Laman

21 Februari 2009

Dwifungsi Sipil

Oleh: Ariel Heryanto


Tiba-tiba saja dwifungsi ABRI terasa menjadi kadaluwarsa. Mungkin belum benar-benar punah. Biar perlahan-lahan, namun secara meyakinkan ia telah memudar dari cakrawala sejarah.

Tidak jelas apakah masih ada berapa kaum muda Indonesia berusia 20 atau kurang yang tahu apa artinya "dwifungsi ABRI". Padahal, sepuluh tahun lalu istilah itu bertebaran bak iklan sabun. Kedudukannya di pusat jantung kehidupan bangsa-negara Orde Baru. Sepak terjangnya menentukan mati-hidupnya jutaan warga negara.

Sementara dwifungsi ABRI tergusur, tanpa terduga-duga, dwifungsi sipil menjadi marak di mana-mana. Untuk memahami sosok dwifungsi sipil kita perlu menengok kembali sosok induknya: dwifungsi ABRI.

Kalau ada tentara membawa senjata, dan menembak, itu tidak aneh. Ada di mana-mana. Tentara membunuh atau terbunuh dalam perang, juga bisa terjadi di mana-mana. Tapi perwira militer menjadi kepala negara? Tidak banyak di dunia. Perwira militer menguasai parlemen (sebagian lewat kursi gratis dan tidak lewat pemilihan umum), dan menjadi sebagian besar para kepala daerah di sebuah negara luas? Lebih sedikit lagi. Dari yang sedikit ini, termasuk Indonesia di zaman Orde Baru.

Bedanya, di berbagai kawasan dunia yang dipimpin militer, ada rasa kikuk. Mereka tampil dengan rasa malu, karena menempati jabatan yang bukan semestinya. Hampir semua rezim militer menjelaskan bahwa kedudukan mereka bersifat darurat sementara. Biasanya pula mereka mengumbar janji bahwa kekuasaan itu akan dikembalikan kepada pihak sipil bila situasi gawat darurat sudah mereda.

Mungkin hanya di Indonesia di masa Orde Baru, rasa malu dan kikuk itu tidak ada. Juga mungkin hanya di Indonesia ada pemerintahan militer yang tidak merasa kedudukan mereka bersifat darurat sementara. Tidak ada janji segombal apa pun bahwa suatu hari kelak, militer akan mundur secara sukarela dari politik dan menyerahkan pengelolaan negara kepada rakyat sipil.

Semua "kelainan" perilaku militer di masa Orde Baru itu diabsahkan dalam sebuah rumusan yang diberi nama "dwifungsi ABRI". Menurut ideologi ini, ABRI berbeda dari militer lain karena sejarah dan perannya.

Menurut propaganda gagasan ini, ABRI tumbuh dan menyatu dengan rakyat sipil. Maka serdadu tidak perlu dikurung di barak. Perannya tidak hanya mengurus ancaman pertahanan dari luar negeri, atau perang melindungi negara-bangsa. Dengan kata lain, di samping punya fungsi kemiliteran, ABRI punya fungsi lain-lain: mengurus negara dan seluduh kehidupan sosial, budaya, politik, sampai-sampai soal kodrat dan peran ibu dalam keluarga, atau acara pembacaan puisi.

Dengan alasan itu, tentara masuk bank dan menjadi direktur. Para perwira tinggi asyik mengurus bisnis. Di dunia olahraga, serdadu menjadi pimpinan organisasi. Tentara masuk-keluar kampus, dan mengatur kehidupan kampus supaya "normal". Militer bertebaran tidak hanya masuk istana, tapi juga parlemen, pengadilan, dan dalam sengketa industri.

Tidak aneh, seperti kata sarjana Marcus Mietzner, para sedadu kita sebenarnya kurang berminat pada perang dan soal-soal kemiliteran. Selama zaman keemasan dwifungsi ABRI, mereka tidak pernah perang melawan tentara asing. Persenjataan dan kemampuan tempur tidak pernah terbina, maka juga tidak bisa dibanggakan.

Mereka lebih sibuk mempertahankan "stabilitas dan keamanan" sosial-politik-ekonomi yang memberikan kehormatan dan juga kemakmuran material kepada keluarga dan anak cucu. Untuk itu ancaman paling serius yang dihadapi bersumber dalam negeri: rakyat Indonesia yang menolak militerisme, buruh yang menuntut hak-haknya, atau petani yang menolak penggusuran tanah.

Biarpun belum tuntas, semua itu sudah mulai berubah sejak runtuhnya Orde Baru. Biar belum semua, para perwira kita mulai belajar menjadi profesional dalam kemiliteran. Maka tiba-tiba saja, anggaran pertahanan terasa perlu ditingkatkan. Yang tidak kalah pentingnya, mereka juga mulai belahar menghargai hukum, hak asasi, dan kedaulatan rakyat sipil.

Ironisnya, militerisme di masa Orde Baru juga telah menjadi ajang pengembangbiakan "dwifungsi sipil". Orang-orang sipil dididik berjalan, berpakaian, berbicara, berpikir, berperilaku seperti anggota pasukan tempur di medan perang. Gejala sok militer ini bahkan terjadi di sebagian kalangan masyarakat sipil yang mengaku memperjuangkan demokrasi, pernah menjadi bulan-bulanan tentara, dan meneriakkan yel antimiliterisme.

Gejala ini sebagian bersumber dari kebijakan militer untuk memelihara "pasukan swasta". Kebijakan ini punya sejarah panjang melampaui zaman kolonial. Sejak masa itu mereka sudah dikenal dengan istilah "preman".

Tapi itu bukan satu-satunya sumber. Orang-orang sipil yang tidak berdaya menghadapi penindasan sehari-hari di jalan raya, di tempat kerja, di pasar, atau di birokrasi, mulai belajar bertahan dan melawan dengan menggunakan cara-cara yang militeristik.

Di sejumlah provinsi massa menyerbu kantor kejaksaan, kepolisian, atau pengadilan. Di Ibu Kota; maling ayam atau motor yang dibakar hidup-hidup sudah kehilangan nilai berita, karena terlalu sering terjadi. Sidang parlemen yang nyaris menjadi arena baku hantam sempat menjadi berita, tapi tidak berbobot kejutan. Semuanya tidak terjadi tiba-tiba, dan bukan kelainan individual atau musiman.

Dulu tidak aneh jika ada jenderal sibuk berdagang. Sekarang tidak aneh jika ada pedagang yang masuk hotel dengan membawa pistol, dan menembakkan pistol itu ke kepala seorang pekerja di bar gara-gara rekening pembayaran minuman. Ada artis yang menembakkan pistol ke udara karena dikerubung wartawan yang berburu gosip kehidupan pribadinya. Ada warga Nasrani membawa pistol sewaktu mengikuti kebaktian Paskah.

Militerisme ala dwifungsi ABRI sudah ramai dicaci-maki dan ditolak. Hasilnya lumayan. Yang masih perlu mendapat perhatian serius adalah dwifungsi sipil.

Sumber: harian Kompas.

1 komentar: