Laman

08 Januari 2009

Permainan Kotor Saudagar Uang

Oleh: Julis Pour (wartawan, tinggal di Jakarta)

Kejahatan korporasi bagaikan setan haus darah. Akibat kebijakan korporasi, setiap hari 24.000 orang di seluruh dunia mati kelaparan, puluhan ribu anak-anak seperti tercekik mati karena tidak mendapatkan pelayanan kesehatan.

Akibat lanjutan dari kejahatan korporasi ini, lebih dari separuh penduduk dunia terperangkap kemelaratan dan hanya punya penghasilan di bawah dua dollar AS sehari yang tidak pernah cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Jadi jelas, sistem ekonomi dunia masa kini hanya sekedar versi baru dari sistem eksploitasi manusia yang menghasilkan perbudakan sekaligus kemelaratan.

“Kita harus mengakhiri ketimpangan tersebut. Kejahatan semacam ini adalah ulah para Economic Hit Man,” tulis John Perkins ketika mengantar A Game As Old As Empire, buku yang terbit kuartal pertama tahun 2007 dan langsung memicu kehebohan. Kumpulan karangan dari lima penulis dengan beragam latar belakang tersebut disunting oleh Steven Hiatt dari Stanford Research Institute, AS.

Kritik utama terhadap gaya Perkins, pendekatannya sangat radikal. Selain itu, sebagian orang belum sreg dengan tuduhan, proyeksi ekonomi sering dipakai sebagai alat politik dan bantuan luar negeri bukan alat mengentaskan kemiskinan, melainkan untuk melanggengkan kekuasaan.

Kritik di atas akhirnya mencair sesudah bekas ekonom Bank Dunia serta penerima penghargaan Nobel ekonomi tahun 2003, Joseph Stiglitz, menulis buku Globalization and Its Discontents. “...globalisasi yang kini terus-menerus digalakkan tampaknya hanya mengganti peran diktaktor gaya lama yang dikuasai para elite dengan diktaktor gaya baru, para saudagar uang. Untuk jutaan penduduk dunia, globalisasi tidak pernah bermanfaat. Bahkan, sebagai akibat globalisasi, jutaan orang hanya bisa menatap tanpa daya ketika sumber kehidupan mereka secara terencana dihancurkan dan masa depannya diobrak-abrik.

Profesional Penguras Kekayaan
Menurut Perkins, EHN (Economic Hit Man) adalah istilah untuk menyebut profesional bergaji tinggi yang bertugas menguras harta kekayaan dunia. Mereka meng-gangsir dana Bank Dunia, USAID, dan lembaga donor internasional, untuk dikirim ke gudang uang korporasi raksasa atau kantong milik sekelompok keluarga yang menguasai sumber kekayaan alam. Demi suksesnya tugas tersebut, para EHM menghalalkan segala macam cara; menyuap, merancang laporan palsu, hingga membunuh.

Meski buku pengakuan EHM sangat laris, tetapi 15 bulan sejak dimasyarakatkan, belum ada koran AS dan media massa lain melakukan review. Mereka hanya mencantumkan begitu saja di daftar buku laris. Sesuatu yang (terpaksa) mereka lakukan karena fakta kelarisan buku tersebut memang demikian.

Para editor takut membahas buku yang membeberkan kejahatan para imperialis baru karena bos besar pemilik media juga sungkan kalau mereka dianggap berkomplot memiskinkan dunia sekaligus terlibat kejahatan korporasi. Yakni, sekelompok penguasa dan lembaga bisnis raksasa, pemerintahan adikuasa berikut penguasa dunia masa kini.

Meski contoh yang dibeberkan untuk melukiskan kejahatan korporasi sudah lama jadi rahasia umum. Sejak operasi penggulingan Mosadegh di Iran untuk diganti boneka baru bernama Shah Iran, sampai pembunuhan Presiden Ekuador Jaime Roldos dan Presiden Panama Omar Torrijos hingga ke rencana kudeta terhadap Presiden Venezuela Hugo Chaves.

Perkins, ekonom yang resminya bekerja di perusahaan konsultan, ternyata agen ganda. Karena di balik posisi resminya, dia adalah Economic Hit Man yang ikut mengisap "darah" negara-negara berkembang. Operasinya berlangsung aman, sampai kemudian dia merasa dosa-dosanya menghantui setelah meletus peristiwa 11 September 2001. Peristiwa tersebut memicu pengakuan, Confessions of an Economic Hit Man. Buku yang diterbitkan Berrett-Koehler tahun 2004 dan sanggup bertahan selama 25 minggu dalam daftar buku laris New York Times serta terjual lebih dari 500.000 eksemplar.

Buku A Game As Old As Empire memang lanjutan pengakuan para EHM. Apa yang dulu sudah dibeberkan ternyata hanya ujung gunung es. Maka, dalam buku lanjutannya ini, semua yang di bawah permukaan satu per satu mulai disingkapkan.

Kebohongan Amerika Serikat
Sesudah era perang dingin, terutama setelah Uni Soviet bangkrut, Amerika Serikat selalu menyebut diri kampium demokrasi dan mengajari semua negara, apa yang disebut demokrasi. Seiring penyebaran cetak biru jalan ke arah kemakmuran versi Bank Dunia. Akan tetapi, benarkah AS dulu juga memakai cara ini?

Doug Henwood, penerbit Left Business Observer, mengaku, AS melanggar segala hukum serta peraturan yang sekarang sedang mereka kenalkan. Mereka memberlakukan proteksi tarif sampai awal abad ke-20 sekaligus melanggar hak kekayaan intelektual yang kini digembar-gemborkan. Industri kimia AS berawal pada Perang Dunia I dengan mencuri hak paten milik Jerman. Pada abad ke-19, para penerbit AS membajak karya para penulis asing tanpa minta izin dan tidak pernah membayar royalti. Sistem ekonomi ortodoks membiarkan pasar bebas berikut mengarahkan produk domestik ke negara lain.

Kegagalan Revolusi Hijau
Awal tahun 70-an, revolusi hijau dianggap obat mujarab untuk memakmurkan masyarakat. Ternyata, itu hanya separuh dongeng. Biaya untuk memicu panenan, intensifikasi pemakaian pupuk kimia, dan teknologi baru bercocok tanam telah membangkrutkan petani kecil sekaligus memperkaya produsen mesin pertanian, kartel pabrik pupuk, dan industri obat kimia. Kegagalan revolusi hijau karena mempromosikan mekanisme di negara dengan tenaga kerja berlebih. Jelas, bukan strategi bijak untuk bisa memakmurkan masyarakat.

Buku yang diterbutkan Berrett-Koehlers Inc di San Francisco, AS, ini menyadarkan kita bahwa skenario untuk meraih kemajuan, menjaga kestabilan ekonomi dan janji kemakmuran, sering mempunyai agenda tambahan yang malahan bisa menjebak negara-negara miskin. Meski dunia telah semakin maju, pola permainannya tetap sama, sekuno ketika para imperalis dan kolonialis berebut menguasai dunia. Pada sisi lain, banyaknya contoh pengalaman dan kesaksian dalam buku ini menunjukkan persoalan tersebut sudah di depan rumah kita. Bahkan, sudah berada dalam ruangan.

Sebab, buku ini juga membuat kisah kroni Soeharto yang mendapat 15 persen saham dari penggelembungan proyek Paiton, taksiran bahwa setengah sampai dua pertiga kayu di pasar dunia berasal dari illegal logging di Indonesia, dan kasus penjualan 39 kapal perang eks Jerman Timur. "Transaksi bisa berlangsung mulus karena Menristek Indonesia pada masa itu sahabat pribadi Helmut Kohl, Kanselir Jerman." Nah, okey?

Sumber: harian Kompas (2008), dalam resensi buku: A Game As Old As Empire.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar