Laman

17 Desember 2011

Matinya Mahasiswa Pendemo


Seorang filsuf Yunani pernah menulis,
nasib terbaik adalah tidak dilahirkan,
yang kedua dilahirkan tapi mati muda,
dan yang tersial adalah umur tua.
Rasa-rasanya memang begitu.
Bahagialah mereka yang mati muda.

Itulah sepenggal catatan Soe HokGie, tokoh mahasiswa dan pemuda aktivis yang meninggal dunia saat baru berumur 27 tahun kurang sehari di puncak Gunung Semeru bersama Idhan Dhanvantari Lubis yang baru 20 tahun.

Enam belas Desember 42 tahun lalu, rencana memperingati ultahnya yang ke-27 di Puncak Mahameru sudah ia rencanakan dengan mengatakan, “pokoknya gue akan berulang tahun di atas,” sambil mesam-mesem.
“Ngapain lama-lama tinggal di Jakarta. Mendingan naik gunung. Di gunung kita akan menguji diri dengan hidup sulit, jauh dari fasilitas enak-enak. Biasanya akan ketahuan, seseorang itu egois atau tidak. Juga dengan olahraga mendaki gunung, kita akan dekat dengan rakyat di pedalaman. Jadi selain fisik sehat, pertumbuhan jiwa juga sehat. Makanya yuk kita naik gunung. Ayo ke Semeru, sekali-kali menjadi orang tertinggi di P. Jawa. Masa cuma Soeharto saja orang tertinggi di Pulau Jawa ini.”
Memang, pendakian ke Semeru merupakan proyek kebanggaan Mapala FSUI 1969. Soe yang diandalkan untuk melobi kiri-kanan, mampu mengumpulkan dana untuk mensubsidi beberapa rekan-rekan. Hingga sewaktu mencari pendanaan, banyak yang bertanya kenapa naik gunung? Kepada teman-temannya ia katakan,
"Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung."
Sebelum berkemas untuk persiapan pendakian ke Semeru, kami sarapan berat. Soe yang biasanya cuma bercelana pendek, kini memakai celana panjang dengan sepatu bot baru. Bahkan ia mengenakan kemeja kaus warna kuning dengan simbol UI di kantung. “Keren enggak?” tanyanya.

Sebagaimana biasanya, ia selalu memanggul ransel besar dan berat, berjalan gesit sambil banyak cerita dan komentar. Karena menemukan jejak kakinya harimau, Soe berkata “kalau di sekitar daerah itu pasti masih banyak harimau,” begitupun “kalau Cemoro Kandang berlumpur arang gara-gara kebakaran hutan pinus tahunan, sebagai pertanda seleksi alam dan proses regenerasi tanaman hutan.” Ia juga menceritakan, bahwa “asal muasal nama recopodo alias arca kembar, serta mitologi Puncak Mahameru yang berkaitan dengan nasib Pandawa Lima dalam pewayangan Jawa.”

Beberapa minggu sebelum keberangkatan dengan kereta api ke Jatim, ia banyak bersikap aneh. Ini dapat dilihat dalam buku hariannya dengan menuliskan, “... Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin ngobrol-ngobrol pamit sebelum ke Semeru.” Juga sebelum musibah, ia sempat mengatakan:
“Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras ... diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil ... orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur.”
Bahkan jauh sebelum berangkatannya, 8 Desember, ia menulis dalam catatannya:
“Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke Semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti….”
Akhirnya, 16 Desember 1969, sore hari yang gerimis dan kabut tebal, seusai berdoa dan menyaksikan letupan Kawah Jonggringseloko di Puncak Mahameru, serta semburan uap hitam membentuk tiang awan. Rombongan menutup hidung, mencegah bau belerang yang makin menusuk hidung dan paru-paru, terseok-seok gontai mencoba menuruni dataran terbuka yang penuh pasir bebatuan.

Ia yang sedang termenung dengan gaya khasnya—duduk dengan lutut kaki terlipat ke dada dan tangan menopang dagu—di tubir kecil sungai kering, tertawa kecil menitipkan batu dan daun cemara, mengatakan: “Simpan dan berikan kepada kawan-kawan batu berasal dari tanah tertinggi di Jawa. Juga hadiahkan daun cemara dari puncak gunung tertinggi di Jawa ini pada cewek-cewek FSUI.” 

Itulah kata-kata terakhirnya, sebelum turun ke perkemahan darurat dekat batas hutan pinus atau situs Recopodo (arca purbakala kecil sekitar 400-an meter di bawah Puncak Mahameru), pagi harinya, 17 Desember 1969, keduanya sudah kaku. Semalam suntuk mereka lelap berkasur pasir dan batu kecil Gunung Semeru. Badannya yang dingin, sudah semalaman rebah berselimut kabut malam dan halimun pagi. Di tanah tertinggi di pulau Jawa, mata Soe dan Idhan terkatup kencang serapat katupan bibir birunya. Semua diam dan sedih.

Soe yang “dilahirkan tapi mati muda” itu kini terbujur kaku, dengan kemeja tangan panjang putih lengkap dengan dasi hitam, jenis barang yang tidak mungkin dipakai semasa hidupnya. Seolah berpesan kepada mahasiswa di negeri ini dengan menggambarkan, “Wajah-wajah halus yang keras, yang berbicara tentang kemerdekaaan… Yang tanpa tentara, mau berperang melawan diktator. Dan yang tanpa uang, mau memberantas korupsi.” Mahasiswa yang sanggup mempelopori kemajuan atau mundurnya negeri ini, “mereka yang berani menuntut haknya.” Namun, “kalau mahasiswa Indonesia tidak berani menuntut haknya, biarlah mereka ditindas sampai akhir zaman oleh sementara dosen-dosen korup mereka.”


Sumber: diolah.

1 komentar: