Laman

12 Maret 2009

Mengakhiri Kontroversi SUPERSEMAR

Oleh: Aswi Warman Adam dalam Seabad Kontroversi Sejarah

Sampai hari ini tampaknya kontroversi tentang Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) 1966 tidak kunjung selesai. Kontroversi pertama, tentang proses penyusunan dan penyerahan surat tersebut yang terkesan tidak wajar. Surat tersebut dibuat bukanlah atas inisiatif dan kemauan Soekarno sendiri. Tahun 1998, anggota Tjakrabirawa Letnan Dua (purn) Soekardjo Wilardjito mengaku bahwa Jenderal Panggabean menodongkan pistolnya kepada Presiden Soekarno, dengan kata lain penugasan tersebut (baca: pengalihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto) diberikan dalam keadaan terpaksa. Pada gilirannya, orang bisa menduga bahwa pada bulan Maret 1966 itu terjadi semacam kudeta.

Kesaksian Soekardjo di atas didukung pula oleh Kaswadi (77 tahun) dan Serka (Purn) Rian Ismail yang kini bermukim di Klaten, Jawa Tengah. Mereka melihat bahwa tamu yang datang ke Istana Bogor berjumlah empat orang, bukan tiga orang seperti yang diketahui selama ini. Bahkan Kaswadi mengakui bahwa "Pada waktu itu, 11 Maret 1966, saya melihat Panggabean ada di Istana Bogor. Saat itu sekitar pukul 01.00 dini hari. Panggabean datang mengendarai mobil jip dan berpakaian dinas militer. Ia kemudian berjalan masuk menuju Istana Bogor", tutur Kaswadi kepada LBH Yogyakarta. Kesaksian tersebut perlu dipertegas, kejadiannya tanggal 11 Maret atau 12 Maret 1966 (karena sudah masuk 01.00 pagi).

Jabatan Mayjen M Panggabean pada waktu itu, seperti diungkapkan dalam tulisan Moerdiono "Di antara Para Sahabat: Pak Harto 70 tahun", adalah ketua Tim Umum yang dibentuk oleh Soeharto. Letnan Satu Infanteri Moerdiono menjadi sekretaris Tim Politik yang diketuai oleh Mayjen Basuki Rakhmat dan Mayjen Ashari menjadi ketua Tim Ekonomi.

Jumat pagi 4 September 1998, Jenderal M Jusuf mengatakan bahwa yang menemui Soekarno tanggal 11 Maret 1966 hanya tiga jenderal, dan mereka di sana hanya sampai pukul 20.30. Tidak ditanyakan wartawan, berapa lama ketiga jenderal itu di Istana Bogor dan apa saja yang dibicarakan mereka dengan Presiden Soekarno? Kalau betul mereka baru pulang pukul 20.30 malam, itu memperlihatkan bahwa pembicaraan dengan Soekarno berjalan alot.

Yang jadi pertanyaan, adakah perwira tinggi lain yang datang ke Istana Bogor sebelum atau sesudah mission sacree tiga jenderal tersebut? Menanggapi bantahan dari M. Jusuf, Soekardjo Wilardjito, yang tetap pada pengakuannya semula, bersedia melakukan sumpah pocong di pengadilan.

***

Di dalam buku 70 tahun Soeharto itu, dimuat pula penuturan Sudharmono, ia menerima telepon dari Mayjen Sutjipto, Ketua G-5 KOTI, 11 Maret 1966 sekitar pukul 10 malam. Sutjipto meminta agar konsep tentang pembubaran PKI disiapkan dan harus selesai malam itu juga. Permintaan itu atas perintah Pangkopkamtib yang dijabat oleh Soeharto. Sudharmono sempat berdebat dengan Moerdiono mengenai dasar hukum teks tersebut.

Beberapa jam kemudian, 12 Maret 1966 pukul 01.00 datanglah Sekretaris MBAD Brigjen Budiono membawa dokumen yang kemudian dikenal sebagai Supersemar. Menurut Sudharmono surat perintah tersebut "diperbanyak (difotokopi) di kantor kami". Kurang jelas apakah pada waktu itu sudah ada mesin fotokopi di Jakarta.

Yang cukup kontroversial adalah Wilardjito yang memberikan kesaksian baru itu dituduh Polda DIY menyebarkan berita bohong. Pada bulan Oktober 1998 pihak polisi mengatakan bahwa berkas perkaranya sudah siap dilimpahkan ke kejaksaan. Namun, sampai sekarang belum terdengar kelanjutan peristiwa ini. Kasus ini harus dituntaskan.

Kontroversi kedua adalah tentang pengetik Supersemar. Kemudian muncul lagi pengakuan Letkol (Purn) TNI-AD Ali Ebram, staf Asisten I Intelijen Resimen Cakrabirawa bahwa dia yang mengetik surat tersebut. Surat tersebut diketik dalam waktu satu jam dengan didiktekan oleh Bung Karno. Ia mengetik dengan gemetar dan mengatakan bahwa konsep itu berasal dari Soekarno sendiri. Yang diingatnya sekarang bahwa "dalam surat itu disebut ajaran, koordinasi, terus laporan dan menyangkut empat pokok: soal keluarga, melindungi keluarga yang tidak ada. Yang keempat itu memberi laporan". Sebagai orang yang tidak biasa mengetik, ia mengerjakannya dengan gemetar dan berkata kepada Soekarno "Pak, saya mohon ampun kesesa (Pak, saya mohon tidak tergesa-gesa). Sebelum ditandatangani diketik kotanya yaitu Bogor.

Kontroversi ketiga, yang disampaikan oleh Ben Anderson, pakar Amerika yang tidak boleh masuk Indonesia selama Orde Baru berkuasa. Ia mengutip pengakuan seorang tentara yang mengaku waktu itu bertugas di Istana Bogor. Tidak dijelaskan nama dan pangkat tentara tersebut tetapi Ben Anderson merasa yakin dengan keterangannya bahwa mungkin saja surat perintah yang asli itu dihilangkan karena diketik dengan kop Markas Besar Angkatan Darat. Jadi jika dipertahankan tentu sangat lucu, surat kepresidenan ditulis dengan kertas berkop MBAD. Jadi surat itu "dihilangkan" bukan karena isi tetapi karena kop suratnya.

Sudah cukup kontroversi tentang Supersemar ini, hendaknya jangan ditambah lagi. Yang penting sekarang adalah pertama, memeriksa orang-orang yang mungkin mengetahui keberadaan surat itu. Selain dari saksi yang ada di Istana Bogor ketika itu seperti Hartini Soekarno, juga perlu diminta keterangan beberapa jenderal mulai dari Moerdiono, Sudharmono, Panggabean, Jusuf sampai kepada Soeharto. (ketika buku ini dicetak, semua tokoh sudah meninggal--"the old soldier never die").

Kedua, berusaha menemukan naskah asli surat perintah tersebut bila benar-benar ada. Menurut KH Yusuf Hasyim, dari Tebuireng Jombang, yang menyimpan naskah asli Supersemar itu adalah Mas Agung (almarhum). Bila ini benar, kenapa surat tersebut sampai jatuh ke tangan tokoh yang dekat dengan Bung Karno? Yusuf Hasyim diberi salinan dua naskah Supersemar, yang satu berjumlah dua halaman, sedangkan yang satu lagi hanya satu halaman. Naskah asli itu konon kabarnya disimpan di sebuah bank di luar negeri, diperkirakan di Singapura.

Ketiga, membawa Soeharto ke pengadilan. Undang-Undang no 7 tahun 1971 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kearsipan, pasal 11 berbunyi: Barangsiapa dengan sengaja dan dengan melawan hukum memiliki arsip sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 huruf a Undang-Undang ini dapat dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun. Jika Soeharto terbukti menyimpan naskah asli Supersemar dan tidak menyerahkannya kepada negara ia bisa dijatuhi hukuman maksimal 10 tahun penjara.

1 komentar: