Laman

12 Januari 2009

HAM Khas versi Indonesia

Oleh Roch Basoeki Mangoenpoerojo*

Prestasi Boedi Oetomo yang paling spektakuler adalah jati diri bangsa. Indonesia sesungguhnya sudah punya HAM sendiri, yang jauh lebih berat untuk dilaksanakan dari pada Human Right PBB tahun 1948. Sayangnya bangsa ini tak pernah mau mempelajari, mengupas dan mendiskripsikannya.

Akhir-akhir ini ada kemelut nasional menyoal HAM. Setidaknya antara Menhan, Komnas-HAM dan Purnawirawan TNI. Issuenya adalah tentang terapan HAM-PBB di alam Indonesia. Untuk mendudukkan persoalan, mungkin wacana HAM-Indonesia yang sudah dipraktekkan di tahun 1908-1949 layak dibuka kembali. Kala itu HAM-Indonesia mampu membangkitkan kemampuan setiap insan Indonesia menjadi manusia seutuhnya, dan menyadarkan bangsa Belanda. Tertulisnya di Pembukaan UUD, alinea 1 dan 2.

Penjajahan Itu
Di alinea 1 tersurat kemerdekaan adalah hak segala bangsa, jelaslah kemerdekaan Indonesia tidak menganut hak individu. Selama bangsa itu tidak mau dijajah, siapapun tidak mungkin menjajahnya. Sedangkan apabila hak itu diperjuangkan oleh kelompok-kelompok kecil, apalagi individu, tentu daya tahannya tidak sekuat bila bersama-sama dalam satu ikatan bangsa yang mampu memaksakan pengakuan kedaulatan NKRI.

Sikap bangsa Indonesia terhadap hak azasi manusia, yaitu penjajahan di dunia harus dihapuskan. Dengan bahasa telanjang begitu, Indonesia dianggap berbahaya oleh Negara maju mantan penjajah maka dikemas dengan istilah tidak sesuai peri-keadilan dan peri-kemanusiaan. Sikap itu disukai oleh Negara Asia-Afrika, setidaknya terlihat di Konperensi AA di tahun 1955. Namun, sebelum menghapuskan sebaiknya jauhkan sikap perilaku bangsa terjajah yang akut di dalam sanubari warga. Hak azasi bagi Indonesia lebih bicara soal penindasan bangsa atas bangsa lain, yang di dalamnya otomatis menolak penindasan terhadap manusia.

Bangsa lain pasti terpanggil untuk menjajah, selama perilaku bangsa terjajah tidak disingkirkan. Mereka akan menyandera para elite dengan HAM-PBB untuk dihadapkan dengan rakyatnya sendiri. Untuk menghindari, para Pendiri Negara (baca elite bangsa) berikrar untuk mengantar rakyat menjadi merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur (alinea 2).

Di sini tersirat dua pengakuan mendasar tentang kenyataan bangsa Indonesia. Satu, rakyat belum merdeka, belum bisa bersatu, apalagi berdaulat, sehingga tak tahu arti adil sebagai syarat kemakmuran. Dua, ada jarak laten yang tak mudah dijembatani antara elite (ambtenaar) dan rakyat (inlander). Untuk menyelaraskan keduanya dirumuskan, supaya elite mengantar sedangkan Rakyat agar suka diantar.

Itulah arti HAM khas versi Indonesia. Bukan rakyat menuntut dan elite menolak, tetapi elite harus mengantarkan rakyat agar mengerti hak-haknya. Dimulai dari membuat rakyat merdeka di dalam kebersatuan, dan mendorongnya supaya cepat berdaulat. Hanya dengan berdaulat, manusia akan tahu makna adil. Pada saat itu HAM-PBB akan tambah kaya, dan mampu membantu untuk memakmurkan dunia.

Hak Berpancasila
Mengapa rakyat harus diantar? Kalaulah seluruh hak azasi diberikan, belum tentu rakyat bisa memanfaatkannya untuk hidup berkualitas. Kecenderungan yang ada adalah liburan akan diperbanyak. Jangankan wong cilik, elite karbitan banyak di sini. Elite itu saja belum tahu kewajiban, sehingga tidak tahu batas untuk menggunakan hak (apapun). Contoh, korupsi berjemaah bisa subur, dan putusnya urat malu. Apalagi kebanyakan rakyat yang kurang beruntung menerima cukup pendidikan.

Masalah muncul ketika sang elite tidak melakukan kegiatan mengantar Rakyat menuju ke arah sesuai kaidah. Sementara Rakyat cuma manut dan mengeluh, yang agak terdidik lebih suka protes menggunakan nilai-nilai PBB yang menyandera value-Bangsa. Situasi demikian sudah sering dialami oleh para Pendiri Negara saat berjuang. Antisipasi untuk itu adalah Pancasila. Perlakuan di ranah Lumpur Sidoarjo bisa menjelaskan tentang penyimpangan elit terhadap persepsi bangsa atas HAM Indonesia. Hak merdeka untuk menjunjung tinggi acara ritual tradisi, dianggap kuno. Hak bersatu atau guyub, atau senasib sepenanggungan tidak dilindungi. 602 KK yang melakukannya di pengungsian (menolak pemberian uang kontrak) diperlakukan seperti anak tiri. Alasannya cuma 7 %. Mayoritas 93%, menerima uang kontrak, disebar tempat tinggalnya dan kehilangan nilai-nilai tradisional. Sekalipun punya uang, tapi mereka menjadi bukan siapa-siapa lagi di tengah komunitas barunya. Mereka sudah menjadi orang asing di dusunnya sendiri.

Hak berdaulat ditampilkan oleh 602 KK tersebut dengan cara menghormati hu-kum yang berlaku, tetapi taat prinsip. Mereka bukan dihargai tapi justru selalu dihardik sebagai dessident/mbalelo. Sudah empat kali diupayakan untuk disingkirkan dari tempat pengungsian, dan kini jatah makan pun sudah dicabut. Bila ketiga hak yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD tidak diwujudkan (hak merdeka, bersatu dan berdasulat), apakah bukan berarti rakyat telah tercabut dari nilai-nilai Pancasila? Rasa adil dalam masyarakat pun tidak mungkin digapai, apalagi kemakmuran.

Sebelum ribut soal HAM-PBB, ada baiknya bercermin diri, siapa kita? Sudahkah sistem NKRI membangun elite sang pengantar?. Kekeliruan memosisikan HAM-PBB, dan tak mau tahu tentang HAM-Indonesia, telah memakan korban. Purnawirawan TNI sebagai tataran elite dan Korban Lumpur Lapindo sebagai tataran Rakyat. Dua-duanya tetap hidup di alam keterjajahan, sebagai ambtenaar dan inlander. Seabad Kebangkitan Nasional, semoga bisa mengingatkan kembali pentingnya nilai-nilai Indonesia.

*Penulis adalah anggota presiden Barisan Nasional (Barnas), juga sebagai Kolumnis diberbagai media.

1 komentar: