Laman

15 Februari 2009

Wafa Idris

Oleh: Nong Darol Mahmada


Minggu, 27 Januari 2002. Seorang perempuan yang mengenakan mantel modern bergaya barat, selendang di leher dan dagu, bermata cokelat bagai kulit rusa, berambut ikal panjang, dilengkapi make up yang sempurna, tersenyum hangat dan riang ketika memasuki pusat perbelanjaan di Yerusalem. Ia mendatangi toko sepatu dan pakaian seraya melihat-lihat seperti layaknya pengunjung lain. Tak seorang pun mengira kalau di tas punggungnya terdapat sepuluh kilogram bahan peledak yang dibubuhi banyak paku. Sebuah bom yang mematikan.

Tiba-tiba dia gugup dan bergegas menuju pintu toko, berhenti, lalu memasukkan tangannya ke ransel untuk mengambil bedak dan lipstik. Ketika berusaha menahan pintu dengan satu kaki agar pintu itu tetap terbuka sambil memegang cermin untuk merapikan make up-nya, tasnya tersangkut. Ia berusaha memutar posisi untuk melepas tas, namun tas itu langsung meledak. Bum! Perempuan itu langsung tewas beserta satu orang Israel yang sudah tua serta ratusan orang yang terluka.

Perempuan itu bernama Wafa Idris. Dia menjadi pelaku bom bunuh diri perempuan pertama dalam Islam. Di pagi hari sebelum bom meledak, almarhum Yasser Arafat, pemimpin Palestina saat itu, berpidato mengobarkan semangat kesyahidan kepada lebih dari seribu perempuan Palestina, “Kalian adalah Pasukan Mawarku yang akan menghancurkan tank-tank Israel.” Kalimat itu langsung direspons Wafa di sore harinya. Ia menjadi syahidah pertama, Pasukan Mawar Arafat. Peran yang mungkin luhur dan mulia. Kisah ini diceritakan dengan detail oleh Barbara Victor dalam bukunya Army of Roses.

Sejak saat itu, peran perempuan Palestina berubah. Mereka tak lagi menjadi ibu yang terpaksa melepas putranya ditawan, isteri yang merelakan suaminya raib, saudari yang menyaksikan saudaranya tewas diterjang peluru atau meledakkan diri. Mereka mulai memilih opsi meledakkan diri dan mengambil posisi setara dengan lelaki yang selama ini melakukan peran itu. Mereka konon akan mendapat imbalan yang sama: kemuliaan hidup di surga.

Untuk perempuan seperti Wafa yang miskin dan dicerai suami karena tak bisa punya anak—alasan yang cukup untuk membuat perempuan merasa tidak berharga—kesetaraan dan imbalan surga adalah inti dari harapan yang benar-benar memikat. Bom bunuh diri menjadi jalan satu-satunya untuk menjadi perempuan sempurna (al-mar’ah al-kamilah).

Namun, kesetaraan untuk Wafa benar-benar pantas diragukan. Seperti ditulis Barbara, di tempat dimana pemahaman Islam masih sangat konservatif, tak sepenuhnya laki-laki dapat menerima perempuan sebagai sesama, atau menghormati mereka sebagai prajurit yang berkedudukan setara dengan mereka. Hubungan antara calon syahidah dan laki-laki yang merekrut, membujuk, serta melatihnya, sudah berbeda sejak awal hanya karena ia perempuan. Perempuan seperti Wafa mungkin hanya “dimanfaatkan” untuk menjadi martir.

Begitu pula dengan imbalan surga. Tak ada imajinasi tentang surga buat perempuan. Selama ini, tata kehidupan surgawi digambarkan dengan sangat maskulin. Tak heran bila laki-laki yang memilih bom bunuh diri sangat mendambakan kehidupan di sana. Mereka meyakini, ketika jasad lepas dari raga, empat puluh bidadari akan menyambut dan mereka akan tinggal di sana selamanya dengan pelayanan bidadari-bidadari itu.

Kita tak tahu, bagaimana nuansa surga tatkala menerima jasad syahidah. Akankah ia disambut empat puluh bidadara (istilah nenek saya ketika menyebut bidadari laki-laki)?

Saya menghormati Wafa karena keberaniannya memilih cara mati seperti itu. Mungkin juga itu sesuai dengan kondisi negerinya. Namun pilihan Wafa itu hendaknya tidak menginspirasi perempuan-perempuan lain untuk ikut serta. Pilihan medan juang untuk setara, tentu banyak jalannya. Begitu juga dengan cara berjihad. Ada banyak pintu menuju surga, kata Cak Nur. Kita pun tak pernah tahu, seperti apa surga buat kaum perempuan. Jadi, sudah selayaknya kita membuat surga di dunia.

Sumber:
http://kedai-kebebasan.org,
harian Jawa Pos.

1 komentar: