Oleh Dr Asvi Warman Adam, ahli peneliti utama LIPI di Jakarta.
Dalam seminar PDRI yang diadakan Universitas Andalas di Padang 26 Juli 2006, Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan bahwa dirinya ditugasi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengkaji tentang presiden-presiden Republik Indonesia. Hal itu tentu berkaitan pula dengan kewajiban yang harus dibayarkan oleh Mensesneg terhadap para (mantan) presiden tersebut.
Selain dari pensiun, hak-hak lain seperti rumah, sebuah sumber menyebutkan, mantan presiden memperoleh rumah senilai Rp 20 miliar. Selain dari memiliki hak-hak materiil, status sebagai (mantan) presiden itu mempunyai implikasi dalam penulisan dan pengajaran sejarah. Sebab, ada tokoh-tokoh yang tidak disinggung dalam pendidikan sejarah di sekolah, padahal mereka seharusnya digolongkan sebagai presiden, yakni Sjafruddin Prawiranegara dan Assaat.
Selama ini terjadi kekeliruan sejarah pada tulisan yang disampaikan di berbagai media massa bahwa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) adalah presiden ke-6 RI (Republika Indonesia). Anggapan umum bahwa tokoh yang pernah menjadi presiden RI berturut-turut adalah Soekarno, Soeharto, Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, dan kini SBY.
Sebuah surat kabar menulis bahwa masa jabatan Presiden Soekarno berlangsung mulai 18 Agustus 1945 sampai dengan 22 Februari 1967. Dalam hal ini ada dua tokoh yang terlewat, yaitu Sjafruddin Prawiranegara dan Assaat.
Keduanya tidak disebut, bisa karena alpa, tetapi mungkin juga disengaja. Sjafruddin Prawiranegara tidak disebut karena dia kemudian dianggap terlibat PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia). Sedangkan Assaat jarang disebut karena tidak dipahami bahwa dia menjabat kepala negara saat RI menjadi bagian dari RIS (Republik Indonesia Serikat).
PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia)
Akhir 1948 Belanda melakukan agresi militer kedua. Soekarno-Hatta mengirimkan telegram berbunyi, "Kami, Presiden Repoeblik Indonesia memberitakan bahwa pada hari Minggoe tanggal 19 Desember 1948 djam 6 pagi Belanda telah mulai serangannja atas ibu kota Yogyakarta. Djika dalam keadaan Pemerintah tidak dapat mendjalankan kewadjibannja lagi, kami mengoeasakan kepada Mr Sjafruddin Prawiranegara, menteri kemakmoeran RI oentoek membentoek Pemerintahan Daroerat di Soematera."
Telegram itu tidak sampai ke Bukittinggi saat itu, namun ternyata pada saat bersamaan Sjafruddin Prawiranegara telah mengambil inisiatif yang senada. Dalam rapat di sebuah rumah dekat ngarai Sianok, Bukittinggi, 19 Desember 1948, dia mengusulkan pembentukan suatu pemerintah darurat (emergency government). Gubernur Sumatera Mr T.M. Hasan menyetujui usul itu "demi menyelamatkan Negara Republik Indonesia yang berada dalam bahaya, artinya kekosongan kepala pemerintahan, yang menjadi syarat internasional untuk diakui sebagai negara."
PDRI dijuluki penyelamat republik. Dengan mengambil lokasi somewhere in the jungle di daerah Sumatera Barat dibuktikan bahwa Republik Indonesia masih eksis meskipun para pemimpin Indonesia seperti Soekarno-Hatta telah ditangkap Belanda di Jogjakarta. Sjafruddin Prawiranegara menjadi ketua PDRI dan kabinetnya terdiri atas beberapa menteri. Meskipun istilah yang digunakan waktu itu "Ketua", kedudukannya sama dengan presiden.
Saat itu opsi berikutnya yang diberikan oleh Soekarno-Hatta adalah pembentukan pemerintahan di luar negeri (dalam hal ini di India). Kalau itu terjadi, mungkin dapat disebut sebagai government in exile. Tetapi, PDRI bukanlah government in exile, melainkan kelanjutan dari Republik Indonesia yang presiden dan wakil presidennya ditawan oleh Belanda.
Apakah Sjafruddin Prawiranegara dan Assaat bertindak sebagai kepala negara atau kepala pemerintahan, itu dapat didiskusikan. Yang jelas, mereka berfungsi sebagai presiden Republik Indonesia.
Sjafruddin menyerahkan mandatnya kepada Presiden Soekarno pada 13 Juli 1949 di Jogjakarta. Dengan demikian berakhir riwayat PDRI yang selama kurang lebih delapan bulan melanjutkan esksistensi Republik Indonesia sebagai negara bangsa yang sedang mempertahankan kemerdekaan dari agresor Belanda yang ingin kembali berkuasa.
RI Bagian RI Serikat
Dalam perjanjian KMB (Konferensi Meja Bundar) yang ditandatangani di Belanda 27 Desember 1949 diputuskan bahwa Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS). RIS terdiri atas 16 negara bagian yang salah satu di antaranya Republik Indonesia. Negara bagian lain, misalnya, Negara Pasundan dan Negara Indonesia Timur.
Karena Soekarno dan Hatta telah ditetapkan menjadi presiden dan perdana menteri RIS, berarti terjadi kekosongan pimpinan pada Republik Indonesia. Assaat adalah pemangku sementara jabatan Presiden RI. Peran Assaat sangat penting. Kalau tidak ada RI saat itu, berarti ada kekosongan dalam sejarah Indonesia bahwa RI pernah menghilang dan kemudian muncul lagi. Namun, dengan mengakui keberadaan RI dalam RIS yang hanya beberapa bulan, tampak bahwa sejarah Republik Indonesia sejak 1945 tidak pernah terputus sampai kini.
Kita ketahui bahwa kemudian RIS melebur menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 15 Agustus 1950. Itu berarti, Assaat pernah memangku jabatan Presiden RI sekitar sembilan bulan.
Selama memangku jabatan, Assaat menandatangani statuta pendirian Universitas Gadjah Mada di Jogjakarta. "Menghilangkan Assaat dari realitas sejarah kepresidenan Republik Indonesia sama saja dengan tidak mengakui Universitas Gadjah Mada sebagai universitas negeri pertama yang didirikan Republik Indonesia," ujar Bambang Purwanto dalam pidato pengukuhan sebagai guru besar UGM September 2004.
Jabatan Assaat sebagai pemangku jabatan presiden RI saat RI menjadi bagian dari RIS jelas tidak sama dengan posisi acting presiden yang pernah dijabat oleh Leimena beberapa waktu pada 1960-an ketika Presiden Soekarno melakukan kunjungan ke luar negeri.
Sjafruddin Prawiranegara dan Assaat jelas menduduki posisi sebagai presiden Republik Indonesia. Kalau tidak ada PDRI atau RI sewaktu jadi bagian dari RIS, berarti dalam perjalanan sejarah, republik ini pernah menghilang (lalu muncul lagi).
Dengan demikian, SBY adalah presiden ke-8 RI. Urutan presiden RI sebagai berikut: Soekarno (diselingi Sjafruddin Prawiranegara dan Assaat), Soeharto, B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono.
Menjelang 17 Agustus 2006 diharapkan sudah keluar keputusan presiden mengenai urutan presiden-presiden Republik Indonesia.
Sumber: Harian Jawa Pos.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar