Laman

28 Februari 2014

Jejak Wallace di Ternate

Pada Febuari 1858 itu, Alfred Russel Wallace tergeletak di kamar tidurnya, terserang demam, kemungkinan karena malaria. Dari kamarnya di sebuah rumah di Ternate, Maluku Utara, yang disebutkannya tak jauh dari pasar dan benteng, dia menulis surat kepada Charles Darwin. Saat itu, Darwin berada nun jauh di Kepulauan Galapagos.

"Surat dari Ternate" inilah yang kemudian menjadi tonggak penting bagi Darwin untuk menerbitkan bukunya, Origin of Species, pada 1859. Buku ini berisi proses seleksi alam yang memicu evolusi. Dari sini, Darwin dikenal sebagai Bapak Evolusi.

Surat yang dikirim Wallace itu memberi jawaban bagi Darwin tentang fenomena keberagaman hayati: the fittest would survive (individu inferior akan mati dan individu superior akan bertahan).

Surat berjudul ”On the Tendency of Varieties to Depart Indefinitely from the Original Type” itu membuka dialektika tentang siapa yang layak menyandang gelar sebagai penemu teori evolusi. Apakah Wallace lebih dulu atau Darwin? Bukankah Darwin baru menerbitkan teorinya setahun kemudian setelah surat Wallace?

Belakangan, dunia pengetahuan mengakui Wallace adalah penemu teori evolusi bersama-sama dengan Darwin. Sebelumnya, hanya Darwin yang menikmati popularitas sebagai penemu teori evolusi.

Ternate, yang menjadi tempat tinggal Wallace selama empat tahun dalam pengembaraannya di Nusantara, menjadi sangat populer. Ternate bukan lagi cengkeh dan pala semata, melainkan juga tempat Wallace menuliskan gagasan cemerlang. ”Surat dari Ternate” adalah khazanah berharga perjalanan pengetahuan modern. Juga, selama di Ternate, Wallace melahirkan karya hebat, di antaranya menemukan perbedaan karakteristik flora dan fauna berdasarkan lempeng bumi.

Garis Wallace dan Perjalanannya di Nusantara
Sebuah garis maya dibuatnya untuk memisahkan antara flora-fauna di Indonesia bagian timur yang ada di Lempeng Australia dan Indonesia bagian barat yang berada di Lempeng Eurasia. Garis yang kemudian dikenal sebagai Garis Wallace ini terentang sepanjang Selat Makassar dan memanjang ke Selat Lombok. Garis ini tak hanya mengisahkan jalan hidup flora-fauna antarlempeng yang terpisah laut dalam, tapi juga perbedaan karakteristik manusia yang dapat diamati. Wallace mengelompokkan manusia di Indonesia barat dalam ras Melayu dan ras Papua untuk manusia di Indonesia timur. Di Maluku-lah kedua ras itu bertemu.

Wallace menyebut penduduk di Pulau Obi, Bacan, dan Halmahera sebagai perpaduan ras Melayu dan Papua. Perpaduan inilah yang dibuktikan secara genetik pada 2011 oleh sejumlah ahli genetika Indonesia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat dalam ”Genetic Continuity Across a Deeply Divergent Linguistic Contact Zone in North Maluku, Indonesia".

Flora Fauna kepulauan Nusantara
Landasan teori utama yang digunakan oleh Wallace adalah kedalaman laut. Seperti di kepulauan Hindia Timur, ditemukan bahwa semua laut luas yang memisahkan Jawa, Sumatera dan Borneo begitu dangkal, sehingga kapal-kapal dapat membuang jangkar di bagian laut mana pun, termasuk Bali, Malaka, dan kepulauan Filipina. Hal ini menurutnya bahwa kepulauan besar tersebut pernah menjadi bagian dari benua. Binatang gajah dan tapir yang ditemukan di Sumatera dan Borneo, badak yang juga terdapat di Jawa, Sumatera dan Borneo, rupanya pada saat ini mendiami suatu bagian di Asia Selatan.

Kemudian, semua pulau dari Celebes dan Lombok ke arah timur menampilkan kemiripan dengan Australia dan Papua yang hampir sama dekatnya dengan kemiripan pulau-pulau sebelah barat dengan Asia. Diketahui dengan baik bahwa produk alam Australia berbeda dengan produk alam Asia.

Kekontrasan besar justru terdapat di antara pulau Bali dan Lombok, di mana kedua daerah itu jaraknya sangat ketat (sekitar 15 mil). Di Bali terdapat burung caladi, burung ciung buah dan burung pelatuk, setelah menyeberang ke Lombok, burung itu tidak terlihat lagi. Namun, di Lombok terdapat kalkun semak sebagaimana di Australia, namun tidak terdapat di Bali.

Kesimpulan yang ditarik adalah, bahwa keseluruhan pulau-pulau ke arah timur di luar Sumatera, Jawa dan Borneo pada dasarnya menjadi bagian dari benua Australia atau Pasifik di zaman dulu, meskipun beberapa diantaranya tidak benar-benar bergabung dengan benya itu. Menarik juga untuk diamati diantara pulau-pulau sendiri sebagaimana laut yang dangkal mengisyaratkan hubungan darat yang baru. Kepulauan Aru, Mysol dan Waigiou, seperti halnya Jobie, dalam spesies mamalia dan burung mereka lebih mirip dengan Papua daripada Maluku dan didapati bahwa pulau-pulau tersebut pernah tergabung dengan pulau Papua.

Meskipun demikian, teori biogeografi Nusantara yang dikendalikan geologi, dan hipotesis seleksi alam terhadap perkembangan spesies, yang dikemukakan Alfred Russel Wallace sungguh luar biasa pada zamannya dan hipotesisnya tentang seleksi alam yang ditemukannya saat berada di Ternate tahun 1858 sungguh membuat Charles Darwin tercengang.


***

Wallace menjadikan Ternate sebagai tempat singgah dari pengembaraannya ke Halmahera, yang dulu disebutnya Gilolo (mengacu pada nama Kesultanan Jailolo), hingga ke New Guinea (Papua) dan pulau-pulau gunung api di sekitar Maluku untuk mengumpulkan beragam flora-fauna.

Dengan bersemangat Wallace berkisah tentang kota Ternate, yang dinaungi Gunung Gamalama. "Letaknya sangat strategis sehingga pemandangan di segala penjuru tampak jelas.... Di balik kota, berdiri gunung api yang lerengnya landai dan tertutup pohon buah-buahan lebat," tulis Wallace saat baru tiba di Ternate pada 8 Januari 1858.

Wallace juga membanggakan rumah di Ternate yang di sewa selama empat tahun. "Di samping untuk menyusun koleksi (flora-fauna), rumah itu saya pergunakan guna memulihkan kesehatan dan mempersiapkan perjalanan-perjalanan berikutnya," tulisnya.

Alfred Russel Wallace
Dia pun menggambar denah dan mendeskripsikan rumah yang ditinggalinya itu. ”...sehingga memungkinkan pembaca untuk mengenal struktur bangunan di Ternate,” tulis Wallace. Di rumah inilah Wallace menulis ”Surat dari Ternate” dan menjalani kehidupan sebagaimana penduduk setempat dengan tinggal di rumah-rumah yang beratap daun kering dan menyantap makanan apapun yang dapat dia beli atau barter.

Dalam ekspedisinya di Nusantara, Wallace mengoleksi 125.660 spesimen fauna meliputi 8.050 spesimen burung, 7.500 spesimen kerangka dan tulang aneka satwa, 310 spesimen mamalia, serta 100 spesimen reptil. Selebihnya, mencapai 109.700 spesimen serangga, termasuk kupu-kupu yang paling disukai Wallace.

Sekitar 154 tahun kemudian, jejak pengembaraan Wallace di Ternate nyaris tak meninggalkan jejak. Selain gang kecil di Kelurahan Santiong, Ternate Tengah, yang diberi nama Lorong Alfred Russel Wallace, persis di samping gang itu, sebuah rumah yang kini dihuni keluarga Paunga Tjandra (63), diduga sebagai rumah tinggal Wallace selama di Ternate. ”Rumah ini dibeli ayah saya dari almarhum H Ucu Bai, warga di sini. Kami awalnya tidak tahu-menahu ini rumah Wallace,” kata Verjon Tjandra (35).

Verjon menunjukkan satu tiang tembok dan bekas sumur yang telah ditutup di pekarangan belakang rumah. ”Bekasnya, ya, hanya ini,” katanya. ”Banyak peneliti, sebagian bule, yang datang akhirnya kecewa karena memang hanya ini yang tersisa.”

Tiadanya jejak Wallace itu juga dikeluhkan Prof Sangkot Marzuki, Ketua Dewan Pengurus Yayasan Wallacea Indonesia. Ahli genetika ini menulis komentar dalam buku The Malay Archipelago edisi Indonesia, Kepulauan Nusantara (2009).

Alfred Russel Wallace adalah nama besar dalam jagat ilmu pengetahuan dunia. Namun, melalui bukti-bukti, peninggalan Wallace dengan nyata teraba dan dengan mudah teridentifikasi bahwa dia adalah bagian sejarah bangsa Indonesia...," tutur Sangkot. ”Ternate—tempat ia lama bekerja dan tempat sesungguhnya teori akbar mengenai evolusi lahir—sama sekali bersih dari tanda-tanda yang mengingatkan penemuan paling besar pada abad ke-19 itu. Sayang sekali.”

Pada tahun 2008, Yayasan Wallacea dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pernah berinisiatif mendirikan monumen Wallace di halaman rumah Paunga. Tujuannya untuk mengangkat kembali nama Wallace di Ternate. Namun, monumen itu hingga kini tak terwujud. Tiadanya kesepakatan harga tanah antara pemilik rumah saat ini dan pemerintah membuat situs sejarah itu terbengkalai. Sementara, nama jalan di depan rumah itu pun sudah diubah. Nama jalan itu diubah menjadi Jalan AR Wallace pada 2008 dari sebelumnya bernama Jalan Nuri. Namun, tahun 2010, namanya diubah lagi menjadi Jalan Juma Puasa hingga sekarang.



Sumber:
Koran Tempo dalam Ekspedisi Cincin Api, Sabtu 28 Juli 2012.
http://blogs.uajy.ac.id/bioknowledge/2013/09/12/database-molekuler/
http://jelajaharchipelago.blogspot.com/2012/12/ekspedisi-barat-di-nusantara_17.html#.Uw-VcuPIVWI
http://iwantolet.wordpress.com/2008/12/17/%E2%80%9Cwallace%E2%80%9D-tidak-hanya-sekedar-garis/
Kompas, Humaniora, Kamis 29 Januari 2009.

2 komentar: