Laman

21 Januari 2009

Politik Agama yang Berbuah Kekerasan

Oleh Prof. Dr. Syamsul Arifin M.Si. (guru besar Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang).

Sejak Israel mengagresi Gaza, saya berkali-kali mendapat pesan pendek (SMS) dari aktivis Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Isi pesannya lugas dan tegas: mengutuk agresi Israel yang sudah menimbulkan banyak korban dari kalangan sipil.

HTI bukan satu-satunya ormas Islam yang bersuara lantang terhadap agresi Israel. Front Pembela Islam (FPI) bahkan melangkah "lebih maju" dari HTI. Seperti tidak begitu peduli dengan kekuatan militer Israel, FPI merasa yakin dengan para martir yang sudah dilatih silat. Barisan Ansor Serbaguna (Banser) juga menyiapkan relawan yang sudah dibekali dengan ilmu kanuragan dan kebatinan kendati Hasyim Muzadi, ketua umum PB NU, lebih menyukai bantuan kemanusiaan dan medis daripada melawan Israel dengan fisik.

Di Indonesia, isu Israel dan Palestina memiliki kepekaan yang demikian tinggi. Alih-alih dalam kondisi perang seperti yang terjadi di Gaza, saat damai pun, pembicaraan tentang Israel dan Palestina selalu menguras emosi sebagian besar umat Islam di tanah air. Sikap emosional itu tidak terlepas dari cara pandang umat Islam yang selalu mengaitkan isu Israel dan Palestina dengan agama. Bagi umat Islam, Israel dan Yahudi tidak mungkin bisa dipilah-pilah sebagaimana Palestina dengan Islam.

Cara pandang demikian bisa saja dinilai beraroma simplifikasi atau penyederhanaan. Pandangan yang menyamakan Israel dengan Yahudi memang sulit dibantah. Tetapi, yang perlu ditelisik lebih mendalam adalah pluralitas pemeluk Yahudi. Sebagai contoh, banyak pemeluk Yahudi yang menjadi aktivis Naturei Karta International (NKI).

Pada peringatan 60 tahun pendudukan Israel di Palestina yang diadakan penerbit Mizan 15 Mei 2008, tiga aktivis NKI turut hadir. Di antara yang hadir ialah Rabbi Yisroil Dovid Weiss, juru bicara NKI. Yang menarik, menurut Weiss, NKI justru merupakan organisasi yang terang-terangan menentang negara Israel. Weiss juga menyebut zionisme-sekte atau ideologi di balik negara Israel-justru bertentangan dengan doktrin agama Yahudi (Madina, No 06/Th 1, Juni 2008).

Buah Politik Agama

Saat diwawancarai Madina, Weiss juga mengatakan, pemeluk Yahudi yang bergabung dengan NKI bukan minoritas, justru merupakan mainstream. Dalam klaim Weiss tersebut, tersirat suatu pesan, penentang negara Israel bukan hanya dari kalangan luar Yahudi-Islam misalnya-bahkan mayoritas Yahudi pun melakukannya.

Sayang, suara aktivis NKI selain tidak didengar oleh kalangan Islam, juga tidak digubris warga dan pemerintah Zionis Israel. Kendati begitu, opini dari aktivis NKI tetap menarik dijadikan rujukan terkait dengan isu Israel dan Palestina.

Opini dari aktivis NKI, seperti dikemukakan oleh juru bicaranya itu, semakin memperkuat tesis bahwa pertikaian di bumi tiga agama Ibrahimik (Yahudi, Nasrani, dan Islam) tersebut tidak akan pernah berhenti selama Israel sebagai suatu entitas politik yang berbentuk negara masih eksis. Padahal, menegasikan negara Israel, katakanlah seperti khitah perjuangan Harakah Al Muqawwamah Al Islamiyah (Hamas), bagaikan mimpi di siang bolong.

Berdirinya negara Israel pada 14 Mei 1948 sering dikaitkan dengan Inggris yang berhasil merebut Palestina dari kekuasaan Turki Usmani pada 1916. Tetapi, Inggris hanyalah variabel perantara. Jauh sebelum Inggris mengambil alih Palestina, orang-orang Yahudi sudah memiliki zionisme yang sangat efektif dalam merancang pendirian negara Israel di Palestina.

Ganjil merupakan istilah yang sering digunakan oleh kalangan yang menyoal legalitas negara Israel. Berdirinya negara Israel berakibat hilangnya sebagian besar wilayah yang semula didiami oleh orang-orang Palestina. Yang lebih ganjil lagi, Palestina kemudian harus kehilangan otonomi di wilayahnya sendiri. Sementara di pihak lain, Israel, yang semula merupakan nama bagi "kaum nomaden" berubah menjadi nama negara yang berdiri demikian kuat di wilayah Palestina.

Kekuatan yang menggerakkan perubahan tersebut adalah zionisme. Pada zionisme, kita melihat tiga unsur yang berpadu demikian kuat: agama, ideologi, dan politik. Dalam Encarta Dictionaries, zionisme diartikan sebagai gerakan untuk mendirikan negara Yahudi (Jewish state). Jadi, sejak awal, zionisme merupakan ideologi dengan orientasi politik praktis yang jelas: terbentuknya negara eksklusif bagi orang-orang Yahudi di Bukit Zion dan sekitarnya di Palestina.

Mengapa harus Bukit Zion di Palestina? Mengapa bukan di tempat lain? Pilihan pada tempat itu mengacu pada pengalaman kegamaan orang-orang Yahudi yang berlangsung dalam sejarah yang demikian panjang untuk berlabuh di tanah yang dijanjikan Tuhan: Palestina. Pada titik itulah, zionisme merasa memperoleh pembenaran dari agama.

Komunitas yang dibayangkan (imagined communities)-meminjam ungkapan Benedict Anderson-oleh kaum Zionis, membuahkan hasil spektakuler: negara Israel berdiri pada 14 Mei 1948. Karena negara yang dibayangkan kaum Zionis merupakan negara eksklusif, hanya untuk keturunan Yahudi, tidak heran jika sejak diproklamasikannya, Israel menempuh kebijakan rasialis. Dengan kebijakan itu, jutaan warga Palestina, baik Islam maupun Kristen, dipaksa keluar dari wilayah yang sudah lama didiami begitu negara Israel diproklamasikan.

Pada kasus pertikaian panjang antara Israel dan Palestina, kita menemukan ironi. Sebab, agama Ibrahimik yang memiliki pesan suci terkotori oleh syahwat politik manusia.

Sumber: Harian Jawa Pos (20/01/09)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar