Laman

12 Desember 2008

Aktivis vs Rezim


Di paro awal abad 19, pemberontakan Diponegoro di Jawa Tengah, atau pemberontakan Tuanku Imam Bonjol di Sumatera Barat. Bukan faktor kebetulan jika keduanya dipimpin panglima berjubah putih, ulama (mereka disebut kaum Padri oleh rezim kolonial Belanda). Lalu setiap rezim (kolonial) disini seolah memiliki alibi pembenar, bahwa "para haji" wajib diwaspadai, bahkan harus ditangkapi.
Proses penangkapan melalui prosedur tetap (protap) diakui nyaris mustahil. Sebab, para ulama bergerilya menyusup disetiap hati nurani rakyat. Maka, rezim harus memakai segala cara, termasuk sayembara dengan hadiah sebesar seribu gulden untuk informasi keberadaan Sang Sayidin Panotogomo Kalifatullah Diponegoro. Dalam catatan sejarah keraton Mataram yang dipelajari oleh Pangeran Diponegoro, sekelompok pedagang Belanda (kompeni) telah berusaha makar, memerangi secara kriminal kesultanan antara tahun 1626 hingga 1646. Sehingga perlawanan Diponegoro 200 tahun kemudian, lebih logis sebagai gerakan politik (mempertahankan kedaulatan negeri), bukan ekstremistas.

Tuanku Imam Bonjol mempertahankan kedaulatan Nagari Minangkabau yang mulai dikooptasi oleh administratur rezim kolonial. Gerakan kebangkitan ulama telah sukses mengakomodasi kepentingan rakyat. Sementara para bangsawan yang mulai kehilangan pamor meminta bantuan kompeni demi menegakkan wibawa. Kenyataannya, residen di Minangkabau, HJJL Ridder De Stuers (berkuasa tahun 1824-1829) tak kuasa membendung kekuatan barisan padri. Penggantinya, yang militer tulen, Jend. Michiels, balik menggebuk kaum padri secara genocyde. Itu masih ditambah dengan isu dan fitnah, bahwa kaum padri membakari desa-desa, membunuhi kaum lelaki, serta menjadikan wanita sebagai harem-harem simpanan.

Kaum berjubah memang menjadi target incaran rezim sejak awal Gubernur Jenderal yang cerdas (dan berdarah ningrat), Sir Thomas Stanford Raffles, memberikan catatan khusus tentang ulama Indonesia. Peristiwa Garut, 7 Juli 1919, yang menimpa Haji Hasan. Petani sukses ini menolak penjualan hasil sawahnya secara ijon (jauh sebelum panen) kepada pemerintah kolonial. Alasannya, karena jual beli secara ijon dilarang agama. Apa yang terjadi? Belanda mengirim satu batalyon militer menyerbu rumah Haji Hasan. Dalam serangan itu 3 warga sipil (termasuk Haji Hasan) tewas, dua puluh lainnya terluka.

Hasutan rezim, sering juga melibatkan 'duri dalam daging' muslim pribumi. Pengkhianat paling terkenal di paro abad 19, adalah Muhammad As-Sagaf, mantan penghulu yang dipecat karena kasus prostitusi ini memberi laporan kepada polisi di Batavia, bahkan menghubungi koran De Javabode. Brunner (editor kepala koran) menuliskan artikel besar tanggal 29 September 1885, dengan judul 'Perang Sabil.' Isinya, akan terjadi ledakan besar pemberontakan dalam waktu kurang dari 3 bulan ke depan. Saat itu, Gubernur Jenderal O Van Rees, tidak gampang menerima laporan tersebut, Van Rees malah langsung membredel De Javabode, begitupun Het Indisch Vaderland juga dilarang terbit, per 6 Oktober 1885 (berselang sepekan dari tulisan tentang perang sabil).

Paro awal abad 19, persamaan penerapan politik etis oleh rezim kolonial yang pro-nasionalisme. Aktivis Islam 'banting setir' untuk menguatkan isu nasionalisme. Tampilnya KH. Hasyim Asya'ri, ki Agus Salim, Hos Tjokroaminoto, tidak lagi dengan angkat senjata, dan memilih jalur penguatan gerilya budaya serta pendidikan. Kemudian, aktivits sekaligus intelektual muda yang tak kalah militansinya. Sebut misalnya, Moh. Hatta dan Soekarno. Tokoh-tokoh ini pun tak luput dari penangkapan dan pemenjaraan pihak rezim.

Meski rezim kolonial telah pergi, rezim penggantipun (yang juga mantan aktivis, dan kenyang dipenjara) lebih memilih memenjarakan seperjuangan. Di lain pihak tak jarang para aktivis terkesan tidak sabar terhadap langkah-langkah pemerintah, dan memilih langkahnya sendiri. Hal itulah yang dilakukan Tengku Daud Beureuh, Kahar Muzakar, dan Kartosuwiryo, (serta AH Nasution yang mengarahkan moncong puluhan panser ke arah Istana Presiden, 1952).

Rezim berikutnya (Orde Baru). Rezim ini telah berpengalaman menghadapi para aktivis. Sejak awal, rezim ini telah menerapkan jorgan "politik no, pembangunan yes." Hasilnya, pergerakan aktivis nyaris bungkam (kecuali kasus pembajakan Woyla, yang oleh kalangan aktivis dinyatakan sebagai rekayasa rezim). Masa rezim Orde Baru, penyiksaan lahir batin lebih terarah pada kader partai non-Golkar. Tercatat hanya dua kali aktivitas perlawanan terhadap rezim ini, yakni peristiwa Malari (15 Januari), serta demo nasional 1979. Puncaknya, peristiwa krisis moneter, mulai 1996 dan berimbas pada hasil pemilu 1997, dengan maraknya MEGA-BINTANG. Antiklimaks pemerintah diwarnai dengan peristiwa KUDATULI (27 Juli), yang dicatat sejarah sebagai penyadaran di kalangan militer.

Pemilu 1999, menjadi panggung baru yang berhasil dikuasai para aktivis pro-demokrasi dan HAM. Rezim ini tidak berhadapan dengan sesama aktivis yang mendukung pro-demokrasi dan HAM, melainkan aktivis baru dari kalangan Islam.

Biasanya para ahli lebih condong mengambil prinsip bernegara demokrasi dari filsuf besar Plato, bukan dengan kaidah agama (karena Indonesia bukan negara agama). Plato berbicara dengan bahasa lain, namun substansinya sama dengan kaidah ushul fiqih. Dalam bahasa Inggris, fatwa Plato berbunyi equity, equality, dan democracy. Bahkan dipenghujung bukunya tentang demokrasi, Plato berpendapat, bahwa pucuk pemerintahan negara sebaiknya dipegang oleh filsuf, atau para begawan, atau bikkhu, atau para ulama. Plato lalu menyatakan bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan. Sir Thomas Standford Raffles pernah berujar, tiada negeri semakmur ini, di bawahnya terkandung minyak, namun tanah di atasnya tetap subur.

Sumber: Harian Surya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar