Laman

29 April 2008

Manusia dan Agama

April 2008, Indonesia (khususnya di Pulau Jawa) untuk kesekian kali diberitakan dengan adanya ajaran/aliran Ahmadiyah. Kembali pemerintah di uji ketegasannya untuk menyelesaikan. Ternyata pemerintah kurang sikap dan kurang tegas. Karena dengan berlarut-larutnya masalah ini membuat organisasi-organisasi Islam berbuat dan bertindak sendiri. Bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) selaku otoritas tertinggi agama Islam tidak dapat menghentikan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh oknum organisasi Islam tersebut.

Inilah yang terjadi saat ini di negara hukum, negara demokrasi, negara yang penduduknya mayoritas muslim, NEGARA INDONESIA.

Ahmadiyah

Adalah suatu aliran/agama yang meyakini dan mengakui bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah al-Masih. Ahmadiyah juga meyakini bahwa Nabi Muhammad s.a.w. bukan nabi terakhir, tetapi Allah akan terus mengutus nabi sesuai kebutuhan, dan Mirza Ghulam Ahmad adalah paling utamanya nabi. Selain itu kitab sucinya bukan Alqur’anul Karim, yang diturunkan nabi s.a.w. (Hariyanto Imadha, dalam Jawa Pos, hal. 4, 22 April 2008).

Perlu diralat kembali. Dalam wawancara yang dilakukan salah satu stasiun televisi swasta pada akhir April 2008. Pimpinan Ahmadiyah menyatakan bahwa Ahmadiyah masih meyakini Nabi Muhammad s.a.w. Rasul Allah.

***

Islam yang ada di Indonesia saat ini adalah agama mayoritas dan terbesar, yang seharusnya dapat mengayomi dan melindungi kaum minoritas. Bukan sebaliknya, melarang, membubarkan, bahkan memusuhinya.

Sebagai manusia seharusnya sadar dan mau berfikir, bahwa kita sesungguhnya tidak tahu dan bahkan tidak tahu apa yang dikatakan benar atau salah menurut Allah. Sebab manusia hidup di dunia ini hanyalah sebagai khalifah, bukan sebagai hakim yang menghukum sesamanya. Oleh karena itu, marilah kita membuka dan kembali mau belajar sejarah Islam (penyebarannya maupun perkembangannya).

Menurut pandangan saya, bahwa Islam menjadi besar karena ajarannya. Sebab Islam dalam pengajarannya menurut budaya sekitar (baik di Arab maupun di Indonesia sendiri). Hal itu dapat kita lihat dari segi hukumnya –– hukum Islam. Dimana, hukum Islam yang ada di Indonesia dengan yang ada di Arab sudah berbeda. Hal itu dipengaruhi oleh budaya yang telah disepakati.

Selain dilihat dari sisi hukum dan budayanya, dapat juga dilihat dari sisi sejarahnya. Sesuai dengan sifat estalogis Islam, Allah memberikan anugerah penciptaan menurut peran Allah sebagai hakim. Di dalam salah satu firman-Nya bahwa “sesungguhnya Kami telah mengemukakan Amanat kepada Langit, Bumi, dan Gunung-gunung, ……dan dipikullah amanat itu oleh manusia, sesungguhnya manusia itu amat zalim dan bodoh.”

Manusia adalah manusia (diri) yang satu, lalu Allah membangkitkan para nabi untuk membawa berita gembira dan peringatan. Dan, para nabi itu diberi kitab dengan membawa kebenaran agar dapat digunakan untuk memutuskan perkara-perkara yang diperselisihkan (Q.S. 2:213). Selain itu, tujuan penciptaan adalah untuk membimbing manusia dan untuk menguji iman dan tindakan mereka. Pandangan ini melengkapi tekanan kepada Allah sebagai hakim, karena Allah memberikan ciptaan kepada manusia untuk digunakan dan untuk menguji seberapa baik manusia menggunakannya.

Dalam ajarannya Syekh Siti Jenar tentang Makna Kematian yang ditulis oleh Achmad Chodjim (2004) berpendapat bahwa manusia tidak hidup di atas realita. Tetapi berdasarkan opini atau pendapat. Dimana, orang tua dalam mengajar dan mendidik anaknya berdasarkan pandangan yang ia terima dari orang-orang yang berpengaruh di lingkungannya. Dan biasanya orang tua mempercayakan pendidikan itu kepada orang lain, yaitu yang disebut guru (baik guru formal maupun non formal). Maka, dapat disimpulkan bahwa manusia diciptakan dan diturunkan ke bumi untuk mengenal Tuhannya, bukan untuk menghukum atau mengadili ciptaan-Nya. Begitu pula dalam hal beribadah.

Masih dalam ajaran Syekh Siti Jenar (Achmad Chodjim, 2004), bahwa agama diturunkan sebagai wahana agar manusia berada di jalan yang benar. Di dunia ini tidak ada orang yang menerima otoritas dari Tuhan untuk memaksakan suatu agama. Bahkan Nabi Muhammad hanya diperintah oleh Tuhan untuk memberikan pelajaran, dan tidak untuk menguasai (Q.S. al-Ghasyiyah, 88:21-22). Manusia hanya diberi wahyu agar bisa memberi pelajaran atau petunjuk kepada orang lain. Orang yang telah menerima wahyu dari Tuhan (apapun jenisnya) akan membuat hidupnya menjadi santun, dan berusaha mengarahkan orang lain ke kehidupan yang benar. Bila seseorang yang mendapatkan hikmat dari Tuhan, sesungguhnya telah menerima ‘khair’, kebajikan, kekayaan, kesejahteraan, keuntungan, caritas. Dan mereka yang menerima hikmat itu adalah para ‘ulil albab’, orang-orang yang akalnya telah dipimpin oleh Tuhan (Q.S. al-Baqarah, 2:269). Jika orang yang telah memperoleh hikmat, ia tidak akan berlaku zalim, karena Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang berlaku zalim (Q.S. 2:258, 5:51, 6:144, 46:10, 61:7, dan 62:5).

Dari pengertian-pengertian di atas, dapat digambarkan bahwa manusia dalam hal beribadah tidak berhak atau memaksakan sesuatu yang sudah diyakini. Manusia hanya diberi petunjuk untuk membenarkan apa yang sudah dituliskan dalam kitab (apapun kitabnya). Bukan untuk menghukum dan mengadili. Karena manusia mempunyai keterbatasan dan tidak mempunyai otoritas yang mutlak.

Oleh karena itu, sebagai bangsa Indonesia yang demokrasi dan berlandaskan pada Ideologi Pancasila seharusnya memahami setiap butir-butir Pancasila. Karena Indonesia berdiri bukan atas agama, suku dan ras. Tetapi menurut budaya dan hasil kesepakatan bersama. Indonesia menghormati setiap hak manusia dan cara beribadah menurut agama dan kepercayaannya masing-masing.

Agama bukan lagi menjadi jalan damai bagi yang melaluinya. Ia hanya sebagai dogma. Dogma yang dipaksakan pelaksanaannya dalam kehidupan. Hal yang demikian ini lahir dari budi pekerti yang tak dipimpin Tuhan, kata Syekh Siti Jenar.

3 komentar: