraad dan belajar di kota Leiden sejak 1911, Amir datang di Leiden. Tak lama setelah kedatangannya dalam kurun waktu 1926-1927 dia menjadi anggota pengurus perhimpunan siswa Gymnasium di Haarlem. Ia tinggal di rumah guru pemeluk Kristen Calvijn, Dirk Smink, dan di sini juga Mulia menumpang. Namun pada September 1927, sesudah lulus ujian tingkat kedua, Amir kembali ke kampung halaman karena masalah keluarga, walaupun teman-teman dekatnya mendesak agar menyelesaikan pendidikannya di Leiden. Kemudian Amir masuk Sekolah Hukum di Batavia, menumpang di rumah Mulia (sepupunya) yang telah menjabat sebagai direktur sekolah pendidikan guru di Jatinegara. Kemudian Amir pindah ke asrama pelajar Indonesisch Clubgebouw, Kramat 106, ia ditampung oleh senior satu sekolahnya, Mr. Muhammad Yamin.
Amir Sjarifuddin - Soekarno - Jendral Soedirman (Foto: pusakaindonesia.org) |
Banyak kesan muncul tentang pribadi Amir dari kawan-kawannya, juga musuhnya. Soedjatmoko mendeskripsikan pribadi Amir sepanjang pengetahuannya tentang Amir sebagai ”orang yang tinggi pengetahuannya, dengan kehangatan dan pesona pribadi yang luar biasa”. Orang-orang yang pernah mengunjungi Amir di rumahnya yang sederhana di Menteng Pulo, teringat pada sambutannya yang langsung dan lugas. Kawan-kawan sekolahnya dari Gymnasium, Haarlem, juga mengenangnya sebagai seorang yang sangat senang bergaul. Membaca Hatta dan Sjahrir orang akan diberi kesan yang sama sekali berbeda. Seorang ambisius yang mentah, tidak berwatak, tidak berkeyakinan, yang gampang berganti pikiran seperti berganti baju. Seorang yang berangasan dan sewenang-wenang.
Amir, sebagaimana pemuda seangkatan lainnya, disadarkan tentang arti kata "revolusi" dan janji-janjinya. Pertama melalui apa yang dipelajari dari guru Belanda mereka tentang Revolusi Prancis, ketika masih belajar di sekolah menengah dan sekolah tinggi hukum. Memang, ia lebih banyak berkiblat kepada Revolusi Prancis, dan bukan revolusi-revolusi Amerika atau Rusia.
Bagi Amir "Prinsip Harapan" (meminjam kata-kata Ernst Bloch) untuk Indonesia pertama-tama memperoleh bentuknya pada manifestasi tiga slogan: "satu nusa, satu bangsa, satu bahasa". Rangkaian konsep ini didasarkan pada gagasan akademis Belanda tentang Taal-, Land- en Volkerakunde sebagai keseluruhan, dan diambil oleh para mahasiswa yang menamakan diri bangsa Indonesia di tahun 1928—yang menurutnya seperti Yacobin, sebuah kelompok yang berperan dalam revolusi Prancis. Tetapi "Prinsip Harapan" itu juga berfungsi lain. Sebagai sarana memasuki Indonesia yang baru dirumuskan, yang sepertinya sudah ada, bisa dimengerti dan diterima oleh semua. Prinsip ini juga membentuk suatu labirin yang kabur dan goyah walaupun telah diberi contoh-contoh untuk meneranginya.
Amir Sjarifuddin bersama Soekarno merayakan 1 Mei 1945 di Alon-alon Yogyakarta (Foto: http://guruhdwiriyanto.blogspot.com) |
Masa hidup Amir Sjarifuddin terentang sepanjang paruh pertama abad ke-20. Usia itu habis diserap oleh penemuan, keyakinan, dan kegagalan akan harapan-harapan besar dari jamannya. Itu terungkap dalam kata-kata "kemerdekaan nasional", "kedaulatan rakyat", dan "sosialisme".
Sepanjang 1928-1948, Amir telah mengabdi pada kebenaran-kebenaran politik yang diyakininya. Dan untuk itu ia pun harus menempuh masa perjuangan yang penuh pergulatan, kekerasan, pengkhianatan, persatuan, serta keberpihakan. Namun dalam percaturan masa ini Amir merupakan salah satu pilar penyangga dengan pemikiran-pemikirannya yang cerdas dan lugas, serta berani dalam bertindak mengisi ruang kepemimpinan yang kosong—karena kegagalan gerakan radikal sebelumnya. Moderasi melanda hampir seluruh oposisi, sehingga dirinya mampu menerobos sebagai bagian dari empat serangkai Indonesia setelah Revolusi Nasional ‘45 dikobarkan yaitu Soekarno, Hatta, Syahrir, dan terakhir dia sendiri.
Sumber tulisan: Indomarxis.Net
terimakasih.
BalasHapusartikelnya bermanfaat..
salam,
https://marketing.ruangguru.com/bimbel
wah keren nih postingannya. Terimakasih!
BalasHapus