Laman

24 Maret 2014

Mengenang Bandung Lautan Api


Sekilas Sejarah Peristiwa Perjuangan Bandung Lautan Api
Karya: Drs. HME. Karmas
Kota Bandung menjadi sunyi karena seluruh Bandung bagian selatan, sebagian di daerah Bandung Utara, tinggal puing-puing bagaikan patung-patung  berhala. Dari Cimahi di sebelah Barat berbanjar hingga di Ujung Berung di sebelah Timur, dari pusat kota Bandung hingga ke Dayeuhkolot di sebelah Selatan menjelma sisa-sisa lautan api.
Peristiwa Bandung Lautan Api boleh dibilang hanyalah “klimaks” dari serangkaian pertempuran yang dilakukan warga Bandung terhadap sekutu yang membonceng NICA. Peristiwa ini terjadi kurang lebih 8 bulan setelah proklamasi kemerdekaan, sehingga tidak bisa dilepaskan dari kejadian-kejadian sebelumnya.

Untuk bisa memahami proses gejolak revolusi di Bandung, ada beberapa buku yang cukup memadai, salah satunya “Bandung Awal Revolusi” karangan John W. Smail (Komunitas Bambu, 2011). Buku ini cukup baik mengungkap peristiwa tersebut karena dibuat ketika masih banyak saksi hidup yang bisa dimintai keterangan (buku aslinya dibuat tahun 1963-1964). Juga ada buku “Sekilas Sejarah Peristiwa Perjuangan Bandung Lautan Api”  karya Drs. HME. Karmas, yang dicetak dalam rangka memperingati 50 tahun peristiwa Bandung Lautan Api. Sesuai judulnya, buku ini hanya menyajikan kilasan kenangan seorang pelaku revolusi di Bandung, yaitu penulisnya sendiri, terhadap peristiwa-peristiwa yang berujung kepada Bandung Lautan Api.

Penyusunan buku ini cukup serius karena menggunakan beberapa referensi atau narasumber yang sangat representatif. Wawancara-wawancara dilakukan oleh: Drs. PHS Marpaung bersama Sumarsono, Adoeng Adoerachman, Soesman, Soerat Mangoendjaja, kepada tokoh-tokoh seperti A.H. Nasution, Didi Kartasasmita, Syarifudin Prawiranegara, dan R.M. Achmad Sukarmadidjaya. Seluruh wawancara dilakukan pada tahun 1985. Selain itu banyak materi merupakan pengalaman HME Karmas selaku salah satu anggota laskar pada waktu revolusi berlangsung.

HME Karmas selaku penyusun sekaligus pengumpul materi buku tampak menonjolkan peranannya dalam peristiwa Revolusi di Bandung itu. Salah satunya pada peristiwa pengambilalihan Studio Radio Bandung (Bandung Hoshokyoku) dari tangan Jepang.
Pada saat direktur menyerahkan studio kepada pihak Indonesia, datanglah dari halaman depan Hey Tay pengawal Atazawa mengadakan aksi serangan mau membatalkannya, namun sempat digagalkan karena segera ditodong senjata tajam oleh pemuda E. Karmas, sehingga Hey Tay tersebut tidak berdaya. Akhirnya tepat pada pukul 19.00 waktu Jawa tanggal 17 Agustus 1945, pihak Indonesia menyiarkan isi teks Proklamasi di udara ke seluruh Tanah Air bahkan ke segala penjuru dunia.
Selain penonjolan E. Karmas, beberapa peristiwa pasca pembacaan proklamasi menjadi pengetahuan tersendiri. Seperti halnya pengumuman berdirinya BKR oleh Soekarno tanggal 23 Agustus 1945, yang segera disambut oleh para pemuda di Bandung yang dimotori alumni PETA. Mereka berduyun-duyun mendaftarkan diri ke markas BKR di Jl. Kepatihan dan Jl. Pasir Kaliki. Di samping BKR, juga terdapat puluhan laskar lainnya yang biasanya dipimpin oleh orang-orang berpengaruh di masyarakat. Mereka semua bersiap siaga menyambut kedatangan kembali pasukan Sekutu yang diboncengi Belanda.
Pada tanggal 15 September 1945 Sang Merah Putih dikibarkan di beberapa tempat di kota Bandung, sedangkan rakyat mulai mengenakan lencana merah putih di dadanya. Di antara mereka membawa senjata golok, bambu runcing, dan ada juga yang bersenjata bedil angin, bedil kumon hingga pistol colt. Semua orang siap siaga menunggu datangnya komando.
Selama menunggu kedatangan sekutu, rakyat berupaya mengambil alih bangunan-bangunan dan senjata yang masih dikuasai Jepang. Upaya ini seringkali berjalan lancar karena pada dasarnya Jepang yang morilnya telah hancur tidak keberatan untuk menyerahkan senjatanya, asalkan  penyerahan dilakukan baik-baik. Namun satu insiden berdarah di markas Kempetai Jepang di Jalan Heetjansweg (sekarang Jl. Sultan Agung) perlu menjadi pelajaran berharga.

Peristiwa itu terjadi karena salah paham oleh salah seorang tentara Jepang yang tertembak. Akibatnya, tentara Jepang mengerahkan kembali kendaraa lapis baja dan berhasil merebut kembali beberapa pucuk senjata dari pihak Indonesia. Hari naas itu berekor kesedihan dengan adanya kecaman pedas dari pejuang Surabaya yang memberi gelar pemuda Bandung adalah Pemuda Peyeum Bol.

Sindiran dari arek Suroboyo itu memang menyakitkan hati para pemuda Bandung saat itu. Tapi alih-alih membalas sindiran dengan sindiran kembali, pemuda Bandung menjadi semakin bersemangat untuk membuktikan heroismenya.

Kedatangan tentara Sekutu bersama pasukan Belanda ke Bandung memanaskan kembali situasi. Mereka menempati bangunan besar seperti Hotel Homann, Preanger, Gedung DENIS di Braga (sekarang BJB), DVO, ITB, dan lain-lain. Sejak adanya pasukan Belanda, kota Bandung menjadi genting karena mereka kerap mengadakan provokasi dan mengganggu ketertiban massa. Saat itu terjadi lagi peristiwa heroik yang dialami oleh pemuda E. Karmas.

Dalam kesempatan mana, beberapa pemuda pejuang bertekad merampas senjata Jepang dan memasuki gedung Denis, terus melaju ke atas menerjang beberapa orang Belanda di sana. Dua orang pemuda TKR Mulyono dan E Karmas berhasil naik ke atas menara dan merobek-robek kain biru dari bendera Belanda, walaupun sesaat mendapat serangan tembakan dari Hotel Homann. Tidak terjadi pertempuran karena musuh yang berada di Hotel Homann itu menghentikan tembakannya setelah dibalas tembakan beberapa pejuang dari samping apotek Rathkamp di Jl. Braga.

Peristiwa yang tampaknya terinspirasi dari kejadian yang serupa di Surabaya ini diabadikan lewat pendirian sebuah stilasi (monumen) di depan Bank DENIS yang sekarang menjadi Bank BJB. Bagaimanapun ini menggambarkan adanya keresahan rakyat Bandung atas kedatangan kembali Belanda di kota yang sempat diwacanakan untuk menjadi ibukota Hindia Belanda itu.

Kemarahan semakin menjadi-jadi ketika Inggris secara sepihak mengklaim kawasan di utara jalan kereta api sebagai kawasan mereka, tanpa menyebutkan batas-batasnya di utara sehingga Lembang diterobos kaki tangan NICA. Mereka pun mengusir penduduk Bandung yang tinggal di kawasan tersebut.

Peta Bandung zaman revolusi.
Bagian utara rel kereta api merupakan kawasan sekutu,
sedangkan bagian selatan kawasan pribumi.
Pembuatan batas tersebut tidak lantas mendinginkan suasana karena pada dasarnya tidak semua penduduk Bandung yang tinggal di utara bisa diusir keluar. Masih banyak penduduk yang tinggal di kantong-kantong perkampungan di utara yang bisa melakukan serangan-serangan sporadis kepada pihak Belanda atau Inggris. Salah satunya yang paling menggegerkan adalah peristiwa pembantaian veteran perang Belanda di kawasan Bronbeek, Sukajadi. Peristiwa ini segera dibalas Belanda dengan tindakan brutal di beberapa kawasan penduduk.

Kawasan selatan jalan kereta api juga tidak berarti bebas gejolak karena ternyata di sana (di Ciateul) masih terdapat sebuah kamp tawanan Belanda Indo yang belum dibebaskan. Pasukan sekutu lengkap dengan kendaraan lapis baja dan panzer berusaha untuk membebaskan mereka, tak ayal pertempuran sengit pun terjadi di sepanjang jalan lengkong. Pasukan Inggris yang kewalahan menghadapi perlawanan pejuang bahkan hingga mendatangkan pesawat pemburu sehingga terjadilah belasan korban. E Karmas memiliki kenangan tersendiri terhadap peristiwa tersebut.
…Para pejuang berkesempatan meluruskan badan menarik tegangan urat darah, beristirahat sebentar saja, tiba-tiba datang seorang tua tersaruk-saruk menggusur kelombong berisi penuh bungkusan makanan, iapun membagi-bagikan makanan tersebut dengan wajah tulus penuh kasih sayang bagaikan mengasihi anaknya sendiri…
Situasi di Bandung saat itu sebenarnya cukup unik karena pada dasarnya pertempuran tidak terjadi setiap hari, melainkan hanya terjadi insiden-insiden provokasi yang cukup mengganggu bagi kedua pihak. Pertempuran langsung memang dihindari pejuang karena mereka sadar kekuatan yang dimiliki tidak akan sebanding dengan pasukan Inggris, Belanda dan Gurkha yang memiliki persenjataan lengkap. Tapi dalam satu peristiwa di Ciroyom, persenjataan canggih ini ternyata bisa “kalah” juga.
Pertempuran makin besar, dimana sebuah tank baja Inggris dapat dibakar dan dihancurkan sehingga tak dapat dipergunakan lagi. Keberhasilan ini ternyata ada keterlibatan seorang penarik becak bernama Emen yang dengan keberanian dan rela berkorban demi kemerdekaan negara dan bangsa Indonesia ia melompat ke atas tank seraya menumpakan bensin dan melemparkan obor api ke dalam kokpit sehingga tank tersebu meledak tampak menghamburkan api sehingga tank hangus berkeping-keping. Emen sendiri tewas seketika dan jenazahnya tidak menentu.
Tidak hanya rakyat kecil seperti Emen dengan segala keterbatasannya berusaha melawan kekuatan sekutu, kaum wanita pun berupaya menunjukkan sumbangsing mereka terhadap perjuangan kemerdekaan.
Di tempat lain beberapa pejuang berhasil membunuh seorang serdadu Gurkha dan menebas lehernya dengan samurai. Seorang di antara pejuang terdapat gadis bernama Susilawati, seorang perwira dari polisi (Polisi Tentara) yang bermarkas di Jl. Pajagalan, beliau yang kemudian mengangkat kepala Gurkha tadi lalu menjinjingnya bahka dibawa diperlihatkan di sepanjang jalan Sudirman, jalan Cibadak menuju pulang ke markasnya di Jalan Pajagalan…
Perjuangan tersebut bukan hanya dilakukan oleh pemuda bersenjatakan sederhana saja, para pedagang pasar hingga pedagang asong pun turut berjuang dengan memboikot pembeli dari kawasan Bandung Utara. Walaupun tampaknya tidak seberapa, tapi aksi ini ternyata sangat merepotkan. Akibatnya, Inggris harus mendatangkan bahan makanan dari Jakarta. Hal itu pun tidak mudah, karena konvoi logistik seringkali mendapatkan serangan di sepanjang jalan provinsi menuju Bandung.

Satu peristiwa yang paling bersejarah adalah ketika konvoi Inggris berkekuatan besar bisa dihancurkan oleh pejuang dan rakyat Sukabumi di Bojong Kokosan.

Peristiwa tersebut membuat malu kerajaan Inggris, yang dalam sidang Parlemen Inggris langsung memecat menteri Pertahanan Inggris. Mereka kehilangan muka di dunia internasional, mengingat pasukan Inggris yang dikirim ke Indonesia tersebut, adalah pemenang Perang Dunia ke-II yang baru saja mengalahkan pasukan Jerman pimpinan Hitler di medan perang Afrika Utara, tapi terkalahkan oleh yang mereka sebut gerombolan ekstrimist.

Diantara pasukan Inggris terdapat Pasukan Gurkha, yang sedikit banyak membantu perjuangan karena tidak jarang diantaranya bersimpati kepada perjuangan pemuda.
"Dalam hal ini terpihak Indonesia mendapat bantuan pula dari seorang bangsa Pakistan bernama Tabib Hardin untuk membujuk serdadu India dengan mempergunakan bahasa India. Usaha ini ternyata cukup memuaskan karena sejak itu masuk ke pihak Indonesia, di mana pelaksanaanya dilakukan seketika terjadi pertempuran, atau dengan perjanjian rahasia waktu malam di sekitar perbatasan utara-selatan. Tidak sedikit yang menjadi anggota TRI, misalnya di Markas Batalyon II Sumarsono dapat dibentuk satu Kompi India yang terdiri dari 90 orang serdadu India bersenjata modern lengkap dengan pelurunya yang mana siap membantu kita."
Sikap beberapa serdadu Gurkha itu malah bertolak belakang dengan sikap warga keturunan Tionghoa yang seringkali lebih bersimpati kepada pihak Sekutu.
Orang-orang Cina sudah lama menjadi perhatian bangsa Indonesia karena sikapnya yang kurang simpatik. Dalam pertempuran beberapa kali di sekitar Stasiun, orang Cina memberi tanda dengan menembakkan pistol ke atas tempat yang banyak pejuang Indonesia, lalu ia sendiri menyelinap menjauhkan diri. Sesaat kemudian berjatuhanlah peluru mortir dari tentara Inggris tepat di daerah tersebut. Atas seringnya kejadian tersebut, beberapa pejuang mencoba mengintai, dan berhasil menangkap seorang pemuda Cina yang baru saja memberi tanda kepada musuh, lari dan dikejar kemudian tertangkap oleh Letnan Wisnu dan Karmas di Hotel Sumatra depan Stasiun. Dari padanya dirampas sebuah pistol FN.
Dimikianlah sedikit kejadian yang mengantar kepada peristiwa Bandung Lautan Api tanggal 24 Maret 1946. Emosi Sekutu yang kewalahan atas serangan sporadis pejuang akhirnya memuncak dan mengultimatum masyarakat bersenjata untuk mundur sejauh 11 KM dari batas yang ditentukan. Ultimatum ini didukung oleh pemerintah pusat yang menginginkan agar pejuang “mengikuti” saja keinginan sekutu guna menghindari jatuhnya korban. Seruan ini direspon TRI dan Majelis Satuan Perjuangan dengan keputusan melakukan strategi bumi hangus yang dikenal sebagai “Bandung Lautan Api”. Keputusan yang disiarkan TRI pukul 14.00 itu sebagai berikut :
1. Semua pegawai dan rakyat harus keluar kota sebelum pukul 22.00.
2. Tentara melakukan bumi hangus terhadap semua bangunan yang ada.
3. Sesudah matahari terbenam, supaya Bandung Utara diserang dari pihak Utara dan dilakukan pula bumi hangus sedapat bisa. Begitu pula selatan harus ada penyusupan ke utara.
Berbondong-bondong warga Bandung mengungsi.
Hari minggu tanggal 24 Maret 1946 itu mejadi hari bersejarah bagi warga Bandung karena walaupun diiringi hujan rintik-rintik mereka mulai mengungsi dengan membawa barang sedapatnya. Menjelang magrib makin banyak sehingga berbondong-bondong rakyat mengungsikan diri ke arah Selatan dan Timur, ke jurusan Cilampeni, Dayeuh Kolot, Buahbatu dan Ujung Berung.
Bagaikan semut merdesakan layaknya, bergerak dengan perlahan di bawah hujan deras hingga malam hari.
Di saat yang sama pejuang melaksanakan tugasnya membumihanguskan bangunan yang ada di Bandung “biar hangus mejadi abu daripada diserahkan bulat-bulat kepada penjajah”. Pembumihangusan berlangsung hingga larut malam, sehingga segenap pelosok kota Bandung dipenuhi kobaran api.
Seluruh permukaan yang ada mejadi berwarna merah, bahkan langit pun diliputi udara kemerahan. Terjelma ucapan Mayor Rukmana, bahwa Bandung menjadi Lautan Api.









Sumber tulisan:
http://santijehannanda.wordpress.com/2014/02/17/mengenang-bandung-lautan-api/

1 komentar: