Laman

25 Januari 2008

Konflik Antara Tradisi Sufi dan Tradisi Fiqh

Al Hallaj dikenal sebagai tokoh sufi yang controversial dan ajarannya sangat keras sehingga ulama-ulama fiqh (syariat) menganggapnya sebagai orang sesat yang membahayakan. Tidak hanya membahayakan kemapanan syariat tetapi membahayakan pula bagi kelangsungan penguasa di saat itu.

Al Hallaj berpendapat bahwa suatu keadaan Tuhan Allah mengambil tempat di dalam tubuh manusia. Inilah konsep hulul. Menurutnya, hal itu bisa terjadi manakala seorang hamba telah benar-benar berhasil melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya. Teori tersebut semakin memancing emosional ulama dan penguasa sehingga Al Hallaj berikut konsep ajarannya harus dimusnakan. Al Hallaj dianggap telah menyimpang dari ajaran Islam (fiqh) kemudian dihukum oleh penguasa Baghdad pada tahun 922 Hijriyah. Hal itu karena pernyataan Al Hallaj sendiri ‘Ana al-Haqq’ (Aku adalah Tuhan).

Pasca tragedi Al Hallaj, maka para ulama fiqh menjaga jarak dengan ulama sufi. Ulama fiqh menilai bahwa ulama sufi semakin liar, baik dalam ajaran maupun dalam praktek ibadahnya.
Jauh sesudah itu, muncullah seorang ulama di tanah Jawa yang tidak dikenal nama aslinya. Sehingga disebutlah Syekh Siti Jenar. Sesungguhnya nama itu bukanlah nama sebenarnya, hanya sebutan. Sebagaimana budaya Jawa pada saat itu, masyarakat lebih suka memanggil sebutan seseorang dengan nama daerah asal atau julukan-julukan lainnya ketimbang nama sebenarnya.

Syekh Siti Jenar mengembangkan teori Manunggaling Kawula Gusti, yang kemungkinan besar terpengaruh oleh ajaran tokoh sufi di Timur Tengah, terutama Al Hallaj.

Seperti halnya Al Hallaj dan tokoh-tokoh sufi lainnya, Syekh Siti Jenar pun mendapatkan perlawanan keras dari para ulama fiqh yang telah menjalin hubungan baik dengan penguasa kerajaan Demak Bintoro. Tatkala itu, Raden Patah beragama Islam dan kerajaannya pun diproklamirkan sebagai kerajaan Islam. Tak urung, konflik antara ulama fiqh, dalam hal ini para wali, dengan Syekh Siti Jenar tidak bisa dihindari.
Selama ini berkembang cerita bahwa para wali (terutama wali songo) gencar memusuhi dan menumpas Syekh Siti Jenar berikut konsep ajarannya. Hingga pada akhirnya Syekh Siti Jenar dihukum mati oleh mereka.

Versi lain, yang ditemukan dalam Serat Syekh Siti Jenar yang ditulis oleh Raden Sosrowijoyo berupa sastra tembang dijumpai keterangan bahwa Syekh Siti Jenar meninggal dunia bukan karena tangan para wali, melainkan meninggal dengan caranya sendiri.

Ditarfsirkan, bahwa ulama fiqh masih bisa ‘bersandiwara’ dengan penguasa (Raden Patah). Artinya, secara implisit mereka menerima ajaran Syekh Siti Jenar. Mereka berharap agar ajaran ma’rifat itu belum waktunya disampaikan kepada orang-orang awam. Oleh karena itu, yang mereka ‘bunuh’ bukanlah Syekh Siti Jenar, melainkan konsep dan teori ma’rifat itu. Karena ketika setelah menemui Syekh Siti Jenar dan kembali ke Demak Bintoro, para wali tidak bisa menunjukkan bangkai ‘wali murtad’ tersebut. Melainkan mereka menunjukkan bangkai anjing buduk dengan berbagai dalih atau alasan yang dikemukakan kepada Raden Patah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar