Oleh Dr Asvi Warman Adam, ahli peneliti utama LIPI di Jakarta
Kebanyakan pahlawan nasional adalah orang yang kalah seperti yang terlihat dalam Album Pahlawan Bangsa yang diajarkan di sekolah. Sultan Hasanudin yang melawan penjajah akhirnya ditundukkan dan meninggal (1670). Sultan Agung Tirtayasa berpulang dalam penjara di Batavia (1692). Syekh Yusuf dari Goa, Sulawesi Selatan, di buang ke Afrika Selatan dan meninggal di sana (1699).
Untung Surapati yang dikalahkan musuh di Bangil, Pasuruan, terluka berat dan akhirnya meninggal (1706). Raja Haji dari Riau terkena tembakan dalam pertempuran di Teluk Ketapang (1784). Kapitan Pattimura dihukum gantung di depan Benteng Victoria, Ambon, 1817. Martha, Christina Tiahahu ditangkap Belanda dan dibawa ke Pulau Jawa. Dalam perjalanan, dia meninggal (1818) dan jenazahnya dilempar ke Laut Maluku antara Pulau Buru dan Pulau Tiga. Paku Buwono VI meninggal dalam pengasingan di Ambon (1849).
Juga, Imam Bonjol dan Diponegoro kalah serta dibuang ke Sulawesi. Nyi Ageng Serang yang berjuang bersama Diponegoro ditandu dalam perang.
Ketut Jelantik gugur dalam pertempuran melawan Belanda di sekitar Karang Asem (1849). Sultan Badaruddin II dari Palembang meninggal dalam pembuangan di Ternate (1852). Raden Inten (Lampung) disergap Belanda yang menjanjikan perundingan. Dia tewas dalam perlawanan yang tidak berimbang (1856). Cut Nyak Dien diasingkan ke Sumedang. Tengku Cik Di Tiro meninggal karena diracun (1891).
Teuku Umar gugur dalam pertempuran di Meulaboh (1899). Cut Meuthia tertembak di Pasai (1910). Si Singamangaraja tewas ketika melawan Belanda (1907). M.H. Thamrin meninggal dalam status tahanan rumah (1941). KH Zaenal Mustofa dari Singaparna, Jawa Barat, yang melawan Jepang dijatuhi hukuman mati (1944). Menteri Negara Otto Iskandar Di Nata adalah "orang hilang" pertama dalam sejarah Republik Indonesia. Kasus tersebut diduga terjadi pada Desember 1945 dan baru 14 tahun kemudian di sidangkan. Ngurah Rai gugur dalam pertempuran di Bali (1946).
Tengku Amir Hamzah, raja penyair Pujangga Baru dan asisten residen di Langkat, menjadi korban revolusi sosial di Sumatera Timur (1946). KH Mas Mansur meninggal pada 1946 dalam Penjara Kalisosok, Surabaya. Gubernur Jawa Timur R.M. Suryo terbunuh pada September 1948 di Ngawi. Dr Ratulangie wafat dalam tawanan Sekutu (1949).
Menteri Pembangunan dan Pemuda Supeno ditembak mati oleh Belanda di Nganjuk, Jawa Timur, 1949. Wolter Mongonsidi menjalani eksekusi pada 1949. Dia meninggalkan catatan di secarik kertas, "Setia hingga akhir dalam keyakinan". Dr Muwardi tewas dalam kemelut politik semasa revolusi di daerah Solo (1948).
Simak pula, misalnya, Wahid Hasyim, ayah Gus Dur, meninggal dalam kecelakaan mobil di Cimahi (1953). Jos Sudarso tewas di Laut Aru bersama tenggelamnya Kapal Macan Tutul (1962) saat perjuangan membebaskan Irian Barat.
Empat perwira Angkatan Udara tewas karena pesawatnya jatuh atau ditembak musuh, yaitu Adisutjipto, Abdulrahman Saleh, Iswahyudi, dan Halim Perdanakusumah. Dua orang tidak diketahui di mana kuburannya, yaitu Tan Malaka dan Supriyadi. Frederick Lasut ditembak polisi militer Belanda pada 1949 di Pake, Jogjakarta.
Sementara itu, enam jenderal dan empat perwira terbunuh oleh militer dalam percobaan kudeta yang terjadi pada 1 Oktober 1965. Mereka disebut "pahlawan revolusi" tanpa alasan yang jelas. Setelah ditahan sekian lama di penjara dalam keadaan lumpuh, Sutan Sjahrir dikirim berobat ke Swiss. Namun, keadaannya tidak tertolong lagi. Dia berpulang pada 1966.
Pada 6 Oktober 1966, Martadinata tewas dalam kecelakaan helikopter di Riung Gunung, Puncak, Jawa Barat. Dua Marinir digantung di Singapura pada 17 Oktober 1968. Meskipun pemerintah Indonesia sudah meminta keringanan hukuman karena keduanya tertangkap ketika melakukan tugas negara sewaktu konfrontasi, pejabat Singapura tidak menggubris.
Last but not least, Soekarno, proklamator dan presiden pertama RI, meninggal pada Juni 1970 dalam status "tahanan rumah" rezim Orde Baru.
Di antara seratusan pahlawan nasional, hanya sepuluh orang yang perempuan, termasuk Ny Tien Soeharto. Dalam hal ini, aktivis perempuan tidak meminta jatah 30 persen pahlawan seperti kuota anggota parlemen. Di Indonesia, masalah pahlawan diurus Departemen Sosial seperti halnya pengungsi dan korban bencana alam. Apakah ada kesengajaan membaurkan urusan tersebut?
Pengangkatan pahlawan perlu ditinjau kembali. Kalau dikaitkan semata-mata dengan perang melawan Belanda, kenyataannya, para tokoh itu kalah. Di lain pihak, Belanda hanya sebuah negara kecil di Eropa. Kalah-menang, kita hanya berurusan dengan negara cilik. Bandingkan dengan Vietnam, misalnya, yang bisa bertahan seribu tahun menghadapi Tiongkok dan puluhan tahun berjuang melawan adidaya Prancis serta Amerika Serikat.
Karena itu, pahlawan sebaiknya dihubungkan pual, misalnya, dengan ikrar penyatuan Indonesia. Gadjah Mada dengan Sumpah Palapa bisa diangkat menjadi pahlawan nasional. Demikian pula dengan Raja Sriwijaya. Betapa tipisnya pengetahuan kita, misalnya, tentang tokoh sebesar Gadjah Mada yang tergambar dalam pertanyaan Prof Ayatrohaedi kepada peserta program pascasarjana sejarah. Siapa istri Gadjah Mada?
Tidak seorang pun bisa menjawab. Mang Ayat melanjutkan cadanya, "Istri Gadjah Mada ya tentu Nyonya Gadjah Mada."
Bila dicari pahlawan pada era modern, tentulah masuk dua presiden yang dilupakan dalam sejarah Indonesia, yaitu Sjafrudin Prawiranegara (ketua PDRI) dan Assa'at (pemangku jabatan presiden RI sewaktu menjadi bagian dari Republik Indonesia Serikat).
Keduanya memimpin dan mempertahankan eksistensi negara-bangsa saat krisis. Selain itu, dari etnis Tionghoa, Mayor John Lie telah berjuang menembus blokade musuh demi eksistensi republik pada 1945-1950 -- Pada masa depan, seorang pahlawan -- nasional dari dunia olahraga (bulu tangkis) tentu mungkin. Itu berarti akan memilih pahlawan yang menang.
Munir juga layak diangkat sebagai pahlawan nasional karena jasanya menegakkan HAM di tanah air, walaupun termasuk tokoh yang dibunuh. Jadi, dia tergolong pahlawan yang kalah juga.
Sumber: harian Jawa Pos.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar