Laman

22 September 2009

Bagaimana Menulis Sejarah Timor Timur

Oleh: Aswi Warman Adam


Tanggal 30 Agustus 2001, Timor Timur melakukan pemilihan umum. Peristiwa ini termasuk rangkaian kegiatan dalam rangka membentuk pemerintahan baru di wilayah tersebut. Kini sudah terbentuk negara baru Timor Lorosae yang menjadi tetangga baru Republik Indonesia.

Hubungan bertetangga pada masa datang akan dipengaruhi oleh persepsi kedua belah pihak tentang sejarah masa lalu. Dengan kata lain, memori kolektif kedua bangsa akan menentukan sifat serta keeratan atau kerenggangan hubungan tersebut. Hal ini akan tampak dari penulisan sejarah pada masing-masing negara. Tindakan serupa seperti halnya protes Korea Selatan terhadap Jepang mengenai sejarah Perang Dunia II, mungkin saja akan timbul di Dili bila sejarah Indonesia mengenai Timor Timur ditulis masih dengan pendekatan rezim Orde Baru.

Masalah penulisan sejarah Timor Timur ini pernah didiskusikan di Coimbra (universitas tertua di Portugal yang didirikan abad XI), dekat Lisabon. Dalam kesempatan itu Gerry Klinken, yang menjadi editor Inside Indonesia, Australia,—mengutip pernyataan Antero Benedito da Silva, mahasiswa Timor Timur yang mendapat International Student Peace Prize di Trondeim, Norwegia, Maret 1999—mengatakan bahwa selama ini sejarah Timor Timur adalah sejarah terlarang (forbidden history). Gerry mencoba melihat masalah ini sebagai perang sejarah di Indonesia pasca Soeharto yang melibatkan kekuasaan, kebenaran dan memori.

Profesor Henk Schulte Nordholt dari Universitas Amsterdam menghubungkan masalah ini dengan campur tangan negara yang terlampau jauh dalam penulisan sejarah. Sembari mengatakan bahwa di seluruh dunia, mungkin Indonesia adalah negara yang paling banyak memiliki pahlawan, ia mengatakan sejarah yang masih ditulis dengan pendekatan “negara” tidak ubahnya dengan sejarah kolonial. Kalau perlu ia malah mengusulkan—secara provokatif—agar ditulis “history against state.”

Akihisa Matsuno dari Osaka University of Foreign Studies, mencoba mengaitkan penulisan kembali sejarah Timor Timur dengan rekonsiliasi sesudah referendum. Ia mengatakan bahwa perlu dikonsensuskan penulisan sejarah Timor Timur yang dilakukan di Indonesia dengan yang dibuat nantinya di Timor Timur sendiri. Kalau bertolak belakang, jelas hal itu memiliki dampak buruk bagi hubungan bertetangga.

Saya melihat dari sudut pandang Indonesia. Betapa sulitnya menulis kembali sejarah Timor Timur. Bagaimana kita memandang masa seperempat abad di Timor Timur: sebagai pendudukan, penjajahan atau integrasi suatu wilayah dengan Indonesia? Selama ini dilakukan pembangunan fisik yang luar biasa di provinsi itu: apa arti semuanya itu? Apa gunanya anggaran pembangunan yang telah dikucurkan Jakarta demikian besar selama 25 tahun ini? Diplomasi kita banyak tersita oleh perkara ini.

Bagaimana kita menganggap tentang Indonesia yang tewas di sana, sebagai martir, pahlawan atau tentara penjajah? Mereka jelas telah gugur dalam menjalankan tugas negara. Apakah perjuangan atau pengorbanan mereka sia-sia belaka? Hikmah sejarah apa yang bisa ditarik dari peristiwa ini? Perjuangan semasa revolusi 1945-1949 relatif membuahkan hasil karena menggabungkan dua pendekatan: diplomasi dengan gerilya. Apakah dapat dikatakan bahwa kegagalan 25 tahun di Timor Timur karena tidak sinkronnya upaya diplomasi kita di luar negeri dengan operasi militer yang dilakukan aparat keamanan Indonesia di lapangan? Menurut saya, dari perspektif HAM, sejarah Timor Timur lebih banyak berisi noda hitam militer Indonesia, yang seyogyanya tidak disambung di Aceh (dan Papua).

Perdebatan mengenai lepas Timor Timur dari Indonesia merupakan obyek kajian sejarah yang menarik. Apakah itu keberhasilan atau kegagalan Habibie? Bukankah di kalangan orang-orang dekatHabibie, Timor Timur itu dianggap semacam “krikil di dalam sepatu”, yang perlu dikeluarkan. Ataukah semua itu “kesalahan PBB”? Siapa sebetulnya yang berperan sangat menentukan apakah penasihat politik Presiden atau Jenderal Wiranto yang memiliki garis komando sampai ke bawah. Apakah yang terjadi setelah referendum tahun 1999 merupakan bagian dari “politik bumi hangus”? [Dalam memoar B.J. Habibie, Detik-detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi, yang terbit pada September 2006, persoalan Timor Timur diulas secara panjang, hlm. 223-265. Lihat juga tulisan “Buku putih dan Kambing Hitam 1998” dalam buku ini].

Di dalam suplemen untuk guru sejarah di sekolah yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan tahun 1999, masalah Timor Timur masih didekati dengan perspektif lama. Sampai hari ini kasus Timor Timur masih dianggap sebagai persoalan integrasi yang “sesuai dengan aturan/perundangan yang ada,” demikian dalih buku yang dipergunakan rezim Orde Baru. Kasus pembunuhan di depan Makam Santa Cruz tidak disebut sekalipun dalam suplemen untuk guru tersebut. Bukankah itu berarti kita menutup-nutupi sejarah?

Sejarah Timor Timur ini sangat penting bagi Indonesia, karena itu akan memperlihatkan bagaimana kita memandang orang atau bangsa lain, sekaligus juga bagaimana kita menilai tindakan kita selama ini. Tidak mudah memang, karena kita betul-betul terlihat dalam persoalan yang memakan demikian banyak dana, energi dan pikiran.

Bagi rakyat Timor Timur sendiri tentu perlu sejarah nasional yang menunjukkan identitas mereka sebagai sebuah negara. Persoalan bahasa tentu berkaitan pula dengan sejarah dan ingatan kolektif.

Meskipun dewasa ini sedang menghadapi persoalan dalam negeri yang sangat kompleks, pemulihan ekonomi dan persoalan disintegrasi bangsa, tetapi tentu kita tidak boleh lepas tangan atau sama sekali melupakan masa pahit-manis selama ¼ abad di bumi Lorosae. Pertanyaan yang penting: beranikah kita mengakui bahwa kita adalah bangsa yang lama terjajah dan ternyata juga pernah menjajah?

1 komentar: