Laman

07 Oktober 2012

Haji Merah Dari Kauman

Jangan Jadi “Islam Lamisan”
H. Misbach
dalam Medan Moeslimin
      “Misbach seperti harimau di dalam kalangannya binatang-binatang kecil. Dia tidak takut mencela kelakuan orang-orang yang mengaku Islam tetapi selalu menghisap darah teman sendiri,” salut Mas Marco Kartodikromo mengenang sahabatnya itu.
      Misbach memang eksentrik, sama seperti Marco. Mereka berdua sudah sehati semenjak paruh pertama abad pergerakan nasional.
      Sewaktu Marco mendirikan Inlandsche JournalistenBond (IJB), serikat wartawan pertama di Indonesia, pada awal 1914, Misbach dengan penuh kesadaran segera bergabung sebagai angkatan pertama. Simak penuturan Marco mengenai hal ini:
“Waktu kami mengeluarkan suratkabar mingguan Doenia Bergerak di Solo (1914), jalan officiel organ dari Inlandsche Journalisten Bond, kami kenal dengan HM Misbach, karena di anggota dan langganan perserikatan dan surat kabar tersebut. Pada waktu itu, dia adalah seorang Islam yang berniat menyiarkan Islam secara jaman sekarang: membikin suratkabar Islam, sekolah Islam, berkumpul-kumpul merembuk agama Islam dan hidup bersama.”
      Seperti kata Marco, Misbach tidak gentar menghantam orang-orang yang mengaku Islam, tetapi menghamba kapitalisme. Kelompok ini oleh Misbach disebut golongan ‘Islam Lamisan.’
      Kecaman Bisbach pada golongan ini pertamakali muncul dalam suratkabar yang didirikannya, Medan Moeslimin. Artikel yang terbit pada 1917 dengan judul Seroean Kita ini menjabarkan secara tajam ihwal perbedaan muslim dan munafik secara detail.
      Penegasannya tentang Islam dan kaum munafik merupakan jawaban pada persoalan sikap yang harus diambil muslim di Indonesia terhadap politik dan pergerakan di jaman modal yang sarat dengan kapitalisme ini.
      Haji Misbach menawarkan dua mata tombak untuk melawan jejaring kapitalisme yang mulai menggurita: Islam dan Komunisme. Sebuah perpaduan yang unik, nyeleneh, dan tak lazim, tetapi Misbach meramunya dengan gaya yang khas berciri agamis untuk memperkenalkan ajaran komunis.
      Menurut Misbach, Komunisme dan Islam adalah harmonisasi yang ideal. Baginya, Islam dan Komunisme tidak selalu harus dipertentangkan. Malah dengan menyerap ajaran komunismelah, Islam menjadi agama yang bergerak untuk melawan penindasan dan ketidakadilan.
      Mengenai Islam sebagai landasan perjuangan, Misbach berkata:
“Agama berarti petunjuk dari Tuhan. Islam berarti selamat. Jadi, agama Islam itu penunjuk jalan menuju keselamatan. Bahwa agama Islam itu mudah dan benar sekali bagi seorang yang berdasar suci dan berpikir jujur, dan sebab-sebabnya Islam mudah dijalankan bagi orang yang berpikiran, karena agama Islam cocok dengan akal dan pikiran. Kita yang akan mencari keselamatan harus mengetahui sebab-sebab yang merusak keselamatan, sebab segala kejadian mesti ada sebab.”
      Tugas seorang muslim sejati, lanjut Misbach, adalah bagaimana ia senantiasa untuk menyelamatkan dunia ini dari kesewenang-wenangan, kedzaliman, dan kekejian orang-orang munafik dan para kapitalis.
      Islam mengajarkan umatnya untuk memberi jiwa dan kehidupan sosial baru kepada imperium-imperium yang terpecah-belah dan kepada peradaban-peradaban yang mati. Jadi, Islam tidak semata-mata akidah dan ritual, tetapi juga cara hidup.
       Misbach menambahkan, bahwa sekarang ini masyarakat Hindia terbelenggu kebebasannya. Itu semua disebabkan oleh kapitalisme, imperialisme, dan kemunafikan. Inilah yang wajib diperangi oleh setiap muslim sejati. Ketiga musuh bersama itu dirupakan Misbach sebagai: polisi, pemerintah, dan kaum Islam Lamisan.
       Polisi sebagai penindas, pemerintah sebagai penghisap, serta Muslim Lamisan sebagai musuh dalam selimut, pengkhianat dan kaum munafik.

Mengawinkan Islam dan Komunisme
        Untuk menjalankan misi suci tersebut, orang Islam membutuhkan senjata perjuangan, dan Misbach memilih Komunisme.
        Misbach sepakat terhadap cara revolusioner yang tanpa tendeng aling-aling melawan ketidakadilan. Misbach juga salut terhadap konsep sama rata sama rasa karena semua manusia itu sama derajatnya, tanpa kelas, sebab satu-satunya yang mahatinggi hanyalah Tuhan.
        “Hidup bersama artinya hak manusia itu tidak ada perbedaan, hanyalah Tuhan yang lebih tinggi; karena jika manusia, tentulah ada manusia yang lebih rendah, begitu terus-menerus sehingga kekalutan dunia terjadi dan semua itu diambil pokoknya saja karena dari loba tamaknya kapitalisme dan imperialisme, sebab ialah yang menggunakan tipu muslihatnya dengan jalan memfitnah, menindas, menghisap, dan lain-lain perkataan pula.”
        Misbach memilih komunisme sebagai media berjuang karena paham inilah yang merupakan antitesis dari kapitalisme, ideologi yang benar-benar langsung menyentuh kepentingan rakyat kecil yang tertindas.
        Ia menceritakan tentang kehidupan Karl Marx yang sangat peduli dengan nasib rakyat miskin:
“Beliau memerhatikan betul-betul akan nasib rakyat, beliau tertarik sekali tentang ekonomi dan duduknya kaum miskin. Dari itu tuan Karl Marx dapat tahu dengan terang pokok atau sumber-sumber yang menyebabkan kekalutan dunia. Sebab atau sumber kekalutan itu adalah yaitu dunia kemiskinan disebabkan adanya kapitalisme. Maka oleh karena hal-hal tersebut di atas itu hingga bisa menarik pikiran tuan Karl Marx bahwa kapitalisme itu jahat.”
       Lewat Islam dan Komunisme itulah kapitalisme harus dilawan, sebab kapitalisme merupakan jawaban jalan setan. Islam dan Komunisme adalah solusi yang paling jitu. Keduanya bersifat kerakyatan, langsung membidik sasaran untuk kepentingan rakyat. Itulah jalan hidup dan perjuangan yang ditempuh. Haji Mohammad Misbach.
        Sengan nama Ahmad, lelaki ini lahir di Kauman, Surakarta, pada 1876. Ia besar di lingkungan keluarga pedagang batik yang makmur. Ketika menikah, ia berganti nama menjadi Darmodiprono. Setelah menunaikan ibadah haji, orang mengenalnya sebagai Haji Mohammad Misbach hingga akhir hayatnya.
        Di Kauman, yang terletak di sisi barat alun-alun utara di depan Keraton Kasunanan dekat Masjid Agung, tinggallah para pejabat keagamaan Sunan. Lingkungan yang sarat nuansa religiusitas inilah yang membuat Misbach kecil disekolahkan di pesantren. Selain itu, Misbach pernah pula belajar di sekolah bumiputera “Ongko Loro” selama delapan bulan.
         Menjelang dewasa, Misbach terjun ke dunia usaha sebagai pedagang batik mengikuti jejak bapaknya. Bisnisnya pun menanjak dan ia berhasil membuka rumah pembatikan dan sukses. Pada 1912 di Surakarta berdiri Sarekat Islam (SI).
         Misbach masuk SI meski selama setahun pertama perjalanan SI ia tidak terlalu aktif. Misbach baru aktif pada 1914 bersamaan ketika Marco membentuk perserikatan wartawan IJB. Misbach pun sempat masuk ke keanggotaan Muhammadiyah. Misbach dikenal gigih meluncurkan gagasannya dengan menerbitkan surat kabar Islam, mendirikan sekolah-sekolah Islam, dan ide pengembangan Islam yang sangat maju untuk ukuran jamannya.
         Pada 1915, Misbach menerbitkan Medan Moeslimin bersama beberapa orang Kauman juga. Misbach menjadi directeur, dan karibnya yang bernama Sastrositojo sebagai adminitrateur. Posisi redacteur dijabat oleh M Soewarno dan Raden Trihardono, sedangkan Haji Fachroedin berperan sebagai biro Medan Moeslimin untuk Yogyakarta.
         Suratkabar yang memakai aksara dan bahasa Jawa ini sebenarnya diawali kaum muslim reformis. Mereka ditarik oleh satu impian kolektif untuk menyebarkan keislaman modern.
         Sebagai redaktur pembantu di edisi perdananya, ditunjuklah Mas Marco Kartodikromo, yang memberikan tulisan penganar yang berkarakter radikal. Di akhir kalam pengantarnya itu, Marco berseru: “Hidup Medan Moeslimin! Hiduplah kaum Muslim sedunia!”
         Dua tahun berselang, pada tahu 1917, diterbitkannya pula Islam Bergerak, bersama Sismadi Sastrosiswojo. Kali ini Misbach memilih bahasa Melayu untuk suratkabar yang dipimpinnya itu.

Geger Surakarta
         Insiden artikel kontroversial “Pertjakapan antara Marto dan Djojo” yang diterbitkan Martodharsono, bekas aktivis senior SI dan jurnalis terkemuka, dalam suratkabar Djawi Hisworo, mencuatkan nama Misbach sebagai seorang mubaligh vokal.
         Di edisi Januari 1918, Martodjarsono menerbitkan tulisan Djojodikoro yang menulis: “Gusti Kanjeng Nabi Rasul minum gin, minum opium, dan kadang suka menghisap opium.”
         Tak pelak, tulisan ini memantik reaksi keras dari kalangan muslim. Tjokroaminoto, pemimpin besar SI, mengetuai dibentuknya komite Tentara Kandjeng Nabi Mohammad (TKNM) di Surabaya untuk memertahankan kehormatan Islam, Nabi, dan Kaum Muslimin. Misbach pun tak tinggal diam dengan membentuk laskar mubaligh reformis: Sidik, Amanah, Tableg, Vatonah (SATV) untuk mendampingi TKNM. Selain itu, Misbach menyebar seruan tertulis menyerang Martodharsono serta mendorong terlaksananya rapat umum dan membentuk subkomite TKNM di Surakarta.
         Segeralah beredar cerita, Misbach akan berhadapan dengan Martodharsono di arena debat. Komunitas yang dulunya kurang greget menyikapi keadaan itu tib`-tiba menjadi dinamis.
         Terpantik oleh semangat Misbach, kaum Muslim Surakarta berbondong-bondong menghadiri rapat umum di Lapangan Sriwedari pada 24 Februari 1918, yang konon dihadiri lebih dari dua puluh ribu orang. Akan tetapi, muncul kekecewaan jamaah TKNM ketika Tjokro tiba-tiba mengendurkan perlawanan terhadap Martodharsono setelah mencuatnya pertikaian menyangkut soal keuangan. Buntutnya, praktek korupsi di TKNM justru dianggap telah menodai Nabi dan Islam.
         Misbach dengan lantang mengkritisi konflik di tubuh TKNM dan SI itu. Sebagai pemimpin SATV, Misbach menyerang dengan menyebut para petinggi TKNM bukanlah muslim sejati. Merekalah yang dimaksud Misbach sebagai golongan Islam Lamisan: kaum terpelajar yang berlagak bijak namun rela menjilat demi menyelamatkan diri sendiri.
         Keyakinan SATV dengan Misbach sebagai ideologinya, membuat Islam lebih ‘bergerak.’ Misbach kondang bukan sekadar tablighnya, ia menjadi pelaku dari kata-kata keras yang dilontarkannya. Sikap Misbach ini segera menjadi tren, apalagi secara kelembagaan, SATV melibatkan para pedagang batik dan generasi santri yang lebih muda.
         SATV adalah perhimpunan muslimin yang merasa dikhianati oleh kekuasan keagamaan, manipulasi pemerintah, dan para kapitalis. Militansi SATV berasal keinginan kuat untuk membtktikan keislamannya dengan tindakan nyata. Di mata pengikut SATV, muslim mana pun perbuatannya mengkhianati kata-katanya berarti muslim gadungan.
         Pertikaian ini membuat hubungan Misbach dengan Tjokroaminoto dan SI-nya menjadi retak. Apalagi, pada kurun itu posisi Tjokro sebagai pemimpin besar Central Sarekat Islam (CSI) sedang guncang akibat makin gencarnya serangan politik oleh SI Semarang di bawah pimpinan Semaoen dan Darsono yang juga aktivis merah Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) yang kelak menjad Partai Komunis Indonesia (PKI).

Dari Muhammadiyah ke Komunis
         Misbach makin mesra dengan para aktivis komunis Semarang, Semaoen, dan kawan-kawan. Bersama-sama, mereka senantiasa mengusik kemapanan Tjokroaminoto dan CSI-nya. Misbach menyerang Tjokro soal disiplin partai: pelarangan anggota SI merangkap keanggotaan organisasi lain. Kebijakan ini membuat SI Semarang, yang kebanyakan juga aktivis ISDV, tersingkir dan membentuk SI tandingan berpaham komunis. Mereka itu diantaranya adalah Semaoen, Darsono, serta Muhammad Kasan. Juga Mas Marco, Tan Malaka, dan Misbach sendiri. Menyikapi konflik ini, Misbach menulis di Medan Moeslimin dengan judul keras, “Semprong Wasiat: Partijdiesipline SI Tjokroaminoto Mendjadi Racun Pergerakan Rakjat India.”
         Sementara itu, SI Semarang membentuk SI Merah sebagai tandingan. Ketika organisasi ini menjelma menjadi Partai Jomunis Hindia (selanjutnya menjadi PKI), Misbach pun membentuk cabangnya di Surakarta. Misbach yang kecewa dengan sikap politik CSI dan Muhammadiyah yang dianggapnya lembek, kompromis, bahkan munafik, memilih bergabung dengan organisasi radikal.
         Maret 1918, Misbach masuk ke Insulinde, organisasi Tjipto Mangoenkoesoemo yang juga pendiri Indische Partij (IP). Pada Desember 1918, Misbach terpilih menjadi wakil ketua Insulinde Surakarta mendampingi Nyonya Voel, istri Tjipto. Tjipto sendiri tidak bisa menjadi ketua karena sebagai anggota Volksraad (Dewan Rakyat) ia harus menetap di Batavia selama lebih dari setengah tahun.
         Insulinde inilah yang membuat jalan Misbach untuk berhubungan langsung dengan rakyat kecil kian lapang. Keintimannya dengan komunis dan Insulinde membikin Misbach kian radikal. Ia membuat kartun di Islam Bergerak edisi 20 April 1919. Isinya menohok kapitalisme Belanda yang menghisap petani, memperkerja-paksakan mereka, memberi upah kecil, membebanh pajak. Residen Surakarta digugat, Pakubuwono X juga disentil karena ikut-ikutan menindas. Aksi Misbach ini memicu kesadaran dan keberanian petani untuk mogok kerja.
         Misbach mendukung Perkoempoelan Kaoem Boeroeh dan Tani (PKBT) dengan menyokong dana menyediakan kantor PKBT. Selanjutnya, Misbach aktif memobilisasi di daerah-daerah di Jawa Tengah, seperti di Kartasura, Banyudono, Ponggok, dan Tegalgondo.
         Untuk menggelorakan radikalisasi semangat rakyat, Misbach sering menulis artikel atau berpidato dengan penuh semangat. Dengan gaya mubalighnya yang khas, Misbach berkata dihadapan para rakyat buruh-tani:
“Kita manusia diwajibkan menjaga supaya jangan ada orang terus-menerus melakukan perbuatan yang tidak benar. Jika kita beriman, tentulah kita tidak syak lagi mengindahkan firman Tuhan itu meski kita dibenci oleh orang yang berbuat salah itu. Kita diwajibkan membenarkan pola, dengan tidak memandang bangsa, dan tidak memandang pangkat besar atau kecil, kendati raja-raja atau pemerintah negeri dan ulama-ulama atau kyai-kyai, tidak peduli siapa juga jika ia punya perbuatan tidak dengan sebenarnya, kita wajib membenarkan. Nah! Sekarang nyatalah bahwa perintah Tuhan kita orang diwajibkan menolong kepada barang siapa saja yang dapat tindasan, hingga mana kita wajib perang juga jika tindasan itu belum dihentikannya.”
       Ekstremitas sikap Misbach membuatnya dipenjarakan pada 7 Mei 1919. Misbach dibebaskan pada 22 Oktober 1919 atas bantuan para aktivis National Indische Partij-Sarekat Hindia (NIP-SH, organisasi pengganti Insulinde).
       Untuk merayakan kebebasan Misbach, NIP-SH Surakarta mengadakan pesta selama beberapa malam. Potret besar Misbach dipajang, pidato-pidato penghormatan untuknya terdengar bersahutan, musik didendangkan, dan puspa ragam makanan lezat dihidangkan. Mobil-mobil mewah disewa untuk diparadekan di pusat pemerintahan di kota Solo.
       Tak lama setelah bebas, Misbach menggantikan posisi Nyonya Vogel sebagai pemimpin NIP-SH Surakarta. Di tangan Misbach, NIP-SH kembali bernyali. Ditegaskan Misbach, tujuan Sarekat Hindia (SH) adalah berjuang melawan pemerintah dan berdaya upaya mewujudkan kemerdekaan Hindia, seperti yang terangkum dalam pidatonya:
“SH akan melawan dengan sekuat-kuatnya segala tindasan dan hisapan baik dari pihak manapun juga. SH memujikan serta mengharap kepada sekalian perhimpunan rakyat Hindia akan bekerja berat bersama dengan SH menyusun maksud mencapai kemerdekaan tanah Hindia…. Coba ingatlah, siapakah yang punya tanah ini, toh bukan Ratu atau Gouvernement; mana ada Ratu atau Gouvernement punya tanah, toh tidak? Dan ingatku lagi: tanah ini dulu-dulunya yang punya toh embah-embah kita sendiri, jadi kita haruslah memikirkan kembali itu tanah.”
      Gerakan radikal Misbach membikin pemerintah kembali meradang. Pada 16 Mei 1920, Misbach ditangkap di Stasiun Balapan Solo sewaktu hendak melanjutkan tur propagandanya ke Kebumen. Misbach dibui lagi, kali ini selama dua tahun tiga bulan di penjara Pekalongan. Misbach dibebaskan pada 22 Agustus 1922, dan ia langsung kembali ke rumahnya di Kauman Surakarta.

Haji Merah di Tanah Merah
      Pada akhir 1922, Misbach memutuskan hubungan dengan Muhammadiyah dan pada Maret 1923 ia sudah muncul sebagai propagandis PKI dan mulai berbicara ihwal keselarasan Islam dan Komunisme.
      Dua kali dipenjara tidak membuatnya jera. Bahkan, kini Misbach menjadi lebih ekstrim: berjihad dengan jalan perang. Sepanjang tahun 1923, terjadi banyak kerusuhan di Jawa. Bom meledak di mana-mana, kereta api digulingkan, banyak orang berani melemparkan kotoran ke kantor pemerintah, mencopoti potret Ratu Wilhelmina, serta melumurinya dengan kotoran dan kalimat celaan.
       Di Surakarta sendiri, pada Oktober 1923, menjelang dan sesudah Sekaten, sejumlah rumah dibakar. Bangsal perayaan sekaten dirobohkan. Pamflet stensilan dengan simbol palu-arit di atas gambar tengkorak manusia disebarluaskan orang-orang tak dikenal. Pamflet itu isinya mengingatkan orang agar tidak menghadiri sekaten. Di pedesaan, tempat pengeringan tembakau dibakar.
       Sementara itu, para pangeran Kasunanan dan pejabat tinggi yang ketakutan menebar cerita. Mereka menuding Misbach berada di balik serangkaian kejadian itu. Misbach disebut-sebut telah membentuk “Bandieten Bond” atau serikat bandit, melatih prajurit untuk melakukan pengeboman, pembakaran rumah, perampokan, penggelinciran kereta api, dan aksi teror lainnya.
       Pemerintah segera bertindak. Polisi menangkapi orang-orang yang dicurigai, terutama Misbcah yang diciduk pada 20 Oktober 1923 dan akhirnya ditahan di pusat penjara di Semarang. Pada 27 Juni 1924, pemerintah mengumumkan pembuangan Misbach ke Manokwari di Nieuw Guinea Utara (sekarang Papua).
       Awal Juli, Misbach dipindahkan dari Semarang ke Surabaya dan selanjutnya pada 18 Juli, ia diberangkatkan ke ujung timur Indonesia itu. Istri dan ketiga anak Misbach yang masih kecil-kecil menyertainya menuju tanah pembuangan di Manokwari. Misbach beserta keluarganya meninggalkan Jawa dalam keterpencilan.
       Di pulau pamungkas wilayah Indonesia itulah Misbach juga memungkasi panjang perjalanan juangnya. Misbach meninggal pada 24 Mei 1926 dan dikuburkan di Penidi, Manokwari.
       Misbach terlampau kebal dihabisi kekuatan kolonial. Ia wafat bukan karena tembakan pelor polisi pemerintah, ataupun mati di tiang gantungan layaknya para ekstrimis kelas kakap. Seekor nyamuk telah menanamkan maut malaria di raga Misbach. Inilah saatnya sang haji merah beristirahat, dengan tetap menjaga kemurkaannya terhadap jejaring siluman iblis kapitalisme.

Sumber tulisan: Buku Saku, terbitan Jogjakarta.
Penulis: Iswara NR. (Periset dan Sejarahwan Muda).

2 komentar:

  1. h misbach berjuang dan berakhir di kesunyianas ada contac yg bisa d hubungi? saya tertarik sama crrita ini

    BalasHapus