Laman

30 September 2010

Beberapa Pandangan tentang G 30 S/PKI

Oleh Asvi Warman Adam

Setelah era reformasi 1998, masyarakat Indonesia mengenal beberapa versi tentang dalang percobaan kudeta pada 1965. Pada masa Orde Baru, di sekolah hanya dikenal dan diajarkan versi tunggal bahwa PKI dalang peristiwa tersebut. Ini merupakan versi yang paling tua karena pembantu Soeharto seperti Yoga Sugama sejak 1 Oktober sudah menduga PKI di balik kudeta tersebut. Keyakinan itu sudah ada lebih dahulu walaupun upaya pembuktian baru dilakukan belakangan melalui Mahkamah Militer Luar Biasa.

Versi berikutnya disampaikan Ben Anderson dan Ruth McVey bahwa intrik tersebut merupakan persoalan intern Angkatan Darat. Formula ini dikenal sebagai Cornel Paper. Ben Anderson kemudian melangkah lebih jauh. Dalam tulisannya kemudian, dia menguraikan keterlibatan Kodam Diponegoro atau ini merupakan masalah intern Komando Daerah Militer Jawa Tengah. Dikatakan, perwira dari daerah itu yang paling banyak terlibat dalam Gerakan 30 September (Untung, Latief) juga sebaliknya yang melakukan penumpasan selanjutnya (Yoga Sugama, Ali Murtopo). Dalam wawancara sangat panjang dengan Sersan Mayor Bungkus (salah satu pelaku penculikan jenderal pahlawan revolusi) yang dimuat pada jurnal Indonesia terbitan Universitas Cornell, Anderson menjelaskan tentang jaringan orang-orang asal Madura yang bergerak di lapangan.

Versi ketiga, keterlibatan CIA semakin kuat dengan dibukanya arsip-arsip Departemen Luar Negeri AS setiap tahun. Disebutkan bahwa pihak AS menyumbang Rp 50 juta kepada KAP (Komite Aksi Pengganyangan) Gestapu. Terdapat keterangan rinci tentang bantuan alat-alat telekomunikasi, tetapi 13 baris kalimat dihapus (not declassified). Apakah itu semacam walky-talky, kenapa harganya sampai 3 juta dolar AS? Daftar nama pengurus PKI di seluruh Indonesia yang diberikan AS kepada AD. Telegram Kedubes AS di Jakarta kepada Department of State, 4 November 1965 berbunyi "In Central Java army (RPKAD) is training Moslem youth and supplying them with weapons and will keep them out in front against PKI. Army will try to avoid as much as it can safely do so direct confrontation with PKI."

AS yang ketika itu menghadapi Perang Vietnam tidak ingin Indonesia jatuh ke tangan komunis. Menurut David T. Johnson (1976), terdapat enam skenario yang dapat dijalankan Amerika Serikat menghadapi situasi yang memanas di Indonesia: 1) Membiarkan saja, 2) Membujuk Soekarno mengubah kebijakan, 3) Menyingkirkan Soekarno, 4) Mendorong Angkatan Darat mengambil alih kekuasaan, 5) Merusak kekuatan PKI, 6) Merekayasa kehancuran PKI dan sekaligus kejatuhan Soekarno. Ternyata skenario terakhir yang dianggap paling menguntungkan dan tepat untuk dilaksanakan.

Keterlibatan Presiden Soekarno merupakan tesis dari Antonie Dake dan John Hughes. Dake mengulang lagu lama dengan menerbitkan Sukarno File tahun 2005 dalam bahasa Indonesia dan dengan didukung sebuah penerbit Indonesia. Ini dapat dianggap sebagai versi keempat.

Versi berikutnya tentang keterlibatan Soeharto dapat dilihat pada analisis tentang "kudeta merangkak" yang disampaikan oleh Wertheim dan Saskia Wieringa. Analisis yang bersifat post factum menyebutkan bahwa kudeta terdiri atas dua, tiga, empat periode, dan seterusnya.

Subandrio melihat kudeta merangkak itu terdiri atas empat tahap. Tahap pertama, penyingkiran para jenderal pesaing Soeharto pada 1 Oktober 1965. Tahap kedua, memperoleh Supersemar yang kemudian dijadikan dasar pembubaran PKI yang merupakan partai--dengan klaim 3 juta anggota--yang mendukung Bung Karno pada 12 Maret 1966. Tahap ketiga, penangkapan 15 orang menteri yang loyal terhadap Bung Karno pada 18 Maret 1966. Tahap keempat, mengambil alih kekuasaan dari Soekarno (tahun 1967 sebagai pejabat presiden dan tahun 1968 sebagai presiden).

Sejalan dengan teori "kudeta merangkak Soeharto" itu, uraian Prof Dr Suwoto Mulyosudarmo (alm) dapat dikategorikan sebagai "kudeta merangkak MPRS". Jadi, perebutan kekuasaan dari Soekarno dilakukan melalui serangkaian TAP MPRS yang justru tidak konstitusional. Misalnya, jabatan "Pejabat Presiden" yang diberikan kepada Soeharto pada 1967 yang sebetulnya tidak ada dalam UUD 1945. Suwoto menulis buku Peralihan Kekuasaan: Kajian Teoritis dan Yuridis terhadap Pidato Nawaksara (Gramedia Pustaka Utama, 1997) yang berasal dari disertasinya pada Universitas Airlangga Surabaya, 1990.

Pelengkap Nawaksara

Tanggal 22 Juni 1966, Presiden Soekarno menyampaikan pidato Nawaksara di depan MPRS. Dia menguraikan tentang sembilan pokok persoalan yang dihadapi negara. Namun, Soekarno masih disuruh oleh MPRS untuk melengkapi pidato tersebut. Dalam Pelengkap Nawaksara yang disampaikan 10 Januari 1967, dia menguraikan bahwa peristiwa itu merupakan pertemuan dari tiga sebab, yakni keblingernya pimpinan PKI, kelihaian subversi Nekolim, dan adanya oknum-oknum yang tidak benar.

Buku yang terbaru dari John Roosa The Pretext of Mass Murder menjelaskan keblingeran tersebut, yakni ikut merencanakan penculikan terhadap tokoh yang dianggap mereka sebagai Dewan Jenderal. Keblingeran kedua adalah masih terus mengeluarkan statemen kedua dan ketiga tanggal 1 Oktober 1965, padahal Presiden Soekarno sudah memerintahkan menghentikan gerakan tersebut melalui Brigjen Soepardjo.

Yang dimaksud dengan Nekolim oleh Soekarno tentulah pihak AS. Dalam konteks ini, jelas termasuk pula Inggris (dan Australia). Namun, peran Uni Soviet (dan Pakta Warsawa) serta RRC dan Jepang tak boleh diabaikan pula. Negara-negara asing itu memiliki kepentingan sangat besar terhadap siapa yang berkuasa di Indonesia.

Mengenai "oknum yang tidak benar" konon merupakan rumusan yang dihaluskan karena dalam pembicaraan dengan beberapa tokoh ketika menyusun pidato, Soekarno menggunakan istilah "Jenderal yang tidak benar". Apakah yang dimaksudkan adalah Soeharto?

Paling Lengkap

Dibandingkan dengan versi-versi lain, analisis Bung Karno lebih lengkap, menyangkut faktor luar negeri dan dalam negeri. Peristiwa Gerakan 30 September yang begitu kompleks tentu tidak mungkin digerakkan oleh satu orang atau satu pihak saja. Rumusan Soekarno itu juga mencakup sekaligus beberapa versi, bahkan dapat dikatakan bahwa seluruh versi itu telah termasuk dalam pelengkap pidato Nawaksara.

Sebagai seorang presiden yang tentu menerima informasi dari banyak pihak dan juga berada di pusat kekuasaan, wajar kalau Soekarno dapat memberikan teori tentang Gerakan 30 September yang lebih canggih daripada teori lain.

1 komentar: