Laman

13 Juni 2008

KETERLIBATAN SOEHARTO DALAM G-30S

Barangkali, dari berbagai buku-buku penting yang akhir-akhir ini diterbitkan di Indonesia, buku dengan judul “Pleidoi Kol. A. Latief: Soeharto terlibat G30S” adalah salah satu di antaranya yang patut–-bahkan, sangat perlu!!!–-mendapat perhatian kita semua. Sebab, terbitnya buku ini bukan saja merupakan sumbangan bagi kita semua untuk bisa lebih mengenal berbagai hal tentang peristiwa besar yang terjadi dalam tahun 1965 itu, melainkan juga tentang peran yang dipegang oleh Suharto di dalamnya, tentang komplotan untuk menggulingkan Presiden Sukarno, tentang pelanggaran besar-besaran Hak Asasi Manusia, tentang lahirnya rezim militer Orde Baru, yang selama ini masih belum sepenuhnya terungkap secara jelas.

Di samping itu, buku ini juga merupakan bantuan bagi kita semua untuk mendapatkan bahan-bahan atau informasi yang berbeda dari versi resmi yang selama lebih dari tiga dasawarsa telah disajikan (atau lebih tepat: disodorkan? dipaksakan?) oleh para penguasa Orde Baru, dan juga segi-seginya yang sengaja disembunyikan oleh mereka. Karena peristiwa G3OS merupakan peristiwa besar, maka segala usaha dari FIHAK MANAPUN untuk mencari kebenaran tentang peristiwa itu sendiri, serta sebab-sebab dan latarbelakangnya-–dan juga akibat-akibat selanjutnya-–adalah sangat berguna bagi sejarah bangsa kita.

Diterbitkannya buku ini merupakan panggilan bagi kita semua untuk berani mengadakan berbagai langkah, secara bersama-sama, untuk memeriksa kembali segala persoalan yang berkaitan dengan G30S, demi keadilan, demi kebenaran, demi kejujuran. Sebab, Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto telah menjadikan peristiwa ini sebagai dalih untuk melegitimasi berdirinya diktatur militer (berselubung), yang selama lebih dari 32 tahun telah merusak sendi-sendi Republik Indonesia. Atas dasar peristiwa G30S itulah telah dibangun rezim militer, yang telah membikin berbagai dosa kepada rakyat, antara lain: membungkam kehidupan demokrasi selama puluhan tahun, membunuh jutaan manusia tak bersalah, menyengsarakan puluhan juta orang keluarga para korban pembunuhan 65/66 dan ex-tapol, memporak-porandakan nilai-nilai moral, menyebarkan budaya korupsi, menyuburkan perpecahan antara berbagai komponen bangsa, dan seribu satu kerusakan dan kebobrokan lainnya, yang akibatnya kita saksikan secara nyata sampai sekarang ini.

Sejarah yang Sebenarnya
Sebenarnya, di berbagai kalangan, baik di Indonesia maupun di luar negeri, pleidoi Kol. A. Latief sudah pernah beredar dalam berbagai bentuk. Sekitar tahun 1979-1980, satu bundel tebal pleidoi ini pernah diselundupkan ke Eropa lewat seorang. Melalui jaluran yang tidak perlu disebutkan dalam tulisan ini, pleidoi yang ketikannya jelek dan kabur (karena sudah difotokopi berkali-kali), telah ditik kembali di satu kota di Eropa dengan mesin-tik listrik sehingga lay-outnya menjadi lebih bagus dan enak dibaca. Setelah dicetak dengan offset beberapa ratus eksemplar, bundel pleidoi ini beredar di berbagai negeri Eropa, dengan judul “Sejarah yang sebenarnya”. Kemudian, dari berbagai sumber didapat kabar, bahwa sekitar tahun 1980 itu juga, bundel pleidoi ini juga sudah sampai di tangan berbagai pakar luar negeri. Jadi, sejak tahun 1980, pleidoi ini sudah dikenal oleh berbagai kalangan di luarnegeri–-walaupun terbatas sekali–-baik orang-orang Indonesia maupun asing, dan telah dipakai sebagai bahan analisa tentang soal-soal yang berkaitan dengan peristiwa G30S dan berdirinya rezim militer Orde Baru.

Sepanjang yang kita ketahui selama ini, di Indonesia sendiri pleidoi Kol. A. Latief ini tidak dikenal secara luas dalam masyarakat, kecuali di kalangan-kalangan tertentu (sejarawan, aktivis Hak Asasi Manusia, sejumlah LSM, oposan Orde Baru dll). Sebab-sebabnya sudah jelaslah kiranya. Di bawah kekuasaan Orde Baru, memiliki fotokopi pleidoi Kol. A. Latief, adalah risiko besar, yang bisa membahayakan keselamatan seseorang. Sebab, isinya penuh dengan hal-hal yang tidak menguntungkan Soeharto dan para jenderal pendukung setianya, atau, singkatnya, para penguasa rezim Orde Baru.

Hanya sekarang inilah, ketika Soeharto bersama rezimnya sudah ambruk berkat perjuangan para mahasiswa dengan dukungan massa luas, maka buku pleidoi ini bisa diterbitkan dan beredar dalam masyarakat. Yaitu, lebih dari 20 tahun kemudian setelah pleidoi itu diucapkan. Suatu peristiwa yang jarang terjadi dalam sejarah dunia modern.

Bagian dari Khasanah Sejarah Kita
Munculnya buku pleidoi Kol. A. Latief, yang diterbitkan oleh ISAI dan redaksinya dipersiapkan oleh ISAI-Hasta Mitra, adalah langkah penting dalam usaha bersama kita untuk menegakkan kebenaran dan menemukan keadilan seputar peristiwa G30S beserta buntut-buntutnya yang menyusul kemudian. Patutlah kiranya dikatakan bahwa buku ini merupakan salah satu bagian yang sangat berharga dalam khasanah sejarah modern Indonesia. Mengapa demikian? Hal-hal yang berikut di bawah ini mungkin bisa kita jadikan renungan bersama:

– Peristiwa G30S adalah peristiwa terbesar – dan terparah – dalam sejarah Republik Indonesia, dibandingkan dengan serentetan peristiwa-peristiwa politik-militer yang pernah dialami oleh bangsa kita, umpamanya: DI-TII, peristiwa Madiun, pemberontakan Andi Aziz, pemberontakan Kahar Muzakkar, RMS, Angkatan Perang Ratu Adil, PRRI-Permesta dll.
– Korban jiwa sebanyak lebih dari satu juta (atau: dua juta? Tiga juta? Pen.) manusia tidak
bersalah, merupakan tragedi nasional yang harus didjadikan pelajaran bagi generasi-generasi selanjutnya di kemudian hari. Demikian juga penderitaan puluhan juta orang keluarga para korban pembunuhan besar-besaran 1965/1966, dan keluarga para eks-tapol.
– Pemerintahan Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto selama lebih dari 30 tahun telah lahir
sebagai kelanjutan peristiwa G30S. Oleh karena itu, berbicara tentang Orde Baru, tidak bisa tidak harus ingat kepada cikal bakalnya, yaitu G30S beserta akibat-akibatnya.

Mengingat itu semua, maka jelaslah bahwa terbitnya buku pleidoi Kol. A. Latief “Soeharto terlibat G30S” merupakan peristiwa yang amat penting, ketika kita dewasa ini sedang berusaha bersama-sama melepaskan bangsa dan negara kita dari belenggu Orde Baru, dan ketika kita sedang berjuang untuk menghilangkan segala borok-borok yang telah membikin kerusakan-kerusakan begitu dahsyat dalam tubuh bangsa.

Dalam situasi ruwet seperti yang kita hadapi bersama dewasa ini, patutlah kiranya kita menyambut munculnya buku penting ini dengan mendengar himbauan atau pesan moral yang terkandung dalam isi buku ini, yaitu: menegakkan kebenaran dan menjunjung tinggi rasa keadilan. Sebab, seperti yang sama-sama kita rasakan selama ini, masalah G30S berikut peristiwa-peristiwa serius yang menyusulnya, masih terus-–sampai sekarang!-–menjadi faktor-faktor yang menimbulkan pertentangan dan rasa permusuhan di antara berbagai kalangan atau komponen bangsa. Faktor-faktor perpecahan dan permusuhan (yang sengaja dipupuk oleh rezim Orde Baru!) itulah yang harus bersama-sama kita hilangkan, guna tercapainya rekonsiliasi nasional yang kita butuhkan dewasa ini.

Sejarah Versi Orde Baru Perlu di Revisi!!
Dari segi-segi yang tersebut di atas, kiranya kita bisa melihat pentingnya pleidoi Kol. A. Latief yang telah diucapkannya dalam tahun 1978 (artinya, sudah 22 tahun yang lalu). Sebab, dalam pleidoinya itu, ia telah mengemukakan berbagai hal penting yang berkaitan dengan: peran Soeharto, watak rezim militer Orde Baru, pelanggaran Hak Asasi Manusia, penggulingan kedudukan Presiden Sukarno, peran PKI, peran para jenderal Angkatan Darat waktu itu.

Tetapi, patutlah disadari bersama bahwa pleidoi itu tidak bisa memberikan penjelasan yang lengkap dan tepat mengenai semua soal yang berkaitan dengan G30S. Kol. A. Latief telah menyusun pleidoi itu dalam keadaan terkungkung dalam sel selama belasan tahun, dengan kesehatan yang amat buruk akibat dahsyatnya siksaan fisik dan moral, tanpa hubungan dengan luar (kecuali pembela-pembelanya), dan tidak mempunyai fasilitas yang leluasa untuk mendapatkan bahan-bahan atau dokumentasi secukupnya yang dibutuhkan. Namun, apa yang sudah dikemukakannya dalam pleidoi itu merupakan karya yang luar biasa. Apa yang dikemukakannya itu bisa merupakan titik permulaan untuk usaha kita bersama dalam meninjau kembali atau meneliti kembali, tentang kebenaran versi resmi Orde Baru tentang peristiwa G30S. Karena, apa yang telah dipasarkan kepada masyarakat, atau yang diajarkan dalam sekolah-sekolah selama lebih dari tiga puluh tahun, adalah sejarah yang sudah dikebiri, sejarah yang sudah divermak, sejarah yang bopeng-bopeng.

Sejarah versi Orde Baru tentang G30S perlu diteliti lagi, dan dikoreksi sesuai dengan kebenaran yang bisa ditemukan dengan penelitian yang serius, jujur, objektif dan independen sama sekali dari pertimbangn politik dan kepentingan ideologi yang manapun. Yang jelas, yalah bahwa sudah cukup banyak bukti dan fakta tentang sejarah Orde Baru yang perlu direvisi atau dikoreksi, karena sudah tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi sesungguhnya. Revisi atau koreksi sejarah Orde Baru-–-termasuk masalah sejarah G30S-–-mutlak untuk dilakukan dengan segera. Karena, kalau tidak dikoreksi, maka bisa TETAP TERUS menjadi racun atau penyakit ganas, yang merongrong kesehatan tubuh bangsa kita, terutama generasi muda kita sekarang, dan generasi yang akan datang.

TNI-AD Perlu Berani Mengoreksi Diri
Sebagai perwira TNI-AD, Kol. A. Latief telah banyak mengemukakan dalam pleidoinya berbagai soal yang berkaitan dengan masalah-masalah militer. Banyak kesalahan atau praktek-praktek yang buruk Angkatan Darat telah dibeberkannya, di samping ditonjolkannya peran positif dan tradisi baik Angkatan Darat selama revolusi dan ketika menghadapi pergolakan-pergolakan yang merongrong keselamatan Republik Indonesia.

Oleh karena itu, mengingat pernyataan permintaan maaf TNI-AD (yang diucapkan oleh KSAD Tyasno Sudarto) atas kesalahan-kesalahan dan dosa-dosanya kepada rakyat, maka patutlah kiranya dianjurkan kepada pimpinan TNI-AD untuk menyerukan kepada anggota-anggota militer (terutama AD), untuk mempelajari isi buku pleidoi Kol. A. Latief. Sebab, pleidoi yang bersejarah ini, penuh dengan pelajaran-–-juga peringatan!-–-tentang kesalahan dan dosa yang telah dilakukan oleh pimpinan AD (khususnya Soeharto dkk) terhadap panglima tertinggi/presiden, terhadap MPRS, terhadap DPR, terhadap demokrasi, terhadap Hak Asasi Manusia. Singkatnya, terhadap rakyat.

Lebih dari itu! Dalam rangka reformasi, transformasi, reposisi Angkatan Darat, sesuai dengan tuntutan perkembangan situasi nasional (dan internasional!) maka sudah waktunyalah bahwa TNI-AD membentuk komisi khusus untuk mempelajari, mengumpulkan, dan kemudian menyimpulkan tentang kesalahan-kesalahan TNI-AD selama ini, termasuk kesalahan-kesalahan dalam menghadapi peristiwa G30 beserta buntut-buntutnya yang menyusul. Kita sudah sama-sama melihat bahwa Orde Baru telah melakukan banyak kesalahan-kesalahan berat dan monumental di berbagai bidang, sehingga keadaan negara kita menjadi demikian kacau seperti sekarang ini. Dan, karena tulang-punggung, bahkan konseptor atau pembangun Orde Baru adalah Angkatan Darat, maka kesalahan dan dosa-dosa Orde Baru adalah pada intinya, atau pada hakekatnya, kesalahan TNI-AD.

Apakah dengan membentuk komisi khusus semacam itu, TNI-AD akan makin terpuruk namanya atau makin buruk citranya? Ataukah langkah semacam itu perbuatan yang hina? Ataukah juga memalukan diri? Justru sebaliknya. Kalau TNI-AD mengambil langkah-langkah serupa itu, pastilah akan mendapat penghormatan-–dan juga kehormatan-–dari pendapat umum, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Memeriksa kesalahan, dan kemudian mengakuinya, dan selanjutnya mengkoreksinya adalah justru satu-satunya jalan untuk memperbaiki citra TNI-AD dan untuk bisa meletakkannya pada tempat terhormat dalam hati Rakyat.

Bukalah Arsip Militer demi Penelitian
Dalam rangka usaha untuk merevisi versi resmi sejarah Orde Baru, nyatalah bahwa diperlukan adanya kemauan-baik dari berbagai fihak, dan terutama sekali dari pimpinan TNI. Sebab, patutlah diperkirakan bahwa berbagai instansi militer, baik di Pusat maupun di daerah masih menyimpan berbagai dokumen penting yang berkaitan dengan peristiwa G30S maupun yang dengan peristiwa-peristiwa kelanjutannya. Kalau TNI-AD memang betul-betul secara tulus dan jujur ingin memperbaiki kesalahan-kesalahannya, dan mau memberikan sumbangan kepada usaha untuk mencari kebenaran, maka perlulah adanya langkah-langkah (secara politik maupun administratif) supaya arsip militer (atau arsip sejarah militer) bisa dibuka secara leluasa demi pekerjaan penelitian. Pekerjaan penelitian ini sangat penting untuk melengkapi, memeriksa kembali, bahkan mengkoreksi isi pleidoi Kol. A. Latief.

Mungkin ada di antara kita yang berpendapat bahwa gagasan yang semacam itu adalah utopis belaka kiranya. Apalagi kalau mengingat bahwa masih terlalu banyak mantan perwira tinggi (dan menengah)-–atau yang masih aktif-–yang mungkin akan keberatan adanya langkah semacam itu. Berbagai dalih bisa saja mereka kemukakan untuk menentang dibukanya arsip militer yang berkaitan dengan peristiwa G30S, umpamanya: dalih rahasia negara, dalih keamanan negara, dalih tidak adanya UU yang mengaturnya, dalih rahasia jabatan, atau segala macam dalih lainnya, baik yang masuk akal maupun yang tidak.

Buku yang Harus di Baca
Buku pleidoi Kol. A. Latief mengungkap satu hal yang luar biasa pentingnya, yaitu bahwa Soeharto terlibat dalam G30S, dan bahwa pimpinan Angkatan Daratlah yang melakukan kudeta terhadap Presiden Sukarno, yang waktu itu masih secara sah menjabat sebagai kepala negara (untuk lengkapnya, mohon baca sendiri, yang tercantum di berbagai halaman buku ini). Asumsi semacam ini sudah lama beredar dalam masyarakat, bahkan juga di luarnegeri. Jadi, bukan soal baru. Tetapi, dengan membaca buku pleidoi Kol. A. Latief, maka kita akan mendapat persepsi yang lebih mendalam dan lebih jelas tentang persoalan ini.

Apakah Soeharto betul-betul terlibat dalam G30S? Justru masalah yang maha penting inilah yang harus diteliti secara serius lebih lanjut. Sebab, Soeharto sudah mengetahui tentang akan adanya aksi terhadap sejumlah jenderal-jenderal, tetapi mengapa tidak melaporkan atau tidak bertindak? Maka patutlah kiranya kita duga bahwa memang ada hal-hal yang masih belum terungkap selama ini. Pengkhianatan? Sikap licik? Perhitungan yang berdasarkan kepentingan pribadi? Banyaklah kiranya pertanyaan-pertanyaan lainnya yang bisa diajukan.

Namun, terlepas apakah Soeharto terlibat dalam G30S atau tidak, tetapi sudah jelaslah bahwa, bersama-sama dengan pimpinan Angkatan Darat lainnya waktu itu, ia telah mengobrak-abrik pemerintahan yang sah, dan kemudian melakukan sederetan panjang pelanggaran-pelanggaran (dan kejahatan!!!) terhadap kehidupan demokratis, terhadap hak asasi manusia, terhadap rakyat (soal ini tidak perlu direntang-panjangkan lagi, karena sudah cukup jelas berdasarkan pengalaman kita selama ini).

Bukan itu saja. Pleidoi yang diucapkan 1978 itu telah membongkar bahwa Soeharto dkk sudah melakukan insubordinasi (pembangkangan) terhadap panglima tertinggi, dan menyalahgunakan SP 11 Maret, yang akibatnya begitu luas selama pemerintahan Orde Baru. Jadi, kesalahannya amat besar, dan dosanya juga berat sekali.

Dengan sorotan dari segi-segi itu semualah maka munculnya buku pleidoi Kol. A. Latief ini perlu kita sambut dengan positif. Buku ini bisa memperkaya bahan studi dan bahan refleksi kita bersama untuk merenungkan dan memeriksa kembali masalah-masalah seputar G30S, yang selama tigawarsa menjadi landasan bagi TNI-AD untuk melakukan kerusakan-kerusakan besar terhadap Republik kita, dan yang dengan Orde Barunya telah membikin negara dan bangsa seperti yang kita saksikan dewasa ini.

Dengan semangat untuk bersama-sama menegakkan kebenaran dan mencari keadilan demi rekonsiliasi nasional, perlulah kiranya semua kekuatan pro-reformasi, pro-demokrasi dan pro-HAM-–bahkan juga kalangan militer-–dianjurkan untuk membaca buku pleidoi yang bersejarah ini. Sebab, dengan membaca buku ini, kita mendapat tambahan bahan untuk lebih yakin lagi bahwa Orde Baru, yang pernah disanjung-sanjung itu, memang sejak semula dibangun atas dasar-dasar yang batil dan haram.

1 komentar: