Laman

08 Maret 2014

Mengapa[1]

Tjipto Mangoenkoesoemo
Tawaran yang disampaikan kepada saya oleh majalah organisasi para pemuda untuk menyampaikan sepatah dua patah kata mengenai jalan penghidupan perhimpunannya, saya kira tidak boleh saya tolak. Tidak boleh, oleh karena bagi para pemuda yang masih berpijak pada perasaan dan dalam hidupnya hanya melihat bagian yang indah-indah saja, mungkin adanya kesediaan dan kegembiraan untuk berkorban mengharapkan pekerjaan yang lebih baik lagi hasilnya daripada yang diperoleh oleh kita orang tua-tua, akan tetapi sebaliknya kaum muda lebih peka dalam satu hal: semakin gembira dan giat mereka melaksanakan tugas yang telah mereka lakukan atas pilihannya sendiri, semakin cepat pula mereka menjadi putus asa. Oleh karena perasaan mereka masih harus berkembang menjadi satu keyakinan, dan keyakinan itu kelak akan menjadi tindakan. Dan selama masa perkembangan, koreksi terhadap diri-sendiri turut berkembang pula, mereka senantiasa berfikir apakah mereka benar-benar sudah berada di jalan yang benar; mereka senantiasa mempersoalkan apakah mereka tidak salah memilih jalan yang salah. Satu kali saja kecewa, habislah riwayatnya, dan bila keadaannya menjadi lebih baik, ia menjadi hilang semangat dan tidak mau bangkit lagi atau sebaliknya (ini secara ekstrim), ia menjadi musuh bebuyutan dari apa yang kemarin dianggap sebagai jalan keluar dalam teka-teki sedunia yang paling baik. Itulah sebabnya mengapa anak-anak muda yang itu juga minta kepada kita orang-orang tua yang memiliki suatu pandangan keduniawian dan pandangan hidup yang telah mantap oleh karena mereka sangat membutuhkannya sebagaimana mereka membutuhkan nasi sehari-hari. Saya ulangi mereka membutuhkan dukungan, dukungan moral, dan sekali-kali bukan pimpinan. Oleh karena yang masih muda-muda ini pun harus tumbuh lebih lanjut menjadi orang-orang dewasa, seperti juga kita harus tumbuh menjadi orang-orang yang lebih baik lagi, sehingga mereka mempunyai perasaan untuk berdiri sendiri dengan lebih mudah dan dapat berkembang daripada kita di masa yang silam.

Sumbangan ini saya berikan dengan maksud untuk memberikan dukungan moral tersebut. Saya merasa harus menulis makalah tersebut sebagai jawaban atas pertanyaan mengapa bagi saya suatu tujuan bersama dari seluruh bangsa Indonesia lebih menarik daripada suatu kebangunan pemuda antar pulau, dengan latar belakang tindakan di pulau-pulau yang secara terpisah telah dilakukan tanah air kita untuk melawan penjajah.

Saya kira tidak ada buruknya bila di masa pemujaan jasa-jasa Gubernur Jenderal van Heutsz, kita mengadakan perhitungan mengenai apa yang telah dicapai orang itu bagi kita. Mungkin secara tidak sadar dan tidak semata-mata melakukannya untuk kepentingan kita, akan tetapi walaupun demikian bukan berarti kita harus kurang berterima kasih.

J. B. van Heutsz
Waktu van Heutsz mulai bertindak sebagai Wali Negara atas daerah-daerah kita, ia mendapat suatu wilayah yang terdiri atas pelbagai macam pulau yang dihuni oleh bangsa-bangsa yang berlainan sukunya, asal-usul agamanya, dan moral, sehingga bagi penjajah, Negeri Belanda, memerintah wilayah ini akan sangat menyibukkan.

Kita tidak dapat mengatakan bahwa van Heutsz ini orangnya tidak logis. Dan usahanya agar pemerintah bertindak dengan menyama-ratakan seluruh wilayah tentunya diilhami oleh kepentingan Negeri Belanda yang harus dibelanya, atau lebih lagi: untuk melindungi modal orang-orang Belanda yang ditanam di sini untuk memperoleh keuntungan. Dan keuntungan tersebut lebih mudah diperoleh dalam wilayah yang telah disamaratakan daripada dari sekumpulan koloni-koloni kecil yang terpisah-pisah.

Juga dari pihak kita telah kita berikan beberapa bapak angkat kepada persatuan yang masih muda ini.

Douwes Dekker dengan Indische Partijnja, menyadari bahwa hanya bila kita berhasil membuat suatu kesatuan dari negara kepulauan ini, perjoangan untuk mencapai kemerdekaan akan dapat dilaksanakan dengan hasil yang baik.

Sarikat Islam yang dahulu dengan Tjokroaminoto sebagai pepimpinnya mencari jalan ke arah yang lain. Mereka merasa telah menemukan dalam agama Islam suatu perekat yang dapat mempersatukan orang Islam di pelbagai pulau ini menjadi kesatuan yang tidak dapat dipecah-pecah.

Jadi dari pelbagai sudut orang telah bekerja keras untuk melaksanakan adanya persatuan Indonesia yang bersedia di negeri dimana setiap angan-angan tidak pernah terpenuhi, bahkan dari pihak-pihak yang seharusnya sangat takut bila timbul persatuan suku-suku bangsa di Indonesia ini.

Dan ketika kebutuhan akan adanya persatuan itu mulai dirasakan oleh rakyat umum, maka mulailah orang mencari-cari nama yang cocok bagi kesatuan yang akan dicapai itu.

Nama “Indonesia” seolah-olah begitu saja menawarkan diri. Memang kita merasa bahwa perkataannya itu sendiri tidak mencakup pengertian itu seluruhnya. Indonesia, pada mulanya dimaksudkan sebagai suatu pengertian etnografik atau mungkin juga geografik.

Yang menemukan perkataan ini tidak menciptakan sebagai suatu nama yang menyatakan arti politik.[2] Tetapi apa artinya segala itu? Bila perasaan rakyat sudah mulai berbicara, maka semuanya harus tutup mulut, maka sang pendeta tidak diperkenankan mengatakan sesuatu…….


* * *

Dengan demikian akhirnya para pemuda mengambil prakarsa. Mereka melakukan ini, menurut pendapat saya, dalam keadaan yang sangat menguntungkan. Kita, yang tua-tua, telah bekerja selama keadaan (bagi kita) masih memungkinkan. Sekarang kita sudah kehilangan tenaga fisik untuk dapat meneruskan pekerjaan itu dengan kegairahan, dengan kesediaan untuk berkorban seperti dahulu. Saya merasa bahagia dapat menyerahkan pekerjaan itu kepada kaum muda-muda, yang masih penuh gairah.

Hidup Jong Indonesia……….

___________________________
[1] Tjipto Mangoenkoesoemo, Waroom Jong Indonesia....., Jong Indonesia, Juli 1927, Jaargang I, No. 1.
[2] Apakah ini benar usul dari cabang Batavia.

Sumber: Capita Selekta Ketiga, Maju Setapak, hal. 282-285.

2 komentar: