Laman

18 September 2010

Permasalahan Budaya Massa dan Media Massa

Media massa seperti radio dan film mentransmisikan dan menanamkan ideologi resmi negara fasis karena dapat dikendalikan dari pusat dan dapat menyiarkan kepada penduduk secara umum. Ketiadaan organisasi-organisasi politik tandingan di dalam masyarakat totaliter hanya ditambahkan pada efesiensi persamaan ini: media massa menandingi propaganda massa dan menandingi represi massa. Keberadaan sarana-sarana yang sangat efektif dalam mencapai orang dalam jumlah besar di dalam masyarakat dengan sistem politik terpusat dan totaliter dipandang oleh orang banyak sebagai suatu cara lain, disertai paksaan untuk mengakarkan sistem semacam itu dan menghalangi berbagai alternatif demokratis.


Potensi ini juga ditandai oleh usaha secara sengaja dan sadar oleh partai Nazi di Jerman pada dasawarsa 1930-an untuk memantapkan ideologi Nazi di semua bidang kebudayaan dan kesenian, serta menghapuskan ideologi-ideologi politik maupun estetik alternatif. Tujuannya adalah untuk mendapatkan bantuan dari para intelektual, penulis, novelis, penyair, pelukis, pemahat, musisi, akademisi, arsitek, dan sebagainya, dengan tujuan memastikan ideologi Nazi tersebar sebagai estetika Nazi.

“Masyarakat totaliter, beserta demokrasi liberal, telah dipandang sebagai jenis-jenis masyarakat massa. Konsep masyarakat massa telah melahirkan salah satu aspek perspektif penting dalam peranan media massa dan budaya massa di dalam masyarakat kapitalis modern.”

Masyarakat Massa di Dalam Budaya Massa

Berdasarkan teori, orang-orang di dalam sebuah masyarakat massa diatomisasi secara sosial maupun secara moral. Kontak antarwarga tidak hanya benar-benar bersifat kontraktual dan formal, tapi kontak-kontak itu juga kurang memiliki makna integritas moral yang lebih mendalam karena tatanan moral mengalami kemunduran di dalam masyarakat massa. Intinya disini adalah bahwa jika tidak ada kerangka aturan moral yang memadai, jika warga masyarakat tidak memiliki rasa nilai moral yang aman, maka yang akan muncul adalah aturan palsu dan tidak berguna, dan akhirnya warga akan berpaling pada moralitas pengganti dan palsu.

Maka dari itu, hal ini akan memperkeruh dan bukannya memecahkan krisis moral dari sebuah masyarakat massa. Di sini budaya massa memainkan peranan dalam artian budaya massa itu dipandang sebagai salah satu sumber utama suatu moralitas pengganti dan palsu. Tanpa adanya organisasi perantara yang memadai, individu-individu rentan terhadap manipulasi dan eksploitasi dari lembaga-lembaga utama seperti media massa dan budaya populer.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa budaya massa adalah budaya populer yang dihasilkan melalui tehnik-tehnik industrial produksi massa dan dipasarkan untuk mendapatkan keuntungan kepada khalayak konsumen massa. Budaya massa adalah budaya populer, yang diproduksi untuk pasar massal. Pertumbuhan budaya ini berarti memberi ruang yang makin sempit bagi segala jenis kebudayaan yang tidak dapat menghasilkan uang, yang tidak dapat diproduksi secara massal bagi massa seperti halnya kesenian dan budaya rakyat.

“Dari sudut pandang ini, tidak ada perbedaan nyata antara produksi material dan kultural, antara produksi mobil dan produksi film.”

Produk-produk budaya massa standar yang memiliki formula dan berulang-ulang merupakan hasil dari pembuatan komoditas-komoditas kultural melalui bentuk-bentuk produksi lini, pembuatan rutin, khusus, terfragmentasi. Karya seni, misalnya, tidak dapat dihasilkan dengan cara seperti ini. Kompleksitas estetis seni sejati, kreativitasnya, eksperimen-eksperimennya, tantangan-tantangan intelektualnya, tidak dapat direalisasikan melalui teknik-teknik produksi budaya massa. Karya-karya semacam itu lebih bergantung pada hal-hal yang sama sekali bertentangan dengan produksi massal, kegeniusan penuh ilham dari diri sang seniman yang bekerja di luar batasan pasar komersial, dan melalui berbagai formula dan tekhnik komposisi standar yang telah dicoba dan diuji.

“Gambarannya adalah sebuah massa yang nyaris tanpa berpikir, tanpa merenung, menangguhkan segala harapan kritis, bersengkongkol dengan budaya massa dan konsumsi massa.”

Lahirnya masyarakat massa dan budaya massa, maka terjadi kekurangan sumber intelektual maupun moral untuk melakukan hal yang sebaliknya. Khayalak tidak dapat memikirkan alternatif-alternatif lain. Bidang budaya direduksi menjadi sebuah budaya massa umum. Seni jauh menembus batas cita-citanya, dan sudah kehilangan budaya rakyatnya. Budaya rakyat dihasilkan oleh sebuah komunitas terintergrasi yang tahu apa yang sedang dilakukan, yang telah menguasai tehnik-tehnik produksi, serta menjamin keaslian produknya. Sangat jauh dengan budaya massa yang harus diproduksi secara massal demi mendapat keuntungan material.

“Selama rakyat diorganisir... sebagai massa, mereka kehilangan identitas dan kualitas sebagai manusia. Karena massa, dalam kerangka waktu historis adalah kerumunan di dalam ruang: orang dalam jumlah besar yang tidak mampu mengekspresikan dirinya sebagai umat manusia karena mereka terkait satu sama lain bukan sebagai individu atau anggota masyarakat—sebenarnya mereka tidak terkait satu sama lain, kecuali untuk berhubungan yang berjarak, abstrak, dan tidak manusiawi: sebuah pertandingan sepak bola atau pasar tradisional dalam kasus kerumunan, sebuah sistem produksi industrial, sebuah partai, atau Negara Bagian dalam kasus massa. Manusia massa adalah sebuah atom soliter, seragam, dan tidak bisa dibedakan dari ribuan maupun jutaan atom lain yang menyusun “kerumunan kesepian” yang oleh David Reisman disebut sebagai masyarakat Amerika. Namun demikian, rakyat atau orang-orang adalah sebuah komunitas, artinya sekolompok individu yang terkait satu sama lain disebabkan kepentingan, pekerjaan, tradisi-tradisi, nilai-nilai, maupun sentimen-sentimen yang sama.” (Macdonald, 1957:69)

Paul Johnson dalam tulisannya pada 1964 menjelaskan sebuah pertemuan yang tidak mengesankan dengan khayalak pemirsa acara populer TV.

“Kedua saluran TV sekarang menyiarkan acara dua mingguan tempat rekaman lagu-lagu populer diputar untuk kaum remeja dan dinilai. Sementara musiknya diputar, kamera-kamera terus bergerak dengan lincah menyorot wajah-wajah para pemirsa. Alangkah dalamnya sumur tanpa dasar! Wajah-wajah besar, penuh dengan gula-gula murahan dan dihiasi toko berantai, mulut yang terbuka dan terkulai, maupun mata-mata yang berkaca-kaca, tangan-tangan yang secara tak sengaja menabuh musik pada waktunya, hak runcing, busana “mengikuti zaman” yang buruk dan distereotipkan. Ini merupakan suatu gambaran kolektif gamblang mengenai sebuah generasi yang diperbudak oleh sebuah mesin komersial. Beberapa waktu lalu, ketika keluar dari sebuah studio TV saya menjumpai anak-anak yang keluar dari sesi acaa tersebut, jarang yang berusia 16 tahun, berpakaian seperti orang dewasa, dan sudah antri sebagai korban eksplotasi. (dikutip dari Frith, 1983:252).

Oleh karena itu, budaya massa adalah suatu kebudayaan yang kurang memiliki tantangan dan rangsangan intelektual, cenderung pada pengembaraan fantasi tanpa beban dan pelarian. Budaya massa merupakan suatu kebudayaan yang mengingkari upaya berpikir dan menciptakan respons-repons emosional maupun sentimentalnya sendiri, dan bukannya meminta khayalaknya untuk menggunakan pikiran mereka dan mengusahakan respons mereka sendiri. Dalam pengertian ini, budaya massa mulai mendefinsikan realitas sosial untuk khayalak ramai. Oleh karenanya, ada kecenderungan menyerdehanakan dunia nyata dan mengabaikan persoalan-persoalannya. Jika masalah-masalah tersebut diketahui, maka biasanya budaya massa memperlakukannya di tingkat permukaan dengan menghadirkan solusi-solusi yang mudah dan keliru.

Budaya massa juga mendorong komersialisme dan mengagungkan konsumerisme, dibarengi dengan berbagai kelEbihan keuntungan dan pasar, dan juga mengingkari tantangan intelektual sehingga cenderung membungkam suara yang bertentangan karena ia merupakan sebuah kebudayaan yang melemahkan semangat dan membuat pasif.

“Budaya massa menyita waktu dan energi yang lebih baik digunakan untuk usaha-usaha lain yang lebih konstruktif dan bermanfaat—misalnya seni atau politik, ataupun penyadaran budaya rakyat. Kedua adalah bahwa budaya massa jelas memiliki dampak merugikan terhadap khayalaknya, membuat mereka menjadi pasif, melemahkan, rentan sehingga menjadi korban manipulasi dan eksploitasi.”

Budaya massa, seperti film atau opera sabun, dicemarkan karena bersifat sentimental dan mempermainkan emosi kita. Maka dari itu, budaya massa seperti ini bisa dihilangkan karena menimbulkan reaksi yang ada kaitannya dengan sifat feminim. Kita tidak hanya bertanya apa yang salah dengan sentimen, tapi kita bisa melihat bahwa salah satu ancaman yang ditimbulkan budaya massa, menurut para kritikus budaya massa, adalah bahwa budaya massa ini akan memfeminimkan khayalaknya. Bahasa yang digunakan dalam sejumlah penjelasan budaya massa mendorong suatu skenario “bujuk rayu”--”penaklukan” khayalak yang “pasif” dan “rentan” oleh “fantasi-fantasi percintaan” dan “pelarian”--dan hanya berfungsi menegaskan hal ini.

“Bahan yang buruk akan menyingkirkan yang baik, karena lebih mudah dipahami dan dinikamti” (Macdonald, 1957:61). Bagi sebagian orang, misalnya Macdonald, hal ini tidak akan menjadi persoalan jika masyarakat mampu melestarikan budaya rakyat mereka sendiri, dan menyerahkan seni kepada kaum elite. Budaya rakyat dan budaya tinggi dipandang bergantung pada cara berpikir berpikir komunitas yang harmonis yang mungkin sukar ditemukan.

“Hilangnya puisi dari bacaan orang kebanyakan”, dan oleh kenyataan bahwa kelab-kelab buku tidak meningkatkan selera, tapi malah membakukannya (Leavis, 1932:229). Jadi, “khayalak pembaca awam abad ke dua puluh tidak lagi berhubungan dengan karya sastra terbaik pada zamannya ataupun masa lalu.”

Memang Q.D Leavis mengemukakan sebuah argumen yang dapat dibandingkan dalam menyampaikan cara-cara melindungi budaya massa dari menggugurkan standar sastra dan menghancurkan khayalak pembaca. Yang dia kemukakan adalah bahwa pembusukan budaya hanya dapat dihentikan melalui usaha-usaha kaum elite intelektual yang memiliki komitmen: “harus disadari bahwa yang dapat dilakukan haruslah berwujud perlawanan dari minoritas yang memiliki kekuatan dan kesadaran” (1932:270). peranan kaum elite ini, minoritas sadar ini, ada dua :

Pertama, harus mengadakan penelitian untuk memperlihatkan betapa buruknya segala sesuatu, seberapa jauh turunnya standar sastra dan kapasitas membaca khayalak umum serta betapa terbatasnya peranan yang dimainkan oleh penulis novel dan penulis serius di dalam kehidupan kultural. Penelitian ini akan memberikan informasi kepada kaum elite yang dibutuhkan untuk menjalankan misinya dalam membalikkan pencerahan langsung kepada kalangan awam. Hasil penelitian ini bukan hanya buku-buku untuk meningkatkan “kesadaran umum”: “hasilnya berarti juga pelatihan sebagian kecil orang yang akan menghadapi dunia lengkap dengan kerja membentuk dan mengorganisasi suatu minoritas yang sadar” (Macdonald, 1957:271).

di kutip dalam buku: Popular Culture "Pengantar Menuju Teori Budaya Populer"
karangan: Dominic Strinati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar