Laman

22 April 2009

Sekilas tentang Neoliberalisme

*) dikutip dari Darmaningtyas dalam Tirani Kapital dalam Pendidikan-Menolak UU BHP

Neoliberalisme, yang juga dikenal sebagai paham ekonomi liberal, mengacu pada filosofi ekonomi-politik yang mengurangi atau menolak campur tangan pemerintah dalam penataan kegiatan ekonomi. Neoliberalisme bermula dari pandangan yang mengembangkan gagasan mengenai sistem ekonomi yang mencakup aturan tentang peran negara, modal dan pasar, dalam mekanisme pasar bebas. Tokoh-tokoh kunci neoliberalisme ini antara lain adalah Friedrich August von Hayek dan Milton Friedman. Menurut Friedman, murid von Hayek, kehidupan ekonomi masyarakat akan berlangsung dengan baik jika tanpa campur tangan apapun dari pemerintah. Ia menyatakan bahwa tingkat pengangguran masyarakat tidak seharusnya diatasi dengan campur tangan pemerintah, melainkan diserahkan saja kepada mekanisme pasar kerja yang bebas.1) Prinsipnya adalah
membiarkan pasar bekerja dengan mekanismenya sendiri dengan mengandaikan tangan gaib (invisible hand) yang akan dapat secara otomatis mengoreksi masalah pasar, dan semuanya itu dapat dijamin hanya dalam kerangka negara demokrasi. Oleh karenanya demokrasi pun dikampanyekan ke negara-negara berkembang, termasuk jargon dan resep-resepnya, seperti otonomi, desentralisasi, transparansi, good governance, dan lainnya. Demokrasi yang dimaksud tentu demokrasi liberal yang memihak pada pasar bebas. Namun karena itu saja tidak cukup, maka melalui lembaga-lembaga keungan seperti Bank Dunia, IMF, ADB, dan WTO kepentingan neoliberalisme tersebut dijalankan melalui program-program mereka di negara berkembang.

Di Indonesia pada tahun 1995 untuk bidang pendidikan Bank Dunia menjalankan proyek bernama University Research for Graduate Education (URGE). Proyek tersebut kemudian berlanjut dengan pelaksanaan proyek lainnya, yaitu Development of Undergraduate Education (DUE), proyek Quality of Undergraduate Education (QUE), dan satu proyek ADB, yang semuanya itu dijalankan pada sepuluh tahun terakhir.2) Peoyek-proyek tersebut tentu bukanlah tanpa tujuan, sebab semuanya merupakan rangkaian program meliberalkan sistem pendidikan di Indonesia. Bukti nyata dari proyek liberalisasi ini ialah pelaksanaan Proyek Pengembangan Relevansi dan Efisiensi Pendidikan Tinggi (Managing Higher Education for Relevance and Efficiency Project) sejak tahun 2005, dimana salah satu indikator kuncinya ialah pembangunan struktur hukum yang koheren yang mendukung efektivitas otonomi kelembagaan. Jelas, jargon otonomi sering kali menjadi alasan, dimana RUU Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) dimandatkan oleh proyek tersebut harus disahkan paling lambat tahun 2010. Proyek-proyek lain dari Bank Dunia di banyak bidang lainnya juga banyak dijalankan di Indonesia, seperti privatisasi air, yang tujuan utamanya ialah melancarkan gerak kapital dan memperkecil tanggung jawab negara terhadap warganya.

Gagasan inti dari pandangan ekonomi-politik neoliberal adalah argumen bahwa pertumbuhan ekonomi akan optimal jika, dan hanya jika, lalu-lintas barang, jasa, dan modal tidak dikontrol oleh regulasi apapun.3) Namun ironisnya, gagasan tersebut tidaklah selalu konsisten. Deregulasi tidak diterapkan pada gerak buruh atau tenaga kerja, dan dalam banyak hal tata-ekonomi neoliberal justru menuntut pemerintah untuk mengontrol buruh secara lebih ketat.4) Di sinilah sebenarnya kata "bebas" dalam istilah "pasar bebas" sekadar penyamar dan kata halus dari praktek monopoli pasar kaum borjuis-kapitalis, hanya sebuah jargon yang sebenarnya merupakan strategi untuk menjadikan modal hanya dikuasai oleh segelintir orang. Tidak ada kebebasan dalam mekanisme pasar bebas, karena selalu ada paksaan dan campur tangan dari pihak yang memiliki kekuasaan, baik politik maupun kapital. Karena neoliberalisme selalu berupaya untuk melanggengkan perputaran kuasa kapital agar hanya berada di tangan kaum borjuis-kapitalis, karenanya mereka pun berkolaborasi dengan negara.

Pada dasarnya gagasan neoliberalisme menentang keras gagasan Keynesian yang merupakan kompromi antara kepentingan kapital dan buruh, dimana dalam sejarah telah melahirkan sistem negara kesejahteraan (welfare state). Neoliberalisme juga telah meminggirkan konsepsi ekonomi liberalisme klasik Adam Smith yang tetap memberi ruang pada pemerintah lewat penyelenggaraan tata-keadilan dalam masyarakat. Dalam liberalisme klasik, akumulasi kekayaan yang dilakukan setiap individu tidak dilepaskan dari kaitannya dengan proses 'pembangunan' suatu bangsa, sehingga Adam Smith pun menuliskan gagasannya itu dengan judul "....the wealth of nations", yang menekankan kemakmuran bagi bangsa-bangsa, bukan "....the wealth of individuals", untuk sekelompok individu semata-mata. Dalam gagasan neoliberalisme tersebut masalah seperti penghisapan atau eksploitasi, pemaksaan, penguasaan, kekuasaan, dan lain sebagainya terkubur secara rapi, bukan karena masalah itu tidak ada, melainkan karena disembunyikannya dan dijadikannya tidak relevan. Neoliberalisme telah mengubah istilah proses politik yang sesungguhnya merupakan konflik kekuasaan dengan kata yang lebih halus, yaitu transaksi.5) Eufimisme bahasa politik ini, meminjam identifikasi James Petras atas upaya kelompok neoliberal mengganjal program kesejahteraan rakyat di Venezuela akhir-akhir ini,6) dirancang (1) agar kebohongan yang disebarkan neoliberalisme terdengar sebagai kebenaran; (2) supaya eksploitasi yang dilakukan kelas penguasa tampak terhormat; dan (3) untuk memberi kesan utuh dan kuat terhadap retorika-retorika demokrasi liberal yang sebenarnya non-sense.

Dalam jeratan neoliberalisme ekonomi atas negara-negara berkembang inilah dikenal lahirnya Washington Consensus (Keseoakatan Washington). Nama dan konsep Kesepakatan Washington ini diperkenalkan pertama kali pada 1989 dan 1990 oleh John Williamson, seorang ahli ekonomi dari Institut untuk Ekonomi Internasional. Kesepakatan Washington yang di dalamnya terdapat lembaga seperti Bank Dunia, IMF, Departemen Keuangan Amerika Serikat, yang bermarkas di Washington, tentu sangat sarat kepentingan kapital. Kesepakatan Washington tersebut dipicu oleh pengalaman negara-negara Amerika Latin pada dekade 1980-an dimana saat itu mekanisme pasar di kawasan tersebut tidak berfungsi dengan baik akibat kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak menentu: Pendapatan Domestik Bruto (PDB) terus merosot selama tiga tahun berturut-turut, defisit anggaran hingga mencapai tingkat 5-10 persen dari PDB, sementara pengeluaran pemerintah digunakan untuk mensubsidi sektor negara tidak efisien. Diterapkannya kontrol yang ketat terhadap impor serta dorongan yang minim pada ekspor menghadapkan perusahaan pada insentif yang terbatas untuk meningkatkan efisiensi maupun menjaga kualitas produk sesuai standar internasional.

Awalnya, defisit dibiayai melalui pinjaman termasuk pinjaman luar negeri besar-besaran. Dorongan untuk mendaur-ulang petrodollars di kalangan perbankan internasional saat itu serta rendahnya tingkat suku bunga riil menjadikan kebiasaan "meminjam" menjadi kegiatan yang sangat menarik, bahkan untuk investasi dengan tingkat pengembalian yang rendah. Hanya saja, setelah dekade 1980-an, melonjaknya tingkat suku bunga riil di Amerika Serikat membatasi berlanjutnya pinjaman, meningkatkan beban pembayaran bunga, dan memaksa banyak negara terus-menerus mencetak uang untuk membiayai kesenjangan antara tingginya belanja publik yang terus berlangsung (serta diperparah oleh membumbungnya pembayaran bunga pinjaman) dengan basis pajak yang terus berkurang. Hasil akhirnya adalah inflasi yang sangat tinggi dan tidak terkendali. Kondisi ini menyebabkan perilaku ekonomi lebih terarah pada upaya untuk melindungi nilai (value) daripada bagi aktivitas investasi produktif. Mekanisme harga kemudian kehilangan fungsi utamanya untuk menyampaikan informasi.7)

Kesepakatan Washington diformulasikan oleh para pejabat ekonomi Amerika Serikat serta kalangan IMF dan Bank Dunia di tengah bergulirnya permasalahan tersebut. Williamson menyebut bahwa dalam Kesepakatan Washington terdapat sepuluh rekomendasi, yaitu: (1) menertibkan/mendisiplinkan fiskal, (2) mengarahkan kembali pengeluaran masyarakat untuk bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, (3) reformasi perpajakan, (4) liberalisasi tingkat suku bunga, (5) tarif kurs yang kompetitif, (6) pasar bebas, (7) liberalisasi penerimaan langsung dari luar negeri, (8) privatisasi, (9) deregulasi, dan (10) penjaminan hak milik. Kesepakatan Washington dengan demikian menyatakan bahwa kinerja perekonomian yang baik membutuhkan perdagangan bebas, stabilitas makro, serta penerapan kebijakan harga yang tepat.8)

Tampak jelas bahwa butir-butir Kesepakatan Washington merupakan syarat bagi neoliberalisme pasar bebas mencengkeram ekonomi dunia. Menurut Joseph E. Stiglitz, butir-butir yang direkomendasikan Kesepakatan Washington tidaklah lengkap, bahkan terkadang salah arah. Stiglitz menganggap bahwa agar mekanisme pasar bisa berfungsi dengan baik maka ia membutuhkan lebih dari sekadar tingkat inflasi yang rendah. Pasar juga membutuhkan regulasi yang tepat di sektor finansial, kebijakan persaingan usaha, serta kebijakan yang bisa memfasilitasi alih teknologi dan mendorong transparansi, dimana semua ini tidak tercakup dalam Kesepakatan Washington.9) Salah satu bukti nyata kekeliruan Kesepakatan Washington adalah ketika Indonesia mengikuti saran IMF dengan adanya Letter of Intent (LoI) yang merupakan persyaratan pengucuran dana dari IMF untuk Indonesia, pada saat Indonesia mengalami krisis ekonomi 1998. Dengan begitu IMF telah memaksa Indonesia mengikuti resep IMF yang menyatakan bahwa dengan menerapkan liberalisasi, deregulasi dan privatisasi maka Indonesia akan lepas dari krisis ekonomi.10) Kenyataan menunjukkan bahwa IMF gagal dan justru malah sebaliknya, ekonomi Indonesia mengalami krisis berkepanjangan.

__________________________

1) Lihat Heertz, Norena, dalam Wibowo, I, dan Francis Wahono (eds.), Neoliberalisme, Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2003, hlm 13-46.

2) Lihat Dokumen Bank Dunia, Project Appraisal Document on a Proposed Loan in the Amount of US$50.00 million and a Proposed Credit of SDR 19.85 million (US $50.00 million equivalent) to the Republic of Indonesia for a Managing Gigher Education of Relevance and Efficiency Project (IBRD Loan No 4789-IND & IDA Loan No 4077-IND; Laporan No:3 1644-ID), Human Development Sector Unit, East Asia and Pacific Region, April 2005. Dokumen tersebut digunakan hanya untuk urusan dinas, tidak untuk publik keciali dengan otoritas Bank Dunia. Namun, kami mendapatkannya dari situs jaringan Kementerian Pendidikan Nasional, www.dikti.go.id., diakses tanggal 30 Desember 2008. Lihat http://dikti.go.id/index.php?option=com_docman&task=cat_view&Itemid=57&gid=64&orderby=dmdate_published.

3) Herry-Priyono, B, "Pusaran Neoliberalisme", dalam Wibowo, I dan Francis Wahono (eds.), op.cit, hlm 59.

4) Ibid, hlm 77.

5) Ibid, hlm 55-57.

6) Lihat Petras, James, "Venezuela: A Dictionary of Euphemisms of the Liberal Opposition", dalam Axis of Logic, Januari 2008.

7) Stiglitz, Joseph E, Washington Consensus (Liberalisasi, Deregulasi, Privatisasi): Arah Menuju Jurang Kemiskinan, terj. Darmawan Triwibowo, Jakarta: International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), 2002.

8) Williamson, John (ed.), "What Washington Means by Policy Reform" dalam Latin American Adjustment: How Much Has Happened? Washington, D.C: Institute for International Economics, 1990.

9) Stiglitz, Joseph E, op.cit.

10) Deregulasi biasanya melalui penghapusan peraturan dan kebijakan negara yang dapat menghambat akumulasi keuntungan kaum kapitalis, sedangkan privatisasi biasanya melalui penjualan perusahaan-perusahaan negara, barang-barang dan pelayanan publik kepada pihak swasta dengan dalih menyehatkan dan menyelamatkan perusahaan dari kebangkrutan serta efisiensi.

1 komentar: