Laman

02 Oktober 2013

Gerakan 30 September

PKI Tidak Terlibat
Lambang Partai Komunis Indonesia
Di depan wartawan Tempo bertanggal 16 April 2000, Latief, pelaku sekaligus kunci dalam Gerakan 30 September menjelaskan bahwa, ide menghadapkan para Jenderal (Yani dkk.) adalah dari inisiatif kami (Latief, Untung, Soepardjo, dan Soeyono), bukan ide dari PKI; tidak benar kami diperintah PKI; jika ada informasi bahwa kami diperintah PKI itu adalah informasi yang dibuat Soeharto untuk menutupi tindakannya. Pendapat ini dapat diterima oleh akal sehat, karena program Partai Komunis untuk berkuasa pada umumnya adalah revolusi, seperti yang dilakukan di Rusia, China, Cuba, dll., bukan melalui kup. Khusus di Indonesia, program PKI adalah mencapai demokrasi rakyat melalui jalan demokratis dan parlementer seperti yang ditetapkan pada Kongres Nasionak Ke V tahun 1954. Di samping itu kecil sekali kemungkinannya PKI melakukan kup terhadap Presiden Soekarno, karena Presiden Soekarno menjamin hak hidup PKI dengan konsep NASAKOM.

Selain itu, Brijen Soepardjo pada siang hari tanggal 1 Oktober 1965 setelah melakukan gerakan melapor kepada Presiden Soekarno, dan saat itu juga Presiden Soekarno memerintahkan Soepardjo untuk menghentikan G/30S. Ini menunjukkan bahwa PKI sebagai organisasi tidak terlibat G/30S. Jika PKI secara organisasi terlibat, maka: (1) Soepardjo seharusnya melapor kepada Aidit sebagai Ketua Comite Central PKI, (2) Nyoto dan Lukman sebagai anggota politbiro CC PKI tentu ditangkap sejak menghadiri sidang kabinet 6 Oktober 1965, (3) PKI mengerahkan anggota dan massanya untuk melawan pemerintahan Soekarno. Kenyataannya pada waktu itu justru Soepardjo melapor kepada Presiden Soekarno, Nyoto dan Lukman tidak ditangkap pada waktu menghadiri sidang kabinet tanggal 6 Oktober 1965, dan PKI tidak menggerakkan anggota dan massanya untuk melawan pemerintahan Soekarno.

Di sisi lain, Aidit dan Syam Kamaruzaman secara pribadi mungkin terlibat G/30S, karena kedua orang itu mempunyai hubungan erat dengan para militer yang terlibat dalam G/30S. Syam sebagai biro khusus yang mempunyai tugas membina tentara hanya bertanggung jawab kepada Aidit pimpinan politbiro CC PKI. Mungkin di antara tentara yang terlibat G/30S itu ada yang dibina oleh Syam? Tetapi itu tidak berarti bahwa PKI sebagai organisasi terlibat G/30S. Soeharto melibatkan PKI sebagai organisasi dengan G/30S hakikatnya adalah untuk menghancurkan PKI karena PKI merupakan kekuatan politik pendukung Bung Karno, selain Jenderal Achmad Yani dari Angkatan Darat.

Sedangkan Presiden Soekarno sendiri tidak pernah berpikir dan merasa dikhianati PKI. Itu dapat dilihat dari pernyataan beliau pada tanggal 21 Oktober 1965, bahwa Gestoknya (Gerakan Satu Oktober 1965) harus kita hantam, tetapi komunismenya tidak, karena ajaran komunis itu adalah hasil obyektif dalam masyarakat Indonesia, seperti halnya nasionalisme, dan agama. Hal ini menunjukkan bahwa Bung Karno menempatkan dirinya sebagai negarawan besar, berpandangan obyektif, berpikir jernih, dan mengutamakan persatuan bangsa. Beliau mengetahui dan memahami dengan sungguh-sungguh bahwa paham atau isme itu tidak bisa dibunuh, walaupun orangnya dibunuh.

Ketakutan Soeharto
Mayor Jenderal Soeharto
Salah satu ketakutan Soeharto dalam hidupnya adalah kalau rakyat Indonesia mengetahui apa yang dibicarakan dengan Latief pada tanggal 30 September 1965 pada jam 9 malam di rumah sakit Angkatan Darat Gatot Soebroto Jakarta. Sampai sekarang ini pembicaraan kedua insan tersebut masih diliputi kabut rahasia. Seperti yang kita ketahui, bahwa dalam pertemuan itu Latief memberi tahu Soeharto bahwa nanti subuh dini hari akan dilakukan gerakan militer terhadap Jenderal Achmad Yani dkk. Soeharto sebagai bawahan Yani seharusnya menangkap Latief pada waktu itu, tetapi tidak dilakukan. Ini menunjukkan kemungkinan Soeharto menghendaki Yani dkk. mengakhiri hidupnya.

Untuk menutupi kabut rahasia pertemuan tersebut, Soeharto membuat berbagai pernyataan antara lain sebagai berikut:
  • Kepada Arnold Brackman, Soeharto mengatakan bahwa pada tanggal 30 September 1965 malam hari banyak kawan-kawannya yang menjenguk anaknya yang sedang dirawat di rumah sakit Gatot Soebroto Jakarta, termasuk Kolonel Latief.
  • Kepada majalah Der Spegel dari Jerman Barat, Juni 1970, Soeharto menjawab pertanyaan wartawan mengapa Jenderal Soeharto tidak termasuk sasaran G/30S?. Soeharto menjawab bahwa Latief datang ke rumah sakti Gatot Soebroto kira-kira jam 11 malam untuk membunuh saya, tetapi niatnya dibatalkan karena di tempat umum.
  • Dalam otobiografinya sendiri, Soeharto mengatakan bahwa ia hanya melihat Latief di koridor rumah sakit Gatot Soebroto; ia melihat dari tempat ia menjaga anaknya yang sedang dirawat di rumah sakit itu.
Dari tiga pernyataan di atas, jelas terdapat perbedaan yang mendasar. Pertama, Latief datang ke rumah sakit Gatot Soebroto untuk menjenguk anaknya. Kedua, Latief datang ke rumah sakit Gatot Soebroto untuk membunuhnya, dan yang ketiga, ia hanya melihat Latief di koridor rumah sakit Gatot Soebroto. Ketiga pernyataan tersebut menunjukkan bahwa Soeharto ketakutan terhadap dirinya sendiri tentang "pertemuan penting" dengan Latief pada tanggal 30 September 1965 jam 9 malam. Hal tersebut dapat diduga:
  • Latief adalah anak buah Soeharto dalam G/30S/1965; jika benar, maka Soeharto adalah "Pimpinan Tertinggi" G/30S/1965, kemudian untuk menghilangkan jejaknya, Soeharto menyapu bersih gerakan tersebut dengan pasukan khususnya.
  • Latief adalah sahabat sehidup-semati Soeharto; ia datang ke rumah sakit Gatot Soebroto jam 9 malam tanggal 30 September 1965 (lima jam sebelum gerakan dimulai) untuk memberitahu bahwa akan ada gerakan membersihkan Jenderal Achmad Yani dkk., harap hati-hati, dan bantulah kami; jika ini benar, maka Latief secara sadar atau tidak sadar ia adalah "pengkianat" gerakan tersebut, karena memberitahukan gerakan yang akan dilakukan kepada orang yang bukan pimpinannya.
Diduga yang mendekati kebenaran adalah yang kedua (Latief memberi tahu Soeharto tentang G/30S). Dengan demikian hakikatnya tidak ada persahabatan yang sejati, yang ada adalah persahabatan berdasar kepentingan; jika kepentingannya sama kita bersahabat, jika kepentingannya berbeda, kita mengambil jalan yang berbeda.

Hubungan Soeharto dan Latief

Kolonel Latief dan Pledoinya
Soeharto pada waktu itu adalah seorang Mayor Jenderal, komandan KOSTRAD (Komando Strategi Angkatan Darat), di bawah Menteri Panglima Angkatan Darat yang dijabat Letnan Jenderal Achmad Yani. Sementara Latief pada waktu itu adalah seorang Kolonel Angkatan Darat pimpinan gerakan 30 September 1965. Hubungan Soeharto dengan Latief dapat diklasifikan dua macam yaitu: (1) Hubungan pribadi, yaitu bahwa Latief adalah teman akrab Soeharto karena sejak tahun 1945 bersama-sama berjuang untuk Kemerdekaan Indonesia; pada Serangan Umum tanggal satu Maret 1947, Latief adalah anak buah Soeharto; pada waktu Soeharto pindah ke Jakarta, Latief menyediakan perumahan bagi beliau; hubungan sahabat ini terjalin erat sampai peristiwa tersebut. (2) Hubungan dinas kemiliteran, yaitu bahwa Latief seorang Kolonel Angkatan Darat dan Soeharto seorang Mayor Jenderal Angkatan Darat; sama-sama perwira Angkatan Darat.

Pada tanggal 28 September 1965, Latief datang ke rumah Soeharto di Jalan Agus Salim Jakarta, dengan maksud menanyakan informasi tentang adanya Dewan Jenderal yang akan mengadakan kup terhadap Presiden Soekarno pada tanggal 5 Oktober 1965. Namun Soeharto mengatakan bahwa ia telah menerima informasi dari Soebagio Yogyakarta tentang hal itu sehari sebelumnya. Soeharto menanggapi bahwa akan diadakan penyelidikan. Hubungan pribadi yang sangat baik itu, Latif menyimpulkan bahwa Soeharta adalah orang yang loyal terhadap Bung Karno dan Bung Karno mempercayai Soeharto, yaitu dengan mengangkat sebagai Panglima Mandala dan Panglima Konstrad.

Pada tanggal 30 September 1965, jam 21.00 WIB, Latief datang ke Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Soebroto Jakarta, memberitahu kepada Soeharto bahwa pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965 akan diadakan operasi atau gerakan menggagalkan rencana kudeta Dewan Jenderal terhadap Presiden Soekarno. Waktu itu Soeharta sedang menunggu anaknya (Tomy Soeharto) yang sedang sakit di rumah sakit tersebut. Alasan Latief datang menemui Soeharto adalah meminta bantuan militer, dan tindakan ini sudah disetujui oleh Brigadir Jenderal Soepardjo dan Letnan Kolonel Untung (keduanya adalah anggota pimpinan Gerakan 30 September 1965). Menurut Latief, jika G/30S/1965 berhasil, Soeharto diharapkan menjadi pembantu setia Bung Karno. Tetapi situasi berubah cepat, Soeharto tidak setia kepada Bung Karno dan tidak mendukung G/30S, melainkan melawan dan menghancurkannya. Tindakan Latief ini didasarkan pada instuisi persahabatan, bahwa ia dipercaya oleh Soeharto sebagai sahabat karibnya. Secara politik, selaku pimpinan gerakan, tindakan Latief tersebut merupakan "pengkianatan", karena ia mencampuradukkan urusan pribadi dengan urusan politik. Sebagai pimpinan gerakan, seharusnya Latief tidak melakukan hal tersebut; itu menunjukkan bahwa mental politik Latief tidak mewakili kepentingan kelasnya.

Menurut Soengkowo, mantan Perwira Polisi Militer dan salah seorang pelaku G/30S, menjelaskan bahwa pada waktu Latief diadili di Mahmilub selalu melibatkan Soeharto, bahwa Soeharto mengetahui gerakan itu, dan secara langsung maupun tidak langsung Soeharto terlibat di dalamnya. Apa yang disampaikan Latief itu adalah suatu siasat bahwa ia bukan orangnya Soeharto dan supaya tidak dinilai negatif (atau supaya tidak dikutuk) oleh kawan-kawannya di G/30S.

Pada waktu Soengkowo dan Untung di tahan di Rumah Tahanan Salemba Blok N, Soekowo bertanya kepada Untung, mengapa Soeharto tidak ikut ditangkap? Untung menjelaskan bahwa dalam Sentral Komando atau Senko terjadi perbedaan pendapat tentang Soeharto; ada yang berpendapat bahwa Soeharto adalah pro-G/30S/1965 dan loyal kepada Bung Karno, dan ada yang berpendapat bahwa Soeharto adalah kontra gerakan G/30S/1965. Yang berpendapat bahwa Soeharto adalah loyal terhadap Bung Karno dan pro dengan G/30S adalah Latief dan Syam Kamaruzaman (pimpinan Biro Khusus PKI), sedangkan yang berpendapat bahwa Soeharto adalah kontra G/30S adalah saya sendiri (Untung) dan Mayor Udara Soeyono; agar supaya gerakan sukses. Menurut Untung, ia dan Soeyono mengalah tidak menangkap Soeharto, walaupun Soeharto juga anggota Dewan Jenderal. Ternyata Soeharto adalah Jenderal yang melawan Bung Karno, ia merebut kekuasaan Bung Karno melaui Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar).

Berdasarkan kenyataan ini, Latief harus bertanggungjawab kepada kawan-kawannya korban rezim Soeharto, karena seandainya Latief tidak memberitahu Soeharto pada tanggal 30 September jam 9 malam di Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Soebroto, kemungkinan kondisi Republik Indonesia tidak seperti sekarang ini, yaitu: (1) rakyat tidak berdosa yang berjumlah kira-kira 2 juta orang dibunuh oleh rezim Soeharto, (2) terjadi kebrobokan moral sebagian birokrat dan rakyat, (3) Indonesia terperangkap utang luar negeri US$ 140 milyar atau Rp 1.400 trilyun jika kurs Rp 10.000 per US$1, tergantung pada Internationale Monetary Fund atau IMF dan negara-negara G-7 Kanada, AS, Jepang, Jerman, Italia, Perancis, dan Inggri, dan (4) Indonesia dijajah kembali oleh bangsa-bangsa asing, menjadi kuli bangsa-bangsa asing.


Sumber: Dr. Darsono Prawironegoro, 2001. Analisis Gerakan 30 September 1965 Ditinjau Dari Sudut Filsafat.

1 komentar: