Laman

05 Januari 2009

Siapakah Rakyat Itu Sebenarnya?

Oleh: Makmur Keliat (Pengajar FISIP UI)

Kita sering mendengar ucapan petinggi pemerintah, "kepentingan rakyat harus didahulukan daripada kepentingan kelompok." Beberapa petinggi juga kerap mengatakan, "pemerintah telah bekerja untuk rakyat."

Kita juga tahu, ada sejumlah partai yang menyisipkan kata rakyat sebagai namanya. Pada Pemilu 1999, misalnya, ada 141 partai yang disahkan Departemen Kehakiman. Dari jumlah ini ada 21 partai yang namanya menggunakan rakyat (Almanak Parpol Indonesia, Pemilu 1999). Meski tidak semua menyisipkan kata rakyat sebagai nama resmi, hampir bisa dipastikan tidak ada partai dan politisi yang berani menyatakan tidak berjuang untuk rakyat.

Jika semua berjuang untuk rakyat, apa yang membedakan partai-partai itu? Jenis "rakyat" apakah yang mereka perjuangkan? Jika semua berjuang untuk rakyat, mengapa negeri ini terus tertatih-tatih dalam memperbaiki nasib rakyat?

Bukan Sekedar Konstituensi
Ada tiga tantangan besar dalam kehidupan demokrasi saat kita melakukan proses pemaknaan rakyat.

Tantangan pertama, saat rakyat diidentikkan hanya sebagai konstituensi (constituency). Diinspirasikan kalangan liberal, pemikiran ini berargumen rakyat tidak pernah tunggal, tetapi majemuk. Pengelompokan sebagai akibat keragaman dalam kepentingan ekonomi, politik, dan sosio-kultural dipandang sebagai hal wajar. Bagi kalangan liberal, rakyat memiliki pusat-pusat kekuasaan yang tersebar dan harus saling berkompetisi secara reguler guna mendapat kekuasaan negara.

Implikasinya, pertama, rakyat sebagai konstituensi hanya dianggap penting saat kampanye pemilu. Setelah itu, rakyat dianggap kurang relevan.

Implikasi kedua, istilah kedaulatan rakyat hanya menjadi jargon politik menjelang pemilu. Meminjam istilah Bernard Yack (2003), demokrasi perwakilan yang dilaksanakan melalui pemilu menampakkan sosok kedaulatan rakyat sekaligus membungkam kedaulatannya (the people is the sovereign that cannot exercise its sovereignty).

Implikasi ketiga, negara cenderung dipahami sebagai mesin yang pasif, tidak memiliki "roh". Ia sekedar dimaknakan sebagai medan kompetisi dan pertarungan di antara berbagai kekuatan politik atas nama rakyat. Karena itu, tugas negara yang ideal, menurut kalangan liberal, adalah bagaimana menciptakan regulasi agar kompetisi itu terjadi secara reguler dan tanpa kekerasan.

Kesatuan Integral
Tantangan kedua, saat rakyat diidentikkan dengan negara. Diinspirasikan oleh pemikiran strukturalis-kiri, konsep negara dan rakyat dikonstruksi sedemikian rupa sehingga tidak dapat dipisahkan dan merupakan kesatuan integral. Ada dua alasan mengapa konstruksi mental diajukan. Pertama, adanya kecemasan, kalangan pemilik modal berpotensi membajak negara demi kepentingan akumulasi modal. Kedua, adanya ketidakpercayaan terhadap mekanisme demokrasi melalui pemilu yang kompetitif guna mengatasi kecemasan itu. Akibatnya, kelompok ini cenderung mengurung istilah rakyat dalam konsep demokrasi satu partai (demokrasi totaliter) dengan tujuan melahirkan kesatuan antara rakyat dan negara.

Amat berbeda dengan kelompok liberal, pandangan ini cenderung membuat negara amat otonom, kebal, dan tak responsif terhadap berbagai tekanan dari luar negara. Maka, dalam beberapa kasus di negara yang menganut ideologi komunis, kita menemukan istilah rakyat dalam penggunaan nama resmi negara Republik Rakyat Cina (RRC) atau Republik Rakyat Korea untuk Korea Utara. Karena itu, dalam negara berideologi komunis, demokrasi dengan pemilu kompetitif tidak pernah dilakukan.

Diidentikkan Pengikut Agama
Tantangan ketiga adalah saat rakyat diidentikkan dengan pengikut agama yang mungkin diberi label jemaat atau umat. Karena dikemas dalam pengertian seperti ini, tentu ada kecenderungan untuk membuat "rakyat" berperilaku sektarian dan eksklusif. Dirumuskan dalam kalimat negatif, yang bukan bagian dari jemaat atau umat cenderung tidak diperlakukan sebagai rakyat.

Meskipun tampak amat parokial, inspirasi dari kelompok ini sebenarnya berasal dari klaim universal, yaitu "kedaulatan Tuhan". Disebut universal karena tidak ada agama di dunia yang berani menyatakan, "Tuhan itu tidak berdaulat."

Rakyat Sebagai Warga Negara
Karena itu, hati-hati dengan siapa pun yang menyuarakan kata rakyat. Seperti diungkapkan, rakyat dapat dipahami dalam berbagai makna, baik sebagai kontituensi, pemilik negara, maupun umat-jemaat dengan berbagai implikasi politik. Ketidakcukupan seluruh konsep ini menyebabkan ada kebutuhan untuk mengontruksikan konsep rakyat sebagai warga negara.

Istilah warga negara mengacu pengertian, kumpulan manusia yang disebut rakyat yang tidak sama kemampuan ekonominya. Pengakuan atas situasi ini, mewajibkan negara atas nama keadilan harus menciptakan kesetaraan (equality). Operasionalisasinya dapat dilakukan melalui berbagai cara, seperti pemajakan progresif (progressive tacation) dan redistribusi pendapatan hingga regulasi terhadap sektor industri dan badan usaha publik.

Dengan kata lain, saat rakyat dikonstruksi sebagai warga negara, negara tak lagi dalam posisi pasif seperti dipegang kalangan liberal. Negara harus mampu melakukan intervensi positif demi kesejahteraan dan keadilan. Ketidakmampuan melakukan intervensi positif menjadi salah satu sebab mengapa 60 persen penduduk negeri ini masih menerima pendapatan kurang dari 2 dollar AS per hari dan 6 persen menerima pendapatan sekitar 1 dollar AS per hari (Indonesia Country Strategy Paper 2000-2006, ASEAN European Meeting).

Sumber: Harian Kompas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar