Laman

07 Januari 2011

Malari 1974 dan Sisi Gelap Sejarah

Kekerasan di Indonesia hanya dapat dialami dan dirasakan (akibatnya). Tetapi tidak untuk diungkap secara tuntas. Berita di koran hanya menyingkap fakta yang bisa dilihat dengan mata telanjang. Untuk kasus 15 Januari 1974 yang lebih dikenal dengan "Peristiwa Malari", tercatat sedikitnya 11 orang meninggal, 300 luka-luka, 775 orang ditahan. Sebanyak 807 mobil dan 187 sepeda motor dirusak/dibakar, 144 buah bangunan rusak berat. Sebanyak 160 kg emas hilang dari sejumlah toko perhiasan.


Peristiwa itu terjadi ketika Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka sedang berkunjung ke Jakarta (14-17 Januari 1974). Mahasiswa merencanakan menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Halim Perdanakusuma. Karena dijaga ketat, rombongan mahasiswa tidak berhasil menerobos masuk pangkalan udara. Tanggal 17 Januari 1974 pukul 08:00, PM Jepang tersebut berangkat dari Istana tidak dengan mobil, melainkan diantarkan oleh Presiden Soeharto dengan helikopter dari Gedung Bina Graha ke pangkalan udara. Itu memperlihatkan bahwa suasana Kota Jakarta masih mencekam.

Peristiwa Malari dapat dilihat dari berbagai perspektif. Ada yang memandangnya sebagai demonstrasi mahasiswa menentang modal asing, terutama Jepang. Beberapa pengamat melihat peristiwa itu sebagai ketidaksenangan kaum intelektual terhadap Aspri (asisten pribadi) Presiden Soeharto (Ali Moertopo, Soedjono Humardani, dll) yang memiliki kekuasaan teramat besar. Ada pula analisis tentang friksi elite militer, khususnya rivalitas Jenderal Soemitro dengan Ali Moertopo. Sebagaimana diketahui, kecenderungan serupa juga tampak di kemudian hari dalam kasus Mei 1998 (Wiranto versus Prabowo). Kedua kasus ini--meminjam ungkapan Chalmers Johnson (Blowback, 2000)--dapat kiranya disebut permainan "jenderal kalajengking" (scorpion general).

Setelah terjadi demonstrasi yang disertai di tempat lain dengan kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan, maka Jakarta pun menjadi berasap. Soeharto memberhentikan Soemitro sebagai Pangkomkamtib dan langsung mengambil alih jabatan tersebut. Aspri Presiden dibubarkan. Kepala BAKIN Soetopo Juwono didubeskan dan diganti Yoga Sugama.



Bagi Soeharto, kerusuhan 15 Januari 1974 telah mencoreng keningnya karena peristiwa itu terjadi di depan hidung tamu negara, PM Jepang. Malu yang tak tertahankan itu menyebabkan ia untuk selanjutnya amat waspada terhadap semua orang/golongan serta melakukan sanksi tak berampun terhadap pihak yang bisa mengusik pemerintah. Selanjutnya ia sangat selektif memilih pembantu dekatnya, antara lain dengan kriteria "pernah jadi ajudan Presiden". Segala upaya dijalankan untuk mempertahankan dan mengawetkan kekuasaan, baik secara fisik maupun secara mental.

Jadi dari sudut ini, peristiwa 15 Januari 1974 dapat disebut sebagai salah satu tonggak sejarah kekerasan Orde Baru. Sejak itu represi dijalankan secara lebih sistematis.

Malari sebagai Wacana

Di dalam buku Otobiografi Soeharto (1989), kasus Malari 1974 dilewatkan begitu saja, tidak disinggung sama sekali. Padahal mengenai Petrus (penembakan misterius), Soeharto cukup berterus terang.

Dalam Memori Jenderal Yoga (1990), peristiwa itu digambarkan sebagai klimaks dari kegiatan mahasiswa yang telah berlangsung sejak tahun 1973. Yoga Sugomo berada di New York ketika terjadi kerusuhan 15 Januari 1974. Tetapi lima hari setelah itu ia dipanggil ke Jakarta untuk menggantikan Soetopo Juwono menjadi Kepala BAKIN.

Menurut Yoga, kegiatan di berbagai kampus baik ceramah maupun demonstrasi yang mematangkan situasi dan akhirnya bermuara kepada penentangan terhadap kebijakan ekonomi pemerintah. Awalnya adalah diskusi di kampus UI Jakarta (13-16 Agustus 1973) dengan pembicara Subadio Sastrosatomo, Sjafrudin Prawiranegara, Ali Sastroamidjojo, dan TB Simatupang. Disusul kemudian dengan peringatan Sumpah Pemuda yang menghasilkan "Petisi 24 Oktober". Kedatangan Ketua IGGI JP Pronk dijadikan momentum untuk demonstrasi anti modal asing. Kumulasi dari aktivitas itu akhirnya mencapai klimaksnya dengan kedatangan PM Jepang Tanaka pada Januari 1974 yang disertai bukan demonstrasi tetapi juga kerusuhan.

Dalam buku-buku yang ditulis oleh Ramadhan KH (1994) dan Heru Cahyono (1998) terlihat kecenderungan Soemitro untuk menyalahkan Ali Moertopo yang merupakan rivalnya dalam dunia politik tingkat tinggi. Ali Moertopo dan Soedjono Humardani "membina" orang-orang eks DI/TII dalam GUPPI (Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam). Pola pemanfaatan unsur Islam radikal ini sering berulang pada era Orde Baru. Bahkan mungkin bisa berjalan sampai hari ini.

Dalam kasus Malari, lewat organisasi tersebut dilakukan pengerahan massa oleh Ramadi dan Kyai Nur dari Banten. Bambang Trisulo disebut-sebut mengeluarkan Rp 30 juta untuk membayar para preman. Sementara Roy Simandjuntak mengerahkan tukang becak dari sekitar Senen. Kegiatan itu--antara lain perusakan mobil Jepang, kantor Toyota Astra dan Coca Cola--dilakukan untuk merusak citra mahasiswa dan memukul duet Soemitro-Soetopo Juwono (Heru Cahyono, 1992:166).

Sebaliknya dalam "dokumen Ramadi" diungkapkan rencana Soemitro menggalang kekuatan di kampus-kampus sehingga akhirnya "ada seorang Jenderal berinisial S akan merebut kekuasaan dengan menggulingkan presiden sekitar bulan April hingga Juni 1974. Revolusi sosial pasti meletus dan Pak Harto bakal jatuh". Ramadi dikenal dekat dengan Soedjono Hoemardani dan Ali Moertopo. Tudingan dalam "dokumen" itu tentu mengacu kepada Jenderal Soemitro.

Keterangan yang diberikan Soemitro dan Ali Moertopo berbeda, bahkan bertentangan. Mana yang benar: Soemitro atau Ali Moertopo? Kita melihat kerusuhan, pelaku di lapangan dibekuk aparat, tetapi siapa sebetulnya aktor intelektualnya tidak pernah terungkap. Ramadi ditangkap dan beberapa waktu kemudian meninggal secara misterius dalam status tahanan.

Seperti yang dikatakan William Frederick (2002) kita hanya bisa sekedar melihat the shadow of an unseen hand (bayangan dari tangan yang tidak kelihatan). Sebagian sejarah Orde Baru--termasuk persitiwa Malari 1974--masih gelap (karena digelapkan).

Sumber: Asvi Warman Adam dalam Seabad Kontroversi Sejarah

1 komentar: